Tak Berkategori

Keluh Kesah Dayak Meratus di Hari Masyarakat Adat Nasional 2019

apahabar.com, BANJARMASIN – 13 Maret diperingati sebagai Hari Masyarakat Adat Nasional di Indonesia. Momen sakral ini…

Featured-Image
ILUSTRASI aruh adat merayakan keberhasilan panen. Foto: Mongabay

bakabar.com, BANJARMASIN – 13 Maret diperingati sebagai Hari Masyarakat Adat Nasional di Indonesia. Momen sakral ini coba dijadikan semacam perajut asa bagi komunitas adat Meratus, khususnya suku Dayak.

Beragam harapan ditorehkan. Umumnya, agar kawasan mereka terhindar dari eksploitasi pertambangan batu bara, juga ekspansi perkebunan kelapa sawit.

Sedangkan, harapan utama, kata Direktur Eksekutif Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan Juliade, negara segera mengakui keberadaan masyarakat adat di sana.

Paling memungkinkan, kata dia, Peraturan Daerah (Perda) terkait masyarakat hukum adat (MHA) di Kalimantan segera dibentuk.

“Agar kemudian pengusulan hutan adat oleh masyarakat Meratus bisa langsung direalisasikan,” ucapnya kepada bakabar.com, Rabu (13/3).

Berapa luasan keseluruhan wilayah adat di Kalsel? Meminjam data AMAN, totalnya ada 219 ribu hektare.

Jika dikonversi, angka itu melebihi total luasan wilayah adat di Kalbar, apalagi Kaltim. Sementara, membentang di pegunungan Meratus 171 komunitas di dalamnya.

Baca Juga: Organisasi Masyarakat Desak Pemerintah Akui Hutan Adat di Pegunungan Meratus

Unsur politisasi dan keterbatasan pengetahuan pemangku kebijakan selama ini dirasa menjadi pembendung pengakuan masyarakat adat Meratus. Pun demikian, dengan masyarakat.

Jul mengusulkan, harus ada literatur muatan lokal yang bercerita tentang budaya dan adat masyarakat Dayak Meratus yang sesuai dengan keragaman daerah.

“Jadi bukan hanya belajar dari buku muatan lokal yang isinya budaya masyarakat lain saja,” cetus dia.

Pemerintah, kata dia, harus memastikan ruang hidup masyarakat adat terjaga atau terhindar dari perubahan fungsi hutan dan lahan tersebut.

Di tahun politik, Jul berharap agar calon legislatif terpilih dapat menyuarakan keinginan masyarakat adat itu sendiri.

Sementara itu, Palmi Jaya tokoh pemuda setempat berharap adanya keadilan terhadap masyarakat adat di Indonesia. Pemerintah mesti memperhatikan dan melindungi masyarakat adat.

Salah satunya, menerbitkan berbagai peraturan yang berbasis perlindungan, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat.

“Kami hanya ingin disetarakan dengan yang lainnya. Kami sebagai masyarakat adat terus berjuang dan belum merasakan kemerdekaan atas tanah, hutan dan wilayah,” pinta mantan ketua AMAN Kalsel ini.

Sejauh ini, dia menilai sosialisasi terhadap masyarakat adat Dayak Meratus, terutama bagi masyarakat adat yang tinggal di pedalaman dan hutan oleh pemerintah masih kurang.

Ia selaku perwakilan masyarakat adat, akan terus berusaha menolak kehadiran pengusaha yang tidak pro-lingkungan. Terlebih, ancaman industri ekstraktif yang berdampak besar terhadap kerusakan lingkungan masih mengintai.

“Selama ini pemerintah tidak melibatkan kami dalam pembahasan Amdal. Ini sangat disayangkan karena Amdal itu sangat penting bagi kami yang berada di daerah proyek atau terdampak,” ujar dia.

Kekhawatiran Palmi kian berdasar. Masyarakat di Kabupaten Hulu Sungai (HST) patut cemas seiring kemunculan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) milik PT. Mantimin Coal Mining (Mining).

Tak berhenti di situ. Belum lama ini, muncul pula rencana studi analisis dampak lingkungan PT Antang Gunung Meratus (AGM) di sejumlah media massa.

Sekalipun Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Pemprov Kalsel) memberikan garansi wilayah HST bakal tak ditambang, dan penerbitan itu hanya kesalahpahaman, organisasi lingkungan hidup setempat sudah terlanjur meradang.

PT AGM disebut-sebut akan meningkatkan kapasitas produksi mereka dari 10 juta ton/tahun menjadi 25 juta ton.

Rencana studi tersebut berlokasi antara lain di HST yang dikenal sebagai wilayah bebas tambang, batu bara dan sawit, mengacu RPJMD, RTRW, dan RPJP.

Baca Juga: Chairansyah Resmi Jabat Bupati HST, Abdul Latif Titip Lestarikan Meratus

Dikomandoi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, surat penolakan rencana studi Amdal pun dikirim langsung ke Presiden Joko Widodo.

Walhi mendesak dan menuntut negara agar wilayah administrasi kabupaten HST dikeluarkan dari konsensi PKP2B PT AGM.

"Kegiatan pertambangan akan menghilangkan ekonomi kerakyatan yang sudah ada sejak dulu, dan akan menghancurkan ruang hidup dan sumber kehidupan rakyat," jelas Direktur Eksekutif WALHI Kalsel Kisworo kepada bakabar.com.

Baca Juga:Pelantikan Bupati HST Definitif, Secercah Harapan untuk Meratus

Adanya rencana studi analisis yang diumumkan di media massa, kata Kis, kian meresahkan masyarakat HST yang tergabung dalam gerakan #SaveMeratus.

Soal ini, Kis turut meragukan pernyataan pemerintah yang menyebut Meratus bebas dari tambang, serta menilai kesalahan pengumuman studi Amdal PT AGM di media massa ada unsur kesengajaan.

"Ini yang memancing reaksi masyarakat," kata dia dihubungi bakabar.com.

Padahal, sambung dia, gerakan Save Meratus tengah konsen untuk usaha ligitasi Walhi-gugatan terhadap Menteri ESDM- mencabut izin PT MCM di PTUN. Gugatan hukumnya masih berjalan hingga kini.

Baca Juga: Segera Usulkan Penggunungan Meratus Jadi Geopark Dunia

"Selain ancaman industri ekstraktif. Sampai sekarang wilayah adat Dayak Meratus dan hak hak masyarakat ada juga belum diakui negara," jelas Kis.

Reporter: Muhammad Robby
Editor: Fariz F

Komentar
Banner
Banner