Nasional

May Day 2019, Sekelumit Catatan untuk Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit

Merawat masa depan industri sawit dengan menyejahterakan buruh sawit Jutaan buruh perkebunan kelapa sawit hari-hari berjibaku…

Featured-Image
Pendapatan petani sawit di Kotabaru sangat bergantung pada harga TBS dan hasil panen TBS. Foto ilustrasi: Ist

Merawat masa depan industri sawit dengan menyejahterakan buruh sawit

Jutaan buruh perkebunan kelapa sawit hari-hari berjibaku dengan target-target harian, menerjang hawa terik dan hujan. Dari tangan-tangan mereka, Kita dapat menikmati produk-produk turunan kelapa sawit.

Oleh Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Solidaritas Buruh Perkebunan Sawit

SETELAH kemunculan ‘Sexy Killers‘ di Indonesia pertengahan April 2019, masyarakat dicerahkan oleh fakta-fakta yang mencengangkan tentang industri batu bara yang sarat dengan pelbagai masalah.

Mulai dari analisis dampak lingkungan atau Amdal yang dipalsukan, tata kelola limbah yang amburadul, distribusi yang sarat jejak karbon dan masalah lingkungan.

Sampai konflik tak berkesudahan antara perusahaan dengan masyarakat lokal. Secara keseluruhan, film dokumentasi tersebut menunjukkan bahwa industri pertambangan Indonesia mengalami salah tata kelola yang menyebabkan korban jiwa.

Kerugian materiil maupun kerugian-kerugian immateriil, yang sebagian besar ditanggung oleh masyarakat.

Dalam konteks yang sama, Koalisi Buruh Sawit Indonesia (KBS) yang beranggotakan organisasi masyarakat sipil dan serikat buruh, mencatat dengan baik bahwa perkebunan sawit juga hidup di atas tata kelola yang merugikan banyak pihak.

Sejak lama dunia internasional mempermasalahkan urusan tata kelola lingkungan hidup, dan deforestasi akibat ekspansi industri sawit sebagai ancaman global.

Industri sawit lebih tragis karena wacana ini selalu absen dari segala perdebatan
tentang kondisi manusia yang hidup dari industri ini.

Mereka adalah pekerja/buruh yang bekerja di perkebunan kelapa sawit, yang bergantung pada perkebunan sawit sekaligus yang dikorbankan.

Dalam catatan Transformasi Untuk Keadilan (TUK Indonesia) yang merupakan anggota dari
KBS, pemerintah Indonesia sebagai administrator tata kelola negara tak memiliki data yang pasti dan akurat tentang luas dari perkebunan sawit di Indonesia.

Ada enam lembaga negara yang memiliki data yang berbeda. Namun tidak satupun yang bisa dijadikan acuan.

Konon lagi mengenai data jumlah buruh perkebunan sawit. Asumsi yang digunakan oleh lembaga negara adalah jumlah luas perkebunan dibagi dengan target kerja individu buruh sawit.

Menurut Presiden Jokowi, luas perkebunan sawit di Indonesia sekitar 13 juta hektar.

Bila dibagi dengan seorang buruh yang mampu mengerjakan 2 hektar (asumsi rata-rata), maka jumlah buruh sawit berdasarkan rasio beban kerja dengan total luas lahan adalah 7 juta buruh.

Ini belum termasuk keluarga mereka, dan belum termasuk buruh-buruh di pabrik kelapa sawit (PKS).

Jumlah ini merupakan jumlah yang signifikan dalam konstelasi ketenagakerjaan Indonesia. Buruh sawit adalah kelompok buruh perkebunan terbesar dalam sejarah perburuhan di Indonesia.

Namun, dalam lembar fakta yang dituang dari Focus Group Discussion. KBS menemukan catatan-catatan pilu tentang kondisi pekerja perkebunan sawit. Hal yang berbanding terbalik dengan prestasi industri sawit Indonesia yang berkontribusi sebesar 429 triliun terhadap PDB Indonesia pada 2016 saja.

Pada 2017, Indutri sawit menjadi penyumbang PDB terbesar bagi Indonesia dengan rasio 11% dari total PDB.

Catatan-catatan buruh perkebunan sawit di Indonesia

Lembar Fakta Buruh Sawit 2018 yang dirilis oleh KBS pada maret 2018, menyoroti dua masalah utama yang dialami oleh buruh sawit:

Pertama, pengawasan dan penegakan hukum yang lemah dan tidak berpihak kepada buruh.

Hal ini terlihat dari pembiaran atas eksploitasi terhadap buruh seperti: pemberian target kerja yang tidak manusiawi, diskriminasi terhadap buruh perempuan, adanya pekerja anak-dampak dari target yang tidak manusiawi-, penyelewengan status kerja dan praktik upah di bawah aturan yang melanggar UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003, serta pemberangusan serikat pekerja dengan berbagai modus operandi (yang melanggar UU Kebebasan Berserikat No 21/2000).

KBS mencatat, setidaknya lebih dari 10 kasus pemberangusan serikat pekerja dilakukan oleh perusahaan secara terang-terangan pada tahun 2018 saja.

Perkara terbaru adalah pemecatan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan sawit di Sumatera Selatan kepada anggota serikat pekerja GSBI (Gabungan Buruh Serikat
Indonesia), karena dianggap turut memprovokasi dengan mengirimkan surat kepada
Presiden pada November lalu.

Lemahnya pengawasan dan penindakan hukum juga dapat dilihat dari kasus yang dialami oleh buruh-buruh pekerja perkebunan kelapa sawit di perkebunan Rajawali Corpora, Kotabaru, Kalimantan Selatan.

Ratusan buruh sawit dari Federasi Serikat Pekerja BUN Sawit Rajawali menggelar aksi demonstrasi di kota Kabupaten menuntut upah mereka yang belum dibayar oleh perusahaan, dan pembayaran atas penunggakan biaya BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.

Setelahnya, ada kesepakatan antara perusahaan dan serikat pekerja, namun perusahaan tidak memenuhi kesepakatan, dan tidak ada tindakan yang tegas dari pemerintah.

Lemahnya pengawasan ketenagakerjaan di Perkebunan Kelapa Sawit dapat dijejaki dari
studi kebijakan yang dilakukan oleh tim riset internal TURC (UU No 7/1981, UU 21/2003, Permen No 9/2005, UU No 23/2014).

TURC menemukan skema pengawasan dari kementrian ketenagakerjaan memiliki banyak kelemahan yang cukup esensial.

Pertama pengawas ketenagakerjaan yang ada di provinsi tidak punya pengetahuan teknis yang memadai tentang industri sawit, hal ini mempersulit pengawas untuk memahami konteks perkebunan sawit sehingga sulit menemukan pelanggaran di dalam
perkebunan.

Kedua, jumlah pengawas tidak sebanding dengan jumlah perusahaan dan luas wilayah pengawasan.

Ketiga, mekanisme pengawasan (tempat dan perusahaan yang dituju) sudah ditentukan dalam program kerja tahunan, oleh sebab itu bila ada pengaduan dar buruh yang bersifat insidentil, harus melalui persetujuan birokrasi, dan disetujui oleh pihak yang berwenang untuk dilakukan monitoring.

Hal ini membuat penindakan kasus seringkali terlambat bahkan sering terlupakan. Masalah kedua lebih pelik.

Yaitu tidak ada aturan yang spesifik mengatur hak-hak buruh sawit secara adil. Indonesia hanya memiliki satu acuan umum dalam mengatur perlindungan hak-hak pekerja, yaitu undang-undang ketenagakerjaan yaitu UU No. 13/2003 -dengan PP 78 sebagai aturan tambahan untuk skema pengupahan-.

Dalam konteks perkebunan kelapa sawit, UU ini gagal memberikan perlindungan
pada buruh sawit karena UU Ketenagakerjaan dibuat berdasarkan pada kondisi pekerja
sektor manufaktur.

Sifat pekerjaan di perkebunan kelapa sawit berbeda jauh dari pekerjaan di sektor manufaktur. Hal ini bisa dilihat dari kebutuhan kalori yang jauh lebih tinggi, dan penerapan beban kerja yang didasarkan pada tiga hal: target tonase, target luas lahan, dan target jam kerja.

Secara gamblang, pekerja di sektor perkebunan memiliki beban kerja yang jauh lebih berat daripada pekerja manufaktur. Selain itu, pekerja perkebunan secara sosiologis terisolasi dari dunia luar.

Mereka hidup dalam permukiman berbentuk kompleks perumahan yang disediakan oleh perusahaan, di mana dalam riset yang dilakukan oleh TURC di tiga perkebunan besar di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, perumahan yang disediakan tidak layak.

Masalah-masalah dasar seperti sanitasi, air bersih yang cukup, saluran air, ruang-ruang bermain yang aman, sampai fasilitas kesehatan, tidak disediakan dengan layak oleh perusahaan.

Buruh kebun kelapa sawit juga harus mengeluarkan dana ekstra untuk mengakses pendidikan, akses ke fasilitas kesehatan untuk penyakit berat, dan akses hiburan, karena lokasi mereka yang jauh di dalam perkebunan, diperparah dengan infrastruktur jalan yang sulit untuk ditembus.

Dalam konteks ini, UU ketenagakerjaan Indonesia, dianggap tidak mampu
membaca kebutuhan buruh perkebunan kelapa sawit. Bahkan cenderung mendiskriminasi
buruh perkebunan sawit.

Kerja Prekariat yang Mendiskriminasi Perempuan

Hasil temuan KBS yang dituang dalam lembar fakta. Sebagian besar dari jutaan pekerja sawit merupakan pekerja prekariat, atau dikenal dengan nama Buruh Harian
Lepas (BHL), dan sebagian besar BHL adalah perempuan.

Hal ini dikarenakan perempuan mendapat porsi pekerjaan yang dianggap merupakan pekerjaan musiman seperti perawatan, pemupukan, penyemportan insektisida, pembrondol, dan lain-lain.

Perempuan juga dengan sistematis dibatasi hari kerjanya menjadi 20 hari dalam sebulan. Hal ini untuk menyiasati aturan pemerintah yang mengharuskan perusahaan membayar pekerja yang bekerja 21 hari berturut-turut dengan upah minimum daerah.

Dan mengangkat mereka menjadi pekerja tetap. KBS menemukan hampir di semua perkebunan sawit di Indonesia para perempuan menjadi BHL dengan masa kerja lebih dari dua tahun.

Bahkan ada yang sampai belasan tahun, seperti temuan Sawit Watch di PT. Agro Kati Lama (anak perusahaan Sipef), yang menemukan ada 1.200 pekerja perempuan yang berstatus Buruh Harian lepas.

Buruh sawit perempuan (yang memiliki peran ganda) adalah pekerja yang paling rentan
terkena dampak buruk kesehatan, akibat perlengkapan K3 yang diperlukan sebagian besar
tidak layak.

Bahkan di beberapa perkebunan, buruh perempuan harus membayar untuk mendapatkan perlengkapan K3 yang seharusnya menjadi kewajiban perusahaan.

Celakanya, pekerja BHL biasanya tidak mendapatkan jaminan sosial berupa BPJS Kesehatan dan ketenagakerjaan, sehingga saat mereka sakit.

Mereka harus menggunakan dana sendiri atau utang. Hal ini membuat pekerja perempuan rentan jatuh ke dalam kubangan utang yang membuat mereka tidak bisa lepas dari perkebunan. Ini merupakan modus perbudakan baru di perkebunan sawit.

Diplomasi Sawit, Diplomasi Buruh

Indonesia dan beberapa negara produsen sawit besar kini sedang meradang karena Uni Eropa pada 2018 mengeluarkan aturan yang melarang produk-produk minyak nabati yang berkontribusi pada deforestasi, memasuki Eropa dimulai dari 2021.

Keputusan ini diambil oleh parlemen Uni-Eropa untuk mencapai tujuan mereka dalam pengurangan gas rumah kaca dan menghentikan pemanasan global. Perkebunan Kelapa Sawit ditenggarai menjadi salah satu penyumbang utama deforestasi di negara-negara tropis sehingga
dianggap berkontribusi besar pada pemanasan global.

Aturan Renewable Energy Directive(RED II) ini dianggap sebagai aturan diskriminatif yang menyudutkan industri sawit Indonesia.

Pemerintah Indonesia sejak 2018 secara agresif melakuan diplomasi ke berbagai pihak yang berpengaruh.

Bahkan pada awal 2019, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan, berencana menggugat Uni-Eropa ke WTO.

Sayangnya, dalam dokumen RED II, maupun dalam dokumen-dokumen diplomasi pemerintah Indonesia, tidak ada satu poin-pun yang menyinggung tentang tata kelola buruh kelapa sawit.

Dalam perspektif yang lebih luas, keengganan pemerintah memperbaiki kondisi buruh sawit Indonesia dapat dilihat dari belum diratifikasinya Konvensi ILO No 110/1958 tentang
Perkebunan, dan Konvensi ILO No 184/2001 tentang Kesehatan, Keselamatan Kerja
di Perkebunan.

Strategi diplomasi Indonesia selalu menggunakan narasi Smallholders yang menurut utusan pemerintah Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan berhasil mengurangi
kemiskinan secara signifikan di Indonesia.

Namun Pemerintah Indonesia menutup mata atas masalah-masalah perburuhan di perkebunan sawit.

Buruh sawit tidak dianggap menjadi bagian strategis dari strategi diplomasi Indonesia. Koalisi Buruh Sawit menilai pemerintah Indonesia meremehkan peran jutaan buruh sawit dalam rantai industri sawit.

Padahal dalam simulasi studi yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor, peningkatan
pada kesejahteraan Buruh Sawit berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi
Indonesia, dan secara multiplier berpengaruh pada perbaikan kualitas hidup manusia
Indonesia.

Peran Institusi Finansial

Salah satu entitas yang secara langsung berhubungan dengan industri sawit adalah entitas
finansial.

Entitas perbankan menjadi tumpuan dalam industri sawit sebab melalui skema
pinjaman modal, perusahaan sawit bisa menjalankan aktivitas operasional mereka.

Dalam catatan KBS, melalui riset yang dilakukan oleh TUK Indonesia, menemukan lembaga-lembaga finansial memainkan peran penting dalam tata kelola industri sawit.

Namun dalam temuan TUK Indonesia, peran lembaga finansial saat ini justru tidak sejalan dengan kebijakan good governance and social responsibility.

Di mana lembaga finansial memberikan kemudahan pinjaman modal kepada perusahaan perusahaan yang tidak memenuhi hak-hak buruhnya dengan pantas.

KBS melihat lembaga keuangan sebagai investor dapat mengintervensi kebijakan perkebunan sawit melalui skema-skema peminjaman modal dan pembagian hasil. Yang secara tidak langsung mampu memengaruhi perbaikan buruh di level perusahaan.

KBS mendorong lembaga finansial untuk patuh kepada prinsip-prinsip Good Governance and Social Responsibility dengan cara memberikan pinjaman hanya kepada perusahaan yang memenuhi hak-hak pekerjanya. Dan lebih jauh lagi, mendorong perusahaan perkebunan sawit untuk mengadopsi skema-skema pengupahan yang berpihak pada buruh sawit.

Seruan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit pada May Day 2019

Hampir semua produk makanan dan kosmetik yang kita gunakan sehari-hari, memiliki produk dari sawit.

Melalui hari buruh internasional 2019, KBS menuntut perbaikan tata kelola ketenagakerjaan di perkebunan sawit, dengan prinsip-prinsip kesejahteraan dan keadilan.

Tuntutan Koalisi Buruh Sawit:

1. Menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan bagi
buruh sawit dengan membuat sebuah aturan khusus yang mengatur hak-hak
pekerja sawit secara adil dan berorientasi pada kesejahteraan, bukan pada upah
minimum semata.

2. Menyerukan agar pemerintah mengawasi regulasi perburuhan di perkebunan
sawit, dan secara tegas menindak perusahaan sawit yang terbukti merampas
hak-hak buruh sawit, dan terbukti tidak menaati kesepakatan-kesepakatan yang
telah disepakati antara serikat pekerja dan perusahaan.

3. Mendesak pemerintah merevisi mekanisme pengawasan ketenagakerjaan
khususnya pengawasan pada perkebunan sawit yang memiliki kriteria unik, dan
jangkauan yang luas.

4. Mendorong pemerintah Pemerintah Indonesia agar meratifikasi Konvensi ILO No.
110 tahun 1958 tentang Perkebunan dan Konvensi ILO No. 184 tahun 2001 Tentang
Kesehatan, Keselamatan Kerja (K3) di Perkebunan.

5. Menyerukan kepada institusi finansial agar mengadopsi dan mengimplementasi
prinsip-prinsip Good Governance & Social Responsibility dengan tidak memberikan
pinjaman kepada perusahaan sawit yang terbukti tidak memenuhi hak-hak
buruhnya, dan lebih jauh lagi, menyerukan institusi finansial agar mendorong
debitur sawit untuk mengadopsi dan mengimplementasikan prinsip-prinsip
tersebut sebagai syarat untuk bermitra.

6. Mendesak perusahaan-perusahaan sawit di Indonesia untuk mematuhi peraturan
ketenagakerjaan RI, maupun aturan-aturan dari otoritas eksternal seperti RSPO,
ISPO, FPIC, dll

7. Mendesak Perusahaan untuk selalu mengikutsertakan serikat pekerja dalam
perundingan pembuatan aturan-aturan ketenagakerjaan perusahaan melalui forumforum
resmi seperti bipartit atau tripartit. Mengecam semua tindakan 'pemberangusan serikat' dengan segala modus operandinya.

Editor: Fariz Fadhillah

===============
Tulisan ini adalah kiriman dari publisher, isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.



Komentar
Banner
Banner