bakabar.com, KANDANGAN – Desa Haratai, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) memberlakukan penutupan bagi kunjungan orang luar. Bagi yang melanggar, bisa dikenai denda adat.
Sejak awal April 2020 kemarin, Desa Haratai mengisolasi daerahnya dari kunjungan orang asing. Pasalnya, mewabahnya virus Covid-19 di berbagai belahan dunia.
Akibatnya, salah satu ikon wisata Loksado yakni Air Terjun Haratai, tak bisa dikunjungi wisatawan sampai kini.
Jalur pendakian puncak Halau-Halau, Gunung Besar yang juga bisa melewati desa itupun ikut ditutup. Banyak pendaki terpaksa menahan diri sementara, mendaki puncak tertinggi di Kalsel itu melalui Dusun Kadayang, salah satu kampung di Desa Haratai RT 3. Bahkan, pedagang seperti sayuran, ikan dan lainnya pun turut dilarang masuk wilayah desa itu.
Hal itu berdasarkan aturan adat, sesuai musyawarah bersama masyarakat yang difasilitasi desa. Kesepakatan awal, aturan itu akan kadaluarsa sampai Desember 2020 mendatang.
Penjagaan dilakukan di jalan desa, tepatnya di posko Covid-19 desa. Satu-satunya akses utama masuk ke desa itu, hanya melewati jalan semen selebar 2 meter.
“Bahkan saat posko Covid-19 sudah dibubarkan, dan tidak ada lagi anggarannya, warga masih ada yang menjaganya,” ungkap Kepala Desa (Kades) Haratai, Marto saat ditemui bakabar.com di Kantor Kecamatan Loksado.
Marto menjelaskan, inti aturan adat itu melarang bagi masyarakat yang ber-KTP bukan Kecamatan Loksado, untuk memasuki wilayahnya.
“Kalau masih Kecamatan sini boleh saja, misal dari Desa Hulu Banyu, Halunuk, Kamawakan dan lainnya boleh saja masuk,” jelas Kades Marto.
Jika warga desa menggelar pesta, diminimalkan mengundang orang luar. Sekalipun undangan, harus benar-benar dikenal sebagai kerabat.
Selain ber-KTP Kecamatan Loksado, tambahnya, warga yang tempat tinggalnya di Pegunungan Meratus juga diperbolehkan masuk.
Sebab, masyarakat di Pegunungan Meratus kadang terikat hubungan kerabat dekat, meski berbeda Kabupaten. Seperti saat acara aruh adat, biasa mengundang tokoh dan kerabat dari kampung adat di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Tapin, Banjar hingga Tanah Bumbu.
Warga Desa itu juga memberikan kelonggaran saat ada pekerja ataupun petugas pemerintahan yang membangun fasilitas umum.
Kendati tidak memperkenankan warga luar masuk wilayahnya, warga Desa Haratai masih bisa keluar wilayahnya.
“Boleh saja keluar desa, asal mematuhi protokol kesehatan serta diusahakan jangan sampai ke luar daerah,” ujarnya.
Meski ada yang tak menerima aturan itu, namun ia bersikukuh hal itu merupakan aturan adat yang sudah ada sejak zaman nenek moyang.
Marto mengungkapkan, bagi yang bersikeras masuk ke wilayahnya akan dikenakan sanksi adat. Sanksi itu berupa denda maksimal 1 juta rupiah, serta ‘Bapalas’ atau membayar berupa sebilah pisau atau parang.
“Keduanya harus dibayarkan, bayar satu juta dan meninggalkan wasi (besi berupa pisau atau parang, red) bagi yang melanggar,” jelasnya.
Denda itu, akan dibayarkan dan masuk ke kas pengulu adat (pemimpin balai adat di suatu kampung adat Meratus). Terdapat lebih dari 3 pengulu adat di desa itu, denda akan dibayar untuk pengulu kampung yang didatangi si pelanggar.
Sejauh itu ungkapnya, belum ada yang terkena sanksi adat itu. Sebab masyarakat sudah tahu, ada spanduk pemberitahuan serta ada pos penjagaan.
Pernah ada orang luar daerah datang dan belum mengetahui penutupan itu. Syukurnya, sampai di penjagaan diberitahukan, sehingga tidak sampai masuk dan tidak terkena sanksi.
Aturan adat itu, tutur Marto, sudah ada sejak nenek moyang ketika adanya bencana pandemi.
“Bahkan saya sendiri pernah merasakan terkena sanksi adat saat acara di Mancatur, wilayah Kabupaten HST,” ungkapnya.
Berdasarkan contoh itu ujarnya, disimpulakan sumber aturan itu berasal dari adat, bukan desa. Pihaknya hanya memfasilitasi.
Melihat situasi saat ini, pihaknya akan memfasilitasi pertemuan kembali antar warga dan tokoh adat.
“Akhir September nanti, rencananya akan kami laksanakan,” ungkapnya.
Musyawarah itu ujarnya, masih belum menjamin Desa Haratai kembali bisa dibuka untuk kunjungan orang luar.
Selain isolasi, seluruh masyarakat adat di Meratus juga melakukan ritual tolak bala. Ritual dilakukan di balai adat masing-masing kampung, baik berbarengan saat aruh adat, maupun dikhususkan waktu tersendiri.
Editor: Muhammad Bulkini