“HPN jadi ritual rutin tahunan, sarana efektif untuk melakukan mobilisasi pers, dan menjadi ajang berkumpul serta ‘berpesta’ para petinggi PWI dan media massa. Pasca Reformasi 1998, praktik HPN yang demikian masih diteruskan”
Oleh: Aji Setiawan
BERANGKAT dari peran wartawan yang begitu penting dan mungkin bisa dibilang vital dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, terbentuklah organisasi bernama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Berdirinya PWI ini menjadi wadah dan sarana, serta lambang persatuan para wartawan Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia dari bahaya kembalinya penjajahan.
Ditetapkannya Hari Pers Nasional (HPN) erat hubungannya dengan PWI karena telah dibahas, bahkan menjadi salah satu butir dari hasil Kongres PWI ke-28 di Padang pada 1978.
Baca Juga:Hari Pers, AJI Balikpapan: Jangan Sekadar Seremoni
Dalam kongres tersebut, isu tentang HPN tercetus dari keinginan tokoh-tokoh pers untuk memperingati kehadiran dan peran pers Indonesia dalam lingkup nasional.
Hal itu pun kemudian dikemukakan lagi dalam sidang Dewan Pers ke-21 yang diselenggarakan di Bandung pada 19 Februari 1981.
Setelah disetujui, isu tersebut disampaikan pada pihak pemerintah melalui perpanjangan tangan Dewan Pers.
Prosesnya memang panjang, tapi tidak sia-sia. Setelah sekitar tujuh tahun berlalu, akhirnya pada 9 Februari ditetapkan secara resmi oleh pemerintah sebagai HPN.
Kala itu, Indonesia berada dalam era orde baru yang mana masih dipimpin oleh Soeharto. Penetapan HPN sendiri dapat ditemukan dalam Keputusan Presiden RI No.5 Tahun 1985.
Tak jarang banyak yang bertanya-tanya, mengapa 9 Februari ditetapkan sebagai HPN?
Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, lahirnya Hari Pers Nasional berhubungan erat dengan PWI.
Baca Juga:HPN 'Diubah' Jadi Hari Prabangsa Nasional di Surabaya
Ternyata 9 Februari bertepatan dengan hari jadi PWI yang dibentuk pada 1946.
Sejak penetapan 9 Februari itu, peringatan HPN diselenggarakan setiap tahun di ibu kota provinsi se-Indonesia secara bergilir dengan mengusung tema yang berbeda-beda.
Pada 2019 sendiri, Surabaya sebagai ibu kota Jawa Timur dipilih menjadi tuan rumah peringatan HPN dengan mengangkat tema "Penguatan Ekonomi Kerakyatan Berbasis Digital".
Adanya peringatan Hari Pers Nasional ini, semoga keberlangsungan dan kebebasan pers di Indonesia bisa terus berkobar.
Tentunya dengan turut memerhatikan verifikasi informasi yang akan disampaikan pers sebagai fasilitator warta untuk masyarakat.
Sepertinya, boleh dikatakan kalau informasi termasuk kebutuhan manusia. Hal ini melihat informasi yang bisa dibilang telah menjadi makanan sehari-hari manusia pada masa kini.
Namun, informasi memang bukanlah kebutuhan pokok yang jika tidak terpenuhi, maka akan memengaruhi keberlangsungan
hidup manusia.
Nah, salah satu sumber pembuatan dan penyebaran informasi adalah pers. Di Indonesia sendiri, terdapat peringatan HPN yang jatuh setiap tanggal 9 Februari. Tentu terdapat cerita sejarah di balik penetapannya.
Berikut sudah kami rangkum 5 poin penting tentang sejarah dan makna Hari Pers Nasional.
Mobilitas pers di manapun itu, termasuk Indonesia, tak bisa lepas dari keberadaan wartawan dalam proses pengumpulan, penyajian, sampai penyebaran informasi bagi masyarakat.
Menyoal Hari Pers Nasional, perlu diketahui bahwa wartawan menyumbang peran ganda dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa.
Pertama, wartawan sebagai aktivis pers berperan dalam pemberitaan yang membangkitkan kesadaran nasional masyarakat Indonesia semasa masih menjadi negara koloni.
Sedangkan peran yang kedua adalah sebagai aktivis politik di mana wartawan bertugas menyulut perlawanan rakyat terhadap kolonialisme agar bisa mencapai kemerdekaan.
Pun hingga Indonesia bebas dari masa penjajahan, kegiatan pers masih terus berlangsung dan mengambil peran vital dalam mewujudkan cita-cita bangsa setelah merdeka.
Karenanya HPN mestinya menjadi momentum bersejarah bagi Pers Nasional yang dipikirkan benar berdasar latar belakang historis perjalanan pers nasional Indonesia.
Tidak terburu-buru sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Orde baru pada tiap 9 Februari.
Sejak muncul SK Presiden tersebut, HPN menjadi perayaan korporatisme negara Orde Baru terhadap organisasi-organisasi kemasyarakatan.
HPN menjadi ritual rutin tahunan, sarana efektif untuk melakukan mobilisasi pers, dan menjadi ajang berkumpul serta ‘berpesta’ para petinggi PWI dan media massa.
Setiap HPN ada serangkaian prosesi baku, yaitu menghadap presiden atau wakil presiden dan memintanya untuk membuka acara seremoni.
Pada acara puncaknya, berbagai bentuk penghargaan diberikan kepada pejabat publik, perusahaan-perusahaan besar, dan sebagainya.
Pasca Reformasi 1998, praktik HPN yang demikian masih diteruskan.
AJI mengulang pernyataan bahwa peringatan dan perayaan HPN memboroskan anggaran negara.
Pun menjadi bukti pers tidak independen dari kekuasaan. Terkuaknya kasus korupsi anggaran yang diselewengkan pejabat negara untuk perayaan HPN, hampir menjadi cerita klise.
HPN menjadi tontonan rakyat yang melihat pajak telah dibayarnya, dihambur-hamburkan.
Sejumlah organisasi jurnalis seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) sebelumnya telah meminta pemerintah RI, melalui dewan Pers Nasional untuk mengkaji ulang penetapan HPN yang selama ini diselenggarakan setiap 9 Februari.
Menurut para jurnalis penetapan 9 Februari itu sarat dengan kepentingan Orde Baru. Namun hingga kini tanggal hari pers tersebut masih tetap digunakan oleh pemerintah.
Selama ini memang ada pertanyaan soal HPN yang mendasarkan pada hari lahir satu organisasi wartawan.
Penetapan seperti itu dianggap kurang tepat dan membuat sejumlah organisasi wartawan lainnya kurang punya rasa memiliki terhadap tanggal bersejarah itu.
Banyak usulan yang bisa diadopsi untuk menetapkan HPN. Salah satunya adalah menjadikan tanggal terbit surat kabar pertama di Indonesia.
Atau bisa juga memakai tanggal lain yang bisa dijadikan momentum atau tonggak kelahiran pers.
Penentuan hari pers nasional harus menggunakan kajian historis dan bisa mengakomodasi kepentingan seluruh masyarakat pers.
Ke depan, banyak pihak seperti AJI dan IJTI berharap Dewan Pers akan mempertimbangkan rekomendasi ini dan dijadikan sebagai bahan untuk disampaikan kepada Presiden soal penetapan HPN.
Kisruh silang pendapat soal kapan dan bagaimana pelaksanaan HPN mengundang perhatian Ketua Dewan Etik AMSI Prof.DR. Bagir Manan, SH, MH.
Hak pelaksanaannya serahkan ke Dewan Pers agar hal tersebut lebih netral, dan Dewan Pers itu milik seluruh konstituen kewartawanan di Indonesia.
Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (ITJI) mendesak agar pelaksanaan HPN direvisi, terutama menyangkut soal tanggal, di mana 9 Februari sejatinya adalah hari kelahiran organisasi PWI.
Peringatan tahunan ini mulai dilakukan setelah Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 5/1985 yang menetapkan tanggal tersebut sebagai HPN.
Setelah Seoharto lengser dalam gerakan reformasi 1998, ada sejumlah perubahan penting yang terjadi. Dalam bidang media, itu ditandai dengan lahirnya Undang Undang Nomor 40/1999 tentang Pers.
Sejumlah regulasi Orde Baru dibidang pers, juga dikoreksi. Termasuk di antaranya adalah pencabutan SK Menpen Nomor 47/1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia.
Lahirnya Undang Undang Pers juga mendorong bermunculannya organisasi wartawan, selain perusahaan media-media baru.
Sebelumnya regulasi media cetak diatur ketat melalui Permenpen
No.01/Per/Menpen/1984 Tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers.
Ketentuan soal SIUPP ini juga akhirnya dicabut oleh Pemerintah pada 1999. Tapi HPN tetap 9 Februari mengacu hari lahir PWI. Padahal saat ini organisasi wartawan bukan cuma PWI. AJI mengusulkan perubahan peringataan Hari Pers nasional pada 23 September.
Pengusulan itu berdasarakan momentum pengesahan Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers.
AJI menilai penetapan itu merupakan tonggak terpenting dalam sejarah kemerdekaan pers Indonesia.
UU Pers termasuk salah satu produk reformasi hukum yang memenuhi standar demokrasi, baik dari sisi proses pembahasan maupun substansinya.
Mempertimbangkan proses pembahasan UU Pers yang sangat demokratis; substansi UU Pers yang selaras dengan konstitusi negara dan standar internasional; serta manfaat UU Pers dalam menjamin kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi, maka AJI mengajukan momentum pemberlakuan UU Pers, 23 September 1999, sebagai pengganti HPN 9 Februari.
Atau menimbang kembali sejarah Pers Nasional dari sejak Pers Pergerakan Kemerdekaan Indonesia.
Di mana HPN yang diselenggarakan setiap tahun pada 9 Februari yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 5/1985 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 23
Januari 1985 perlu dikaji ulang.
9 Februari sendiri memiliki nilai historis bagi perkembangan pers di Indonesia karena bertepatan dengan HUT PWI.
Pada 9 Februari 1946 itu diselenggarakan pertemuan wartawan nasional yang melahirkan PWI sebagai organisasi wartawan pertama pasca kemerdekaan Indonesia.
Soemanang yang juga merupakan pendiri Kantor Berita Antara ditetapkan sebagai Ketua PWI pertama pada pertemuan itu.
Oleh karena sejarah tidak tunggal, PWI bukanlah organisasi wartawan pertama yang didirikan di Indonesia.
Jauh sebelum itu, sejumlah organisasi wartawan telah berdiri dan menjadi wadah organisasi para wartawan di zaman Belanda. Organisasi wartawan yang paling menonjol adalah Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Organisasi ini berdiri pada 1914 di Surakarta.
Pendiri IJB antara lain Mas Marco Kartodikromo, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Sosro Kartono dan Ki Hadjar Dewantara.
IJB merupakan organisasi wartawan pelopor yang radikal. Anggota-anggota dari IJB sering diadili bahkan ada yang diasingkan ke Digul oleh penguasa kolonial Belanda.
Selain IJB, organisasi wartawan lainnya adalah Sarekat Journalists Asia (berdiri 1925), Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), serta Persatoean Djurnalis Indonesia (1940). Berbagai organisasi wartawan tersebut tidak berumur panjang akibat tekanan dari pemerintahan kolonial.
Pada 1984, melalui Peraturan Menteri Penerangan Harmoko (Permenpen) No 2/1984, PWI dinyatakan sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang boleh hidup di Indonesia.
Namun sebelum itu semua, kehadiran Tirto Adhi Soerjo dengan "Medan Prijaji" adalah permulaan pertama menjadikan pers sebagai alat pergerakan.
"Medan Prijaji" yang terbit pada 1 Januari 1907 mempunyai jargon kebangsaan ini kemudian berfungsi sebagai pers, baik tugasnya sebagai jurnalistik yang memberi kabar, sekaligus mengadvokasi publik dari kesewenang-wenangan kekuasaan maupun
kemauan untuk membangun perusahaan pers yang mandiri dan otonom.
Tanggal berdirinya Medan Prijaji, media pribumi pertama pada 1 Januari 1907, atau tanggal lahir Tirto Adhi Soerjo, bapak pers yang juga tokoh kebangkitan nasional, pada 7 Desember 1918.
Dalam sejarah mencapai Indonesia merdeka, wartawan Indonesia tercatat sebagai patriot bangsa bersama para perintis pergerakan di berbagai pelosok tanah air. Di masa pergerakan, wartawan bahkan menyandang dua peran sekaligus.
Wartawan berperan sebagai aktivis pers yang melaksanakan tugas-tugas pemberitaan dan penerangan guna membangkitkan kesadaran nasional.
Selain itu wartawan juga berperan sebagai aktivis politik yang melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan membangun perlawanan rakyat terhadap penjajahan.
Kedua peran tersebut mempunyai tujuan tunggal, yaitu mewujudkan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, wartawan Indonesia masih melakukan peran ganda sebagai aktivis pers dan aktivis politik.
Dalam Indonesia merdeka, kedudukan dan peranan wartawan khususnya, pers pada umumnya, mempunyai arti strategi sendiri dalam upaya untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Setelah mengetahui sejarah awal pers di Indonesia, kita dapat melihat bahwa pers di Indonesia memiliki arti yang sangat penting.
Pers Indonesia turut memberikan kesaksian, mencatat dan sekaligus menjadi pendorong perjuangan bangsa untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Saat ini diharapkan pers Indonesia dapat memberikan kontribusi positif untuk mengembangkan Indonesia ke arah yang lebih baik.
Indikasi pers bebas di Indonesia kini memang tidak ada yang menyangkal. Media Massa, baik cetak maupun elektronik, sekarang nyaris tidak punya hambatan lagi dalam meliput dan menyiarkan berita.
Semua tampil berani. Hampir tidak ada lagi tabu-tabu politik yang semasa Orba berkuasa begitu membelenggu ruang gerak pers.
Apapun bisa ditulis: Keluarga Cendana, Cikeas, Century, Wisma Atlet, Proyek Hambalang sampai masalah HAM dan SARA. Semua bisa ditulis dan disebarkan.
Begitupula dalam organisasi wartawan, semua bebas membentuk organisasi. Kasus Udin dapat dimisalkan demi tegaknya hukum. Sehingga peran dan fungsi pers dapat dikuatkan dan masa depan pers nasional dijamin oleh banyak pihak, baik pemerintah, DPR, kepolisian, dan rakyat.
Apalagi kasus Udin secara hukum dinyatakan kadaluarsa secara hukum pada Agustus tahun 2014.
Toh keragu-raguan terhadap masa depan pers nasional masih ada. Pertama, dengan persoalan kualitas jurnalisme itu sendiri.
Pers bebas yang berjalan sekarang ternyata tidak diikuti oleh peningkatan kualitas jurnalisme.
Yang ada hanya keberanianâsering tanpa disertai pertanggungjawaban moral terhadap
dampak yang mungkin merugikan kehidupan masyarakat.
Kedua, adanya UU Pers yang menjamin kebebasan pers ternyata masih menyisakan kekerasan terhadap wartawan.
Ini membuktikan masyarakat dan pemerintah belum sepenuhnya menjamin kekebasan pers dan berpendapat.
Ketiga, terkait kesejahteraan jurnalis. Kebebasan pers tanpa independensi dari wartawan tentu sulit ditegakan.
Wartawan agar tetap independen, maka harus sejahtera. Tugas mulia jurnalis ini harus dihargai dengan nilai-nilai kepantasan agar kehidupan jurnalis menjadi lebih baik.
Dewasa ini masyarakat sangat membutuh peran pers, terutama saat banjirnya informasi di era kemajuan teknologi digital ini.
Media Massa, berperan dalam menyebarkan fakta dan informasi yang benar ke masyarakat.
Bahwa di tengah era lompatan-lompatan kemajuan teknologi, di era melimpahnya informasi dan melimpahnya miss-informasi, justru pers makin diperlukan.
Media massa harus mampu hadir di tengah lajunya informasi yang berkembang cepat di media sosial. Selain itu, media massa harus mampu membangun kehidupan peradaban dan kebudayaan baru dalam masyarakat.
Saat ini Indonesia mempunyai media massa paling banyak di dunia yang jumlahnya mencapai 47.000, seperti media cetak, radio, televisi dan media online. Dari jumlah itu, ada 2.000 media cetak, 674 radio, 523 televisi termasuk lokal, dan selebihnya adalah media daring.
Namun, karena masih banyak media yang tidak memenuhi syarat tetapi masih tetap eksis karena dibantu APBD.
Selain itu, masih banyak wartawan yang tidak memiliki kompetensi dan tidak memiliki pengetahuan jurnalistik yang cukup.
Hingga saat ini baru ada 14 ribu wartawan yang terdaftar memiliki kompetensi. Untuk itu, pada puncak peringatan HPN agar kebebasan pers tidak dijadikan momentum untuk memproduksi berita bohong atau hoaks.
Bagaimanapun, salah satu penikmat terbesar era reformasi ini adalah pers. Justru karena itu menjadi tanggung jawab bersama agar perjuangan ke arah kekebasan pers yang diidealkan bisa menjadi kenyataan.
Semoga pers Indonesia menjadi lebih baik dan mampu mengemban amanah-amanah publik, dan tidak sekedar menjadi mitos penyangga pilar keempat dari demokrasi di republik tercinta ini.
========
Penulis adalah Alumnus Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta dan Mantan Ketua PWI-Reformasi Korda Dista
Yogyakarta 1999-2002
Editor: Fariz Fadhillah