bakabar.com, BANJARMASIN - Gelombang aksi buruh menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja bergerak ke DPRD Kalsel, Senin (20/1).
Puluhan massa mengenakan kaos Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) berorasi menolak RUU tersebut di depan Kantor DPRD Kalsel. Sementara saat bersamaan, buruh lain Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) memilih ikut audiensi di Komisi IV DPRD Kalsel bersama Kepala Dinas Ketenagakerjaan Kalsel.
Dalam aksinya, dua organisasi buruh ini tidak sepakat dengan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Ketua FSPMI Yoeyoen Indharto menyebut ada 6 alasan penolakan. Pertama, menghilangkan upah minimum.
Menurutnya sistem yang dibuat akan memudahkan para pengusaha memonopoli jam kerja pegawai. Hal itu berdampak buruk yang secara langsung dirasakan buruh hilangnya upah minimum. Hal itu terlihat dari keinginan pemerintah yang menerapkan sistem upah per jam.
Kedua menghilangkan pesangon. Nah untuk ini pihak melihat akan mengurangi jumlah bulan untuk pesangon. Menko Perekonomian menggunakan istilah baru dalam Omnibus Law, yakni tunjangan PHK yang besarnya enam bulan upah.
“Sementara dalam UU 13 tahun 2003, sudah diatur mengenai pemberian pesangon bagi buruh yang ter PHK. Besarnya pesangon maksimal sembilan bulan, dan bisa di kalikan dua untuk jenis PHK tertentu sehingga bisa mendapatkan 18 bukan upah,” kata Yoeyoen.
Ketiga, fleksibiltas pasar kerja atau penggunaan outsourcing dan buruh kontrak di perluas. FSPMI menafsirkan, istilah fleksibilitas pasar kerja adalah tidak ada kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap dan outsourcing dibebaskan pada semua lini.
Keempat. lapangan pekerja yang tersedia berpotensi diisi TKA Unskill. TKA yang tidak mempunyai keterampilan kerja khusus (unskil workers) tidak diperbolehkan bekerja di Indonesia. Seperti yang tertuang dalam UU 13/2003.
Kelima. Jaminan sosial terancam hilang. Dengan skema sebagai mana di atas tadi jaminan sosial pun terancam hilang seperti misalnya jaminan hari tua.
Kemudian keenam, menghilangkan aksi pidana bagi pengusaha. Dalam RUU Omnibus Law juga ada wacana untuk menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.
Senada dengan FSPMI, KSPSI Kalsel melalui biro Hukumnya menyebut mumpung masih berbentuk draf, pihaknya berusaha berkomunikasi dengan DPRD Kalsel supaya juga memberikan dukungan secara politik ke DPR RI.
Dan pihaknya juga mengancam, jika tidak melibatkan dan memperdulikan usulan tersebut, buruh akan melakukan aksi yang lebih besar lagi
“Kita akan mengawal, setelah audiensi ini apakah ada respon atau tidak dari pemerintah. Jika tidak jangan salahkan kami dari provinsi Kalsel dengan Serikat buruh sejahtera dan KSPSI untuk melaksanakan aksi besar-besaran,”
Dia menegaskan aksi itu mendorong supaya klaster ketenagakerjaan tak masuk dalam Omnibus law.
Ketua Komisi IV DPRD Kalsel M Lutfi Saifuddin menyebut di Indonesia belum bisa menerapkan upah pekerja berdasarkan jam seperti di negara-negara maju.
Menurutnya dalam draf Onmnibus low soal ketenagakerjaan itu, dilihat peraturan masih cenderung melindungi pengusaha dan merugikan para pekerja.
“Ini menurut kami (Komisi IV) belum sesuai lah dengan kondisi indonesia, kita belum seperti negara-negara maju yang menerapkan upah pekerja dengan jam,” katanya.
Komisi IV pun mendukung dan bergegas akan menyampaikan aspirasi buruh tersebut pada komisi sembilan DPR RI.
Baca Juga:Tolak Omnibus Law, FSPMI Kembali Terjunkan Massa di Kalsel
Baca Juga:Draf RUU Omnibus Law, Presiden Jokowi Target Beres Pekan Ini
Reporter: Rizal Khalqi
Editor: Syarif