bakabar.com, SAMARINDA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai pernyataan Gubernur Kaltim Isran Noor bahwa pembangunan industri semen di Kabupaten Kutai Timur tak menganggu ekositem Karst Sangkulirang-Mangkalihat sesat.
“Ini menunjukkan ketidakpahaman pemerintah terhadap ekosistem karst,” jelas Wahyu Perdana Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi, Rabu (27/3).
Ada tiga hal mendasar dalam pernyataan Isran yang menurut Walhi menyesatkan. Pertama, terkait klaim itu faktanya bentang alam karst tidak dibatasi oleh batas administrasi kabupaten/ kota.
“Kerusakan pada satu bentang alam karst pada satu lokasi di satu kawasan akan berakibat pada perubahan aliran sungai bawah tanah,” jelas Wahyu.
Karst Sangkulirang sendiri memiliki karakteristik relief dan drainase yang khas. Klaim bahwa pabrik semen tidak berdampak pada kawasan karst dinilai juga mengabaikan fakta bahwa bahan baku utama semen adalah batu gamping atau kapur.
Baca Juga:Gubernur Kaltim Sambut Baik Pembangunan Pabrik Semen di Kutim
Batu gamping atau kapur diperoleh dengan cara menambang, mengupas tanah, meledakan batuan, dan memecah pecahan sampai hancur. Dalam kondisi tak terganggu, batu gamping mampu menyerap air hujan 54 mm/jam.
“Sedangkan daya serap karst pada bekas tambang yang tidak direklamasi, hanya 1 mm per/jam,” tuturnya.
Rusaknya ekosistem karst diyakini akan meningkatkan ancaman krisis air, termasuk ancaman kekeringan dan banjir. Kondisi Kaltim saat ini juga sudah krisis ruang hidup.
Kedua, soal klaim pabrik semen yang dibangun ramah lingkungan dan zero dust. “Klaim ini paling tidak berdasar,” jelasnya.
Dia mengingatkan jika industri semen merupakan penyumbang karbon terbesar. Tercatat industri semen sebagai penyumbang emisi karbon terbesar mencapai 48% (Laporan Investigasi Gas Rumah Kaca KLHK, 2014).
Industri semen, sebutnya, berpotensi menyumbang pencemaran udara terbesar, karena memproduksi Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen oksida (Nox), Karbon Monoksida (CO), serta debu dan Karbon Dioksida (CO2). Di sisi lain, pada karst Sangkulirang Mangkalihat, serapan karbon organik sebesar 6,21 juta ton CO2/tahun dan serapan karbon inorganic sebesar 0,18 juta ton CO2/tahun.
Ketiga, klaim mantan bupati Kutim itu ihwal penyerapan ribuan tenaga kerja. Sebagai perbandingan, dalam analisis dampak lingkungan (Amdal) PT Semen Indonesia tercatat hanya menyerap 356 tenaga kerja.
“Dari sisi ekonomi perkembangan Industri semen yang mengalami stagnasi karena over supply juga secara langsung ataupun tidak akan mengancam keberlanjutannya,” jelasnya.
Baca Juga: Gubernur Isran Sebut Pabrik Semen Bukan di Kawasan Karst
Faktanya, Walhi mengutip data proyeksi Asosiasi Semen Indonesia (Asosiasi Semen Indonesia, Oktober 2017), kapasitas mill industri semen yang ada saat ini mencapai 107.971480 ton. Sedang, proyeksi konsumsi semen domestik hanya mencapai 65,1 Juta ton.
Menurutnya, angka proyeksi ini masih lebih besar dibanding realisasi kebutuhan semen hingga Agustus 2017, sebesar 41.128.780 ton.
“Sayangnya klaim bahwa kebutuhan semen untuk pembangunan infrastruktur juga tidak berdasar, faktanya 75% konsumsi semen digunakan untuk kepentingan retail (masyarakat),” jelasnya.
Menurut Aliansi Masyarakat Peduli Karst, kawasan Sangkulirang Mangkalihat merupakan benteng air terakhir yang dimiliki oleh Kaltim.
Pegunungan Karst ini merupakan daerah resapan air terbesar dan ekosistem yang kaya akan biodiversity flora dan fauna, serta memiliki gua dan tebing yang khas.
BACA: Didemo, Gubernur Kaltim Serap Aspirasi dari Kegubernuran
Editor: Fariz F