bakabar.com, BANJARMASIN – Yayasan Palatar menggelar Basurah 1.0 di Anjungan Saidah dan Adinda, Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Banjarbaru, Rabu (20/2) kemarin.
Basurah 1.0 mengusung tema tentang pertautan antara pers dan seni sebagai sebuah upaya pengembangan seni budaya.
Bagaimana pers menempati peran yang penting dalam publikasi seni, kritik seni, pamer karya dan pemberitaan seni itu sendiri.
Basurah pada malam itu menghadirkan tiga panyurah yaitu Kritikus Seni Novyandi Saputra, Redaktur/ jurnalis Sandi Firly, dan Akademisi Seni Sumasno Hadi.
Diskusi dibuka dari Novyandi Saputra dengan pembahasan tentang ruang kritik seni yang diterima ataukah diabaikan media massa.
"Kritik seni pada media massa hadir untuk memberikan nafas yang lebih panjang terhadap karya seni," ujar Novyandi Saputra lewat siaran persnya, Jumat (23/2).
Baca Juga:Dualisme, Yayasan Marta Berlian Husada Klaim Akbid Martapura Masih Aktif
Pada sisi lain seperti yang dipaparkan Novyandi, menjadi kritikus seni seperti dibiaskan oleh banyak orang.
Kritik sepertinya selalu diartikan dalam konteks negatif. Padahal kritik hadir untuk memberikan dokumentasi yang bersifat lebih membongkar karya seni dalam wilayah estetik-artistik.
Seniman yang menerima kritik juga jarang kemudian melakukan diskusi dengan kritikus.
Baik berupa balasan tulisan ataupun bertemu langsung. Untuk kemudian karya dan tulisan kritik mampu hadir saling mengisi sebagai sebuah pengetahuan.
Selain itu, Jurnalis, Sandi Firly memaparkan tentang keberadaan pers di Kalimantan Selatan yang kekurangan wartawan serta kekurangan ruang pada media massa, baik cetak maupun online.
Selain itu, menurutnya seorang wartawan mempunyai gengsi ketika berhasil mendapatkan berita seperti kriminal atau korupsi dibandingkan dengan berita seni, yang biasanya pun hanya sebatas informasi.
"Kegiatan seni jarang sekali dipublikasikan di media massa, kalaupun dipublikasikan hanya sebatas informasi bukan analisis" ujarnya.
Bagi Sandi, hingga saat ini masih banyak kawan-kawan seniman yang mengirimkan tulisan mereka baik berupa puisi, cerpen, opini, esai dan kritik seni.
Hal itu dikarenakan adanya rasa kebanggaan dari kawan-kawan yang tulisannya berhasil masuk dalam media tersebut sebagai sebuah pembuktiaan kekaryaan.
Tulisan tersebut tidak sembarangan terbit, namun harus masuk meja redaktur untuk kemudian dikurasi dan disesuaikan dengan ruang media tersebut.
Sistem kurasi oleh redaktur ini menjadi poin penting bagi para penulis seni yang mengajukan tulisannya ke media massa.
Pers, Sumasno Hadi menambahkan, sebagai media massa mesti dapat menjembatani karya seni kepada publik.
Hal ini berkaitan dengan konteks karya seni yang merupakan subjektivitas seniman.
Teks yang dihadirkan seniman berupa makna-makna dan simbol-simbol yang tidak mudah dipahami oleh masyarakat umum. Kritikus berperan untuk membuat karya seni itu terang, kata dia.
Hadirnya media digital dan media sosial, menurut akademisi seni ini, juga memberi kemudahan akses menerbitkan sebuah pemberitaan seni. Pemberitaan seni kemudian bisa lebih mudah diterbitkan.
Hadirnya ruang alternatif itu, kata Sumasno, merupakan bagian dari memaknai sisi positif daripada Seni. Artinya itu bisa saja dimanfaatkan kemudian melahirkan sebuah kebiasaan publik dalam mencari pemberitaan seni.
Baca Juga:Momen HPSN, Muspika dan Pelajar Banjarmasin Selatan Gelar Aksi Bersih-bersih
Reporter: Muhammad Robby
Editor: Fariz Fadhillah