bakabar.com, BANJARMASIN – Maliki kembali duduk di kursi panas Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Rabu (23/3). Asal tahu saja, ini kali terakhir sidang pemeriksaan terdakwa skandal megasuap sebelum tuntutan hukuman dibacakan Jaksa KPK, pekan depan.
Dalam keterangan persidangan, Maliki sebagai mantan Plt Kepala Dinas PUPRP Hulu Sungai Utara (HSU) mengakui telah menerima suap berupa fee proyek 15 persen dari kontraktor. Tak hanya itu, dia juga telah membongkar peran kuat Abdul Wahid selaku Bupati nonaktif HSU.
“Keterangan terdakwa sesuai BAP (berita acara pemeriksaan). Tidak ada perubahan dari dia jadi saksi sampai jadi terdakwa,” kata Jaksa Penuntut KPK, Tito Zailani usai persidangan.
Tito menilai bahwa selama ini Maliki sudah bersikap kooperatif untuk membuka tabir skandal korupsi di lingkup Pemkab HSU. Termasuk peran Abdul Wahid selaku bupati.
“Untuk membuka peran atasnya, dalam hal ini Pak Abdul Wahid. Itu yang kami kejar,” lanjut Tito.
Lantas dari sikap Maliki yang dinilai kooperatif dapatkah meringankan tuntutannya nanti? Tito menjawab bisa saja.
“Tentu ada pertimbangan sebagai hal yang meringankan dan yang memberatkan,” terangnya.
Seakan tak puas telah membongkar sederet kelakuan Wahid, Maliki rupanya juga telah mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC).
Sebelumnya, Maliki telah membongkar peran Wahid dalam kasus ini. Mulai dari perintah memploting proyek PUPRP, menyetor dana diduga ke oknum jaksa dan kementerian, hingga mematok tarif sebagai kepala dinas.
Perlu diketahui JC adalah sebutan bagi pelaku kejahatan yang bekerjasama dalam memberikan keterangan dan bantuan bagi penegak hukum.
“Nanti kita pertimbangkan apakah memenuhi kriteria yang diatur dalam SEMA (surat edaran Mahkamah Agung) sebagai pelaku yang bekerja sama,” imbuh Tito.
“Khusus Maliki kita lihat lah yang meringankan apa. Termasuk dia kooperatif atau tidak. Dia selaku JC atau tidak. Dia membuka peran utama atau tidak. Kita lihat itu nanti di tuntutan,” lanjutnya.
Dalam kasus ini, Maliki didakwa dengan pasal Pasal 12 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Dan alternatifnya, Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
“Ancaman hukumannya paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun kurungan penjara,” jelas Tito.
Sementara itu, Penasihat Hukum dari terdakwa Maliki, Mahyuddin berharap Jaksa KPK bisa meringankan tuntutan hukuman. Pasalnya, ujar Mahyuddin, Maliki hanyalah anak buah yang harus menjalankan perintah atasannya.
“Mudah-mudahan diringankan. Kalau pandangan kami beliau bukan pelaku utama. Kita juga sudah mengajukan JC,” kata Mahyuddin.
Pengajuan JC tersebut, lanjut Mahyuddin, telah diserahkan pihaknya kepada Jaksa Penuntut KPK untuk tuntutan, dan hakim terkait putusan nantinya.
“Klien kami memang salah tapi itukan atas perintah atasannya. Uang yang diterimanya juga diserahkan ke bupati. Itu terungkap di fakta persidangan. Semoga bisa diringankan,” pungkasnya.