bakabar.com, JAKARTA – ”Wahai anakku, aku bermimpi akan menyembelihmu, bagaimana pendapatmu.” Ismail menjawab: ”Hai ayahku, lakukanlah yang telah diperintahkan (oleh Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk hamba yang sabar.” (QS 37: 102).
Dialog antara Ibrahim dan Ismail di atas berlangsung ketika Ibrahim gundah karena mimpinya yang akan menyembelih anaknya itu. Kenapa perintah ini tidak diwahyukan Allah ketika Ismail masih bayi dan balita, sehingga Ibrahim bisa melakukannya tanpa minta persetujuan anaknya. Ternyata tujuan Allah bukanlah sekadar itu, setidaknya ia mengandung dua makna:
Pertama, ia merupakan bantahan bagi manusia yang ketika itu mengorbankan sesama manusia untuk sesaji bagi dewa, tetapi hal ini akan terjawab ketika sembelihan yang dikehendaki Allah bukan manusia tetapi domba sebagai ganti Ismail.
Kedua, ia merupakan iktibar bagi orangtua yang anaknya menginjak remaja, bahwa dalam memutuskan suatu persoalan yang menyangkut keluarga atau si anak, sebaiknya diminta pendapatnya terlebih dulu. Bukan dengan pemaksaan kehendak atau sewenang-wenang. Pakar pendidikan dan psikologi anak, Rudolf Dreikurs, berkata bahwa orang tua yang baik adalah ”yang berbicara dengan anaknya, bukan berbicara kepada anaknya”.
Anak di sini maksudnya yang telah akil baligh. Pada masa ini anak sudah menjadi mitra dialog orangtua (berbicara dengan mereka), bukan sekadar sebagai sasaran pembicaraan atau khotbah moral (berbicara kepada mereka).
Kesulitan yang paling tragis antara orangtua dan anak adalah tiadanya komunikasi yang kondusif. Ketika orangtua berhadapan dengan anak, di sini terdapat dua ego (aku). Apabila orangtua memaksakan kehendaknya seperti ia ingin anaknya sebagai kelanjutan darinya; ataupun sebaliknya, jika orangtua menyerahkan sebebas-bebasnya apa yang diinginkan anak, maka di sini hanya muncul satu ego, bukan perpaduan dua ego itu.
Pada ego pertama anak akan menjadi minder, tidak kreatif, dan akhirnya memberontak. Pada ego kedua anak seakan-akan menjadi raja dan merasa perlu dilayani. Akhirnya ia memperbudak orangtuanya. Karena itu, pintu komunikasi hanya akan terbuka lebar jika orangtua membiasakan berdialog dengan anak, bukan kepada anak, sejak anak menginjak remaja.
Sebagai orangtua, kita harus arif memilah-milah antara ketidakpatuhan dengan keinginan anak menemukan sesuatu yang baru. Dalam hal ini Rasulullah bersabda, ”Didiklahanakmu, karena mereka akan hidup pada zamannya.” Hadis ini mendorong kita bahwa dalam mendidik anak seakan-akan usia kita dengan anak tidak terpaut terlalu jauh. Ini akan memunculkan sikap menghargai, bahwa tindakan anak yang berbeda dengan kita dalam soal-soal yang positif bukan semuanya dilarang, tetapi ada sisi kelonggaran yang diiringi dengan pemantauan seperlunya.
Ketika Lukmanul Hakim memberi nasihat kepada anaknya, ia berbicara dengan anaknya. Ini terlihat pada kalimat li ibnihi (untuk anaknya), bukan ilaaibhini (dibebankan kepada anaknya). Setelah ia merasa menyatunya dua ego, baru ia tuturkan nasihat-nasihat untuk anaknya (QS 31: 13-19).
Baca Juga:Akhlak Imam Hanafi dan Imam Malik Ketika Ditanya Siapa yang Lebih Utama
Baca Juga:Berikut Amalan Sederhana Agar Bisa Ikhlas Lapang Dada Hadapi Cobaan
Sumber: Khazanah Republika.co.id
Editor: Aprianoor