bakabar.com, BANJARMASIN - Habib Muhammad bin Salim bin hafidz -ayah Habib Umar bin Hafidz- diketahui adalah seorang pendakwah yang syahid di tangan penguasa Yaman yang zalim.
Kewafatan sang ayah tentu menorehkan luka mendalam pada sang anak. Namun setelah puluhan tahun kemudian, Habib Umar "dipertemukan" dengan penguasa zalim tersebut.Apa yang dilakukan beliau?
"Pertemuan" Habib Umar bin Hafidz ini melalui murid beliau yang bernama Habib Ali Al Jufri. Berikut cerita Habib Ali:
"Aku pernah berada di Kota Aden, berada dalam satu majelis dengan seorang bekas penguasa atau pemimpin yang sangat zalim.Di mana ketika berkuasa, dia melakukan banyak kemungkaran dengan membantai atau membunuh banyak ulama besar Hadhramaut.Di antaranya, salah satu yang menjadi korbannya adalah guru mulia kami asy-Syahid Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz, ayahanda dari guru kami Habib Umar bin Hafidz.
Takdir telah membawaku untuk bertemu dengannya. Dan ketika aku menatapnya (setelah aku diberitahu siapa dia) timbul perasaan tidak suka atau tidak nyaman yang luar biasa. Bahkan aku tidak mau berbicara dengannya, meskipun sekadar berdakwah sekalipun.
Aku tahu sikapku ini keliru dan salah, karena memanggil orang ke jalan Allah harus diutamakan, tak peduli siapa mereka atau apa yang pernah mereka lakukan.
Dan tiba-tiba saja orang zalimitu menghampiriku dan berkata, 'Aku ingin bertaubat! Apa yang harus kulakukan?'
Aku pun berusaha keras untuk menguasai diriku, agar bisa menjawab permintaannya dengan baik. Dan aku berusaha tersenyum supaya ia tidak pergi menjauh dari kebenaran yang ia inginkan.
Segera setelah keluar dari majelis, aku tetap merasa sangat terganggu dan tidak nyaman, maka aku menelepon guruku,Sayyidil Habib Umar bin Hafidz serta menceritakan dengan siapa aku telah bertemu. Dan beliau hanya bertanya, 'Apa maunya?'
Aku katakan keinginan orang itu untuk bertobat dan minta maaf, tapi aku tak mampu menuntunnya dengan baik karena hatiku sangat tak menyukai dengan apa yang telah ia lakukan dimasa lalu.
Guru Mulia Habib Umar bin Hafidz kemudian berkata, 'Ali, penuhilah hak Allah atasmu, yaitu menuntun ia kepada Allah. Tunjukkan kasih sayang dan perhatian atasnya dari dasar hatimu yang paling dalam. Dan untuk perasaanmu yang tidak suka berkumpul bersamanya atau ketidaknyamananmu itu, maka alihkan kepada kebencian terhadap perbuatannya, bukan kepada individu atau orangnya.
Karena, Rasulullah SAW tetap menerima keislaman Wahsyi (orang suruhan Hindun istri Abu Sufyan) yang telah membunuh paman tercinta Nabi, yaitu Sayyidina Hamzah (dengan caramenombaknya dari jauh kemudian memutilasinya dan mengeluarkan jantungnya).
Tetapi Nabi SAW pun tetap memaafkan dan mengampuni Wahsyi, meski beliau mengalami kesulitan menatap wajah Wahsyi dan berkata jangan biarkan aku melihatnya lagi.Bukan karena benci pada Wahsyi, tetapi karena akan membuat kesedihan beliau teringat lagi keadaan paman beliau kala syahid.'
Kata-kata Habib Umar ini sungguh tak ternilai dan sangat amat berharga bagiku, karena beliau sedang berbicara tentang manusia yang pernah melakukan kejahatan terbesar dalam hidup beliau sendiri (yaitu membunuh ayah kandung beliau) dan memisahkannya dengan keluarga beliau, akan tetapi masih menerima dan membantunya tobat."
Untuk diketahui, sekitar 50 tahunan yang lalu, pemerintah komunis berkuasa di Yaman. Madrasah-madrasah ditutup, pengajian dilarang,Habaibdisakiti, disiksa, dipenjara dan dibunuh. Saat itu, jalanan Tarim dipenuhi tulisan: “Tidak Ada Tuhan! Hidup Adalah Materi!”
Dalam keadaan genting itu, Habib Muhammad bin Salim -ayah Habib Umar- bersikukuh tetap mengajar, berdakwah, memperjuangkan syariat Rasulullah SAW.
Ketika Habib Muhammad berhaji, seorang ulama Makkah berkata kepadanya, "Wahai Habib, janganlah engkau kembali ke Tarim. Tinggallah bersama kami disini. Kami khawatir akan keselamatanmu.”
Habib Muhammad menjawab, "Dulu para sahabat keluar dari Madinahkeseluruh penjuru bumi untuk mencari mati syahid. Sedangkan sekarangkesyahidan datang kepadaku di Tarim. Apakah kau pikir aku akan lari darinya? Jika aku tinggalkan Tarim, siapa yang akan memperjuangkan dakwah di sana nanti?”
Tepat di hari Jumat, 29 Dzulhijjah 1392 H, Habib Muhammad diculikdan dibunuh oleh pemerintah komunis. Habib Umar yang saat itu berusia 9 tahun menangis kebingungan mencari sang ayah. Tapi percuma, jasad beliau tak pernah lagi bisa ditemukan.
Tragedi berawal ketika Habib Umar sedang menemani Sang Ayah untuk Salat Jumat, ayah beliau diculik oleh golongan komunis, dan Habib Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik Sang Ayah.
Syal tersebut layaknya tongkat estafet dakwah yang kini dilanjutkan Habib Umar bin Hafidz.
Setelah kurang lebih 50 tahun dari hari itu, Tarim yang dulu hanyalah kota kecil di pelosok Yaman kini menjadi salah satu kiblat bagi para pelajar dari seluruh dunia.
Baca Juga: Tiang Datu Ujung yang Dikeramatkan Ternyata Ada Dua
Baca Juga: Masjid Ini Dipercaya Mengeluarkan Minyak, Benarkah?
Sumber: nu.or.id, dialektik.id
Editor: Muhammad Bulkini