bakabar.com, JAKARTA - Hari keempat Maret ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) dibuka melanjutkan pelemahan dari bulan sebelumnya.Nilai tukar rupiah terhadap USDsemakin melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Laju dolar AS semakin mulus karena perbedaan kebijakan moneter bank sentral sejumlah negara.
Dilansir dari CBNC Indonesia, pada Senin (4/3/2019) pukul 08:37 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.145. Rupiah melemah 0,25% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Padahalkala pembukaan pasar, rupiah hanya melemah 0,04%. Pelemahan yang sangat tipis ini memunculkan harapan bahwa rupiah bisa menyeberang ke zona hijau.
Namun yang ada sekarang malah depresiasi rupiah semakin dalam. Kini rupiah menjadi mata uang terlemah di Asia. Malang betul nasib rupiah.
Baca Juga: Ini Provinsi Terbesar Pengekspor Sarang Burung Walet
Dolar AS mendapat suntikan tenaga setelah muncul pernyataan dari Haruhiko Kuroda, Gubernur Bank Sentral Jepang (BoJ). Dalam paparan di parlemen, Kuroda menyatakan BoJ akan bersabar dalam menerapkan kebijakan moneter longgar sampai perekonomian Negeri Matahari Terbit benar-benar stabil.
“BoJ akan tertap bersabar mempertahankan stimulus moneter untuk mencapai target inflasi. Saat ini, perekonomian berjalan di jalur yang benar untuk mencapai target tersebut. Namun sampai tahun fiskal 2020, sepertinya masih sulit mencapai inflasi yang telah ditargetkan,” jelas Kuroda, mengutip Reuters dilansir dari CNBC Indonesia.
BoJ sampai saat ini masih mempertahankan target inflasi 2%. Pada Januari, inflasi masih adem-ayem di 0,2%year-on-year(YoY). Jauh dari target 2%.
Dengan begitu, semakin jelas bahwa The Federal Reserve/The Fed (Bank Sentral AS) tidak akan punya lawan sepadan. Jepang (dan Uni Eropa) kemungkinan masih akan menerapkan kebijakan moneter longgar, dengan kenaikan suku bunga acuan yang masih jauh dari horizon.
Begitu pula dengan di Indonesia. Perry Warijyo, Gubernur Bank Indonesia (BI), mengisyaratkan membuka peluang untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate jika situasi memungkinkan.
“Ke depan arah suku bunga akan lebih turun, kalau stabilitas ini kita jaga. Suku bunga sudah hampir mencapai puncaknya,” kata Perry dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2019, pekan lalu.
Sementara The Fed, walau tidak seagresif tahun lalu, masih dalam jalur menaikkan suku bunga acuan. Tahun ini, kemungkinan masih ada dua kali lagi kenaikan karena target median Federal Funds Rate pada akhir 2019 adalah 2,8% sementara sekarang di 2,375%.
Oleh karena itu, dolar AS sepertinya memang masih sulit ditandingi. Berbekal potensi kenaikan Federal Funds Rate (meski tidak dalam waktu dekat), berinvestasi di dolar AS lebih menjanjikan cuan.
Akibatnya, preferensi investor masih ke arah mata uang Negeri Paman Sam. Ruang penguatan rupiah menjadi semakin terbatas.
Baca Juga: Dirut Bank Kalsel 'Pasrah' Jika Jabatannya Dicopot
Editor: Aprianoor