Seperti kata pepatah, merantaulah karena dengan merantau akan tahu makna hidup sesungguhnya. Hal ini lah yang dirasakan MM Rofi (21) yang menimba ilmu ke Jerman, usai menamatkan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Banjarmasin.
Musnita Sari, BANJARMASIN
Sejak lulus 2016 lalu, Rofi bukannya langsung masuk kuliah. Lebih dulu ia mengambil kursus bahasa di Hamburg. “Lalu 2017 baru masuk kuliah. Saya baru selesai penyetaraan di sini, melalui Studienkolleg mbak,” ungkap Rofi.
Rofi, kini tinggal di Leipzig, salah satu kota terbesar di Jerman, negara yang terkenal sensitif terhadap umat muslim. Meski demikian, ia beruntung belum pernah mendapatkan perlakuan kasar oleh warga di sana.
"Susah-susah gampang sih, tapi memang terkadang namanya minoritas di mana-mana susah. Apalagi kalau ketemu orang yang rasis. Pernah ada yang sampai ditarik hijabnya oleh mereka. Tapi untungnya di Leipzig, tidak begitu," ceritanya.
Di Leipzig, menurutnya cukup mudah untuk melaksanakan ibadah. Ia tinggal dekat dengan area masjid. Sehingga memudahkannya untuk mengetahui waktu salat atau berpuasa seperti sekarang ini.
"Masjid di sini setahu saya ada tiga. Salah satunya dekat dengan rumah saya. Untuk jadwal berbuka, ada lembaran yang dibagikan oleh masjid. Tapi terkadang saya juga menggunakan aplikasi khusus," beber Rofi.
Sebagai seorang mahasiswa yang dituntut belajar saat berpuasa, kendala yang ia hadapi adalah waktu. Di sana ia harus diburu waktu antara beribadah dan belajar.
"Puasanya sekitar 17-18 jam. Jadi waktu berbuka dan imsak sangat singkat. Terkadang saya harus makan satu kali saja, dengan menggabung berbuka dan sahur. Atau tidak tidur sama sekali sehingga bisa makan dua kali antara sahur dan berbuka. Kemudian setelah subuh baru saya tidur," aku Rofi berbagi pengalaman.
Namun, ia lebih sering menggunakan cara pertama. Sebab lebih mudah ketimbang tidak tidur sama sekali. Soalnya harus menyesuaikan dengan jadwal perkuliahan di pagi harinya. "Biasanya tergantung jadwal kuliah dan kebutuhan," sahutnya.
Beruntung cuaca di Leipzig cukup mendukung aktivitas beratnya. Selain itu ia juga mudah mendapatkan makanan halal selama di sana.
"Bulan ini masih sejuk, maksimal 18 derajat. Kalau urusan makanan, di sini banyak toko-toko Arab dan Turki, jadi gak perlu khawatir cari yang halal," lontarnya.
Menjalani tahun ketiga di luar negeri, untuk lebaran kali ini ia mengatakan belum berencana untuk pulang kampung.
Namun jika hanya sekadar melepas rindu, Rofi biasanya berkomunikasi lewat telepon. Sedangkan untuk merayakan Idul Fitri, pihak KJRI menyediakan wadah berkumpul untuk warga Indonesia yang ada di sana.
"Ramadan pertama dulu merayakan Idul Fitri di KJRI Hamburg. Kemudian tahun lalu di Masjid Leipzig. Biasanya halal bi halal sama teman-teman. Alhamdulillah disajikan makanan prasmanan seperti ketupat, opor ayam dan sayur-sayuran," pungkasnya.
Baca Juga: Syahdunya Suara Imam Tarawih di Masjid At-Taqwa Banjarmasin, Satu Juz Satu Malam
Baca Juga: Ramadan di Negara Minoritas Seperti Jerman, Ini Perlakuan yang Vela Dapat
Reporter: Ahc09
Editor: Ahmad Zainal Muttaqin