bakabar.com, JAKARTA – Mulai Jumat, 1 Maret 2019 kantong plastik tak lagi gratis. Tiap kantong plastik nantinya akan dikenakan biaya minimal Rp200.
Hal itu diumumkan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Mereka mengumumkan komitmen bersama dengan para anggotanya untuk melakukan kebijakan Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG).
Mereka beralasan untuk melakukan edukasi kepada masyarakat untuk mengurangi penggunaan plastik.
“Bersama seluruh anggota Aprindo kita siap kurangi sampah plastik. Ini program edukasi kepada konsumen untuk mereka ikut serta juga menyelamatkan lingkungan dengan pengurangan sampah plastik,” ungkap Ketum Aprindo Roy Mandey, seperti dikutip detik.com, Kamis (28/2/2019) petang.
Baca Juga:'Tak Sengaja' Bunuh Harimau Bunting, Halawa Dihukum 3 Tahun Penjara Plus Denda Rp100 Juta
Lantas, kantong plastik nantinya akan menjadi salah satu barang dagangan. Dengan begitu menurutnya, akan menghilangkan predikat memakai uang konsumen.
“Jadi modelnya kami mau buat kantong plastik jadi barang dagangan minimal Rp 200, kita akan buat konsumen keluarkan uang untuk kantong plastik. Nanti kantong plastik akan masuk di bill di struk, kita juga akan bayar pajaknya, setiap transaksi itu kan ada pajaknya, jadi tidak ada yang dirugikan tidak ada yg sebut ‘memakai uang konsumen’,” jelas Roy.
Menurutnya inisiatif ini telah muncul sejak 2016. Waktu itu Aprindo diminta jadi pelopor menggunakan plastik berbayar yang digagas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Namun, pihaknya menyanyangkan pihak KLHK alih-alih mengeluarkan payung hukum nasional. Justru hingga kini aturan itu belum keluar juga dari KLHK.
“Kita ini langkah konkret sambil tunggu peraturan dari KLHK. Seperti yg dikatakan KLH, mereka sejak 2016 bilang ada aturan pengaturan sampah plastik, tapi hingga kini belum keluar sudah tiga tahun lamanya,” ungkap Roy.
“Tahun 2016 pun kita juga sudah lakukan ini, namun setelah tiga bulan uji coba, polemik justru muncul dan tidak ada penanganan dari pemerintah maka kami hentikan, padahal berhasil dengan sukses,” pungkasnya.
Editor: Ahmad Zainal Muttaqin