Nasional

HPN ‘Diubah’ Jadi Hari Prabangsa Nasional di Surabaya

apahabar.com, JAKARTA – Gelombang protes terhadap pemberian remisi pembunuh jurnalis terus mengalir. Gayung bersambut, Presiden Joko…

Featured-Image
Andreas Wicaksono anggota AJI Surabaya melayangkan protes pemberian remisi terhadap I Nyoman Susrama, terpidana pembunuh jurnalis Radar Bali di tengah Perayaan Hari Pers Nasional, di Grand City Convention Center, Sabtu 9 Februari 2019. Dok.AJI Surabaya

bakabar.com, JAKARTA – Gelombang protes terhadap pemberian remisi pembunuh jurnalis terus mengalir.

Gayung bersambut, Presiden Joko Widodo resmi mencabut remisi I Nyoman Susrama, otak pembunuhan AA Gde Bagus Narendra Prabangsa.

I Nyoman Susrama, terpidana pembunuh jurnalis Radar Bali (Jawa Pos Group) itu mendapat pengurangan hukuman atau remisi dari seumur hidup menjadi penjara sementara 20 tahun.

Dari Surabaya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) membentangkan spanduk raksasa sepanjang 10 meter bertuliskan ‘CABUT REMISI PEMBUNUH JURNALIS‘ saat Presiden Joko Widodo berpidato dalam puncak perayaan Dirgahayu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang ke-73, di Grand City Convention Center, Sabtu 9 Februari 2019. Nada protes juga disuarakan melaluiselembaran #HariPrabangsaNasional.

“Sebagai bentuk protes sekaligus panjangnya perjuangan menghadirkan keadilan bagi jurnalis Prabangsa,” ujar Miftah Faridl Ketua AJI Surabaya dalam keterangan resmi yang diterima media ini.

AJI se-Jatim bersama KontraS Surabaya serta sejumlah aktivis dan pers mahasiswa Surabaya merasa perlu menandai momentum ini untuk mengingatkan kembali janji pemerintah.

Ketika negara tidak bisa melindungi nyawa jurnalis saat menjalankan tugasnya, kata dia, setidaknya negara harus hadir menjamin penegakan hukum.

“Kami turun ke jalan, bukan hanya menuntut keadilan bagi Prabangsa, tetapi juga terhadap delapan kasus pembunuhan jurnalis yang tak pernah diungkap,” sambungnya.

Ada tiga tuntutan yang dilayangkan. Pertama, agar pemerintah segera cabut remisi I Nyoman Susrama, dalang dari pembunuhan secara sadis AA Gde Bagus Prabangsa. Karena pemberian remisi telah mengusik rasa keadilan bagi keluarga korban dan insan pers; kedua, AJI menolak segala bentuk ancaman terhadap kemerdekaan pers dan kekerasan terhadap jurnalis; ketiga, hentikan praktik impunitas dengan mengungkap kasus pembunuhan dan kekerasan terhadap jurnalis.

AJI di 30 kota bersama elemen jurnalis menggelar aksi unjuk rasa. Disusul sepanjang pekan terakhir sebanyak 38 AJI kota bersama koalisi masyarakat sipil, jaringan LBH Pers, YLBHI, dan elemen masyarakat lainnya, menuliskan surat keberatan atas remisi itu.

Dari Balikpapan, AJI setempat bersama menggelar aksi Kamisan mengusung soal pemberian remisi terhadap terpidana yang telah membunuh jurnalis. Aksi dilakukan menggandeng jaringan aktifis pers dan mahasiswa setempat.

Dalam catatan AJI, kasus kekerasan terhadap wartawan atau jurnalis kian panjang. Pada 1996 Fuad M Syafruddin dibunuh, Naimullah (1997), Agus Mulyawan (1999), jurnalis Jamaluddin hilang di Aceh pada 2003 hingga sekarang.

Nasib serupa juga dialami jurnalis Herliyanto pada 2006. Lalu A.A Prabangsa dibunuh pada 2009, Ardiansyah Matra'is tewas pada 2010, dan Ersa Siregar pada 2003.

Ketua AJI Balikpapan Devi Alamsyah, mengungkap kasus AA Gde Bagus Narendra Prabangsa yang paling menyedot perhatian publik.

“Pemberisan remisi sangat melukai hati kami, seluruh anggota AJI Kota Balikpapan dan membungkam kebebasan pers. Demi rasa keadilan kami minta Bapak Presiden Joko Widodo agar mencabut remisi tersebut,” Devi dalam isi surat kepada Presiden Jokowi, 5 Februari lalu.

Tak hanya itu, dukungan publik juga muncul melalui tanda tangan petisi online di change.org yang hingga Jumat 8 Februari 2019, telah menembus 48 ribu lebih dukungan.

Petisi bersamaan surat keberatan tersebut pada Jumat 8 Februari kemarin telah diserahkan ke pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM.

Bak gayung bersambut, Presiden Joko Widodo resmi mencabut remisi I Nyoman Susrama, otak pembunuhan AA Gde Bagus Narendra Prabangsa itu.

“Sudah, sudah saya tandatangani,” kata Jokowi di sela-sela menghadiri puncak peringatan Hari Pers Nasioanal 2019 di Grand City Convention Center, Sabtu (9/2).

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, menambahkan pembatalan remisi yang ditandatangani Presiden Jokowi menunjukkan kepedulian dan komitmen Pemerintah dalam melindungi keselamatan pekerja media dalam menjalankan tugas -tugasnya.

"Rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat menjadi poin perhatian Presiden," ujarnya.

Presiden, kata Moeldoko, tak menutup hati terhadap kegelisahan dari para wartawan dan pekerja media. Mereka harus mendapatkan perlindungan saat bertugas. Presiden juga sudah mendengar masukan dari mana-mana.

“Dan saya kira itu keputusan yang terbaik bagi kita semua," kata Moeldoko.

Dirinya menambahkan, kasus ini tidak bisa dilihat sepotong-sepotong, karena pengajuan remisi kepada ratusan narapidana dengan kasus yang berbeda-beda.

Kasus pembunuhan yang menghilangkan nyawa Prabangsa sendiri terjadi pada 11 Februari 2009 silam di kediaman Nyoman Susrama yang berlokasi di Banjar Petak, Bangli.

Motifnya adalah kekesalan Nyoman Susrama kepada Prabangsa karena pemberitaan wartawan Radar Bali Jawa Pos Group tersebut.

Setelah mendapatkan putusan pengadilan tetap dan pelaku menjalani hukumannya, dalam perjalanannya kemudian ada proses remisi terhadap yang bersangkutan.

Pengajuan remisi terhadap Susrama datang bersamaan dengan puluhan narapidana lainnya. Kementerian Hukum dan HAM memberikan tanda merah, kuning, hijau untuk berkas yang perlu mendapatkan atensi lebih dari Presiden.

Ketika itu, remisi Susrama tidak diberi label itu, karena pemberian tersebut sifatnya sudah sesuai prosedur.

Lantas, presiden melihat dan mendengar tanggapan, keberatan dan aspirasi publik atas remisi tersebut.

Kata Moeldoko, presiden juga meminta Menkumham bekerja lebih teliti dan meninjau ulang pemberian remisi untuk Susrama, mengingat kasus ini tak hanya berkaitan dengan perlindungan keamanan para pekerja media, tetapi upaya menjaga kemerdekaan pers, sekaligus mencerminkan rasa keadilan di tengah masyarakat.

Editor: Fariz Fadhillah



Komentar
Banner
Banner