bakabar.com, BANJARMSIN – Puluhan massa dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kalsel kembali turun ke jalan.
Mereka bersikukuh untuk menolak Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Aksi penolakan dilakukan di depan Kantor DPRD Kalsel, Senin (20/1) pagi tadi. Unjuk rasa tadi juga sebagai aksi susulan dari pekan lalu.
Selain itu, FSPMI Kalsel juga melakukan penolakan atas kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang mulai berlaku per 1 Januari lalu.
Baca Juga: Draf RUU Omnibus Law, Presiden Jokowi Target Beres Pekan Ini
“Dampak terburuk yang dirasakan buruh adalah hilangnya upah minimum. Hal ini terlihat dari keingginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam,” ucap Ketua FSPMI Yoeyoen Indharto, melalui pengeras suara di atas mobil komando di depan kantor DPRD Kalsel.
Meski ada pernyataan, pekerja yang mencapai 40 jam seminggu akan dibayar seperti biasa. Sementara yang tidak mencapai ketentuan itu akan diupah per jam. FSPMI justru menyebut hal itu hanya akal-akalan pemerintah dan pengusaha saja.
Sebab, dalam pelaksanaanya akan sangat mudah pengusaha untuk menurunkan jam kerja, sehingga pekerja tidak lagi bekerja 40 jam.
FSMI menilai penerapan sistem itu adalah bentuk diskriminasi terhadap upah minimim.
Dalam UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebut tidak boleh ada pekerja yang menerima upah di bawah upah minimum.
Baca Juga: Besok, FSPMI Kembali Demo ke DPRD Kalsel
“Jika itu dilakukan, sama dengan kejahatan dan pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum bisa dipindanakan,” sambungnya.
Sementara itu, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja memang menimbulkan kontroversi dalam penyusunannya. Berbagai pihak menilai RUU sapu jagat tersebut tak ramah dengan pekerja.
“Kita akan kawal Omnibus Law sampai tiga bulan ke depan, setuju kawan – kawan,” seru Yoeyoen Indharto.
Baca Juga: Disnakertrans Bentuk Tim Selesaikan Tuntutan FSPMI
Reporter: Rizal Khalqi
Editor: Fariz Fadhillah