Nasional

Pengamat: Meratus Layaknya Nagari di Sumbar dan Masyarakat Dayak Iban di Kalbar

apahabar.com, BANJARMASIN- Ketua Pusat Perhutanan Sosial dan Agroforestri Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Hamdani  Fauzi…

Featured-Image
Suku asli Dayak desa Kambiyain di Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia, sedang mengadakan ritual ‘aruh’ untuk merayakan keberhasilan panen mereka. Foto oleh Indra Nugraha untuk Mongabay Indonesia.

bakabar.com, BANJARMASIN- Ketua Pusat Perhutanan Sosial dan Agroforestri Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Hamdani Fauzi optimistis, dengan menjadikan hutan di pegunungan Meratus sebagai hutan adat akan mampu menjaga kawasan hutan dari ancaman industri ekstraktif seperti batubara dan perkebunan kelapa sawit.

“Saya optimis dengan pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat adat Dayak Meratus,” kata Dosen Fakultas Kehutanan ULM ini kepada bakabar.com, Sabtu (8/12) sore.

Dalam konsep hutan adat, kata Hamdani, penekanannya ada pada pengelolaan yang akan dilakukan langsung oleh masyarakat hukum adat (MHA), di mana sistem pengelolaannya (hutan adat,Red) bersandar pada pengetahuan dan kearifan lokal serta norma hukum yang berlaku pada MHA tersebut.

“Tata kelolanya menggunakan hukum dan norma adat yang berlaku di masyarakat adat dan hukum positif negara,” imbuhnya.

Hamdani menyetujui adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak adat melalui pengakuan hutan adat di kawasan pegunungan Meratus yang selama ini dinilai masih minim .

Dia menilai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutan (LHK), Nomor 83/2016 tentang Perhutanan Sosial, bahkan, secara turun temurun telah dipraktikkan Masyarakat Adat Dayak Meratus sampai saat ini. Termasuk hutan adat.

“Pengelolaan berdasarkan kearifan lokal tersebut telah menjadi tradisi turun temurun dan dipraktikan sejak lama,” katanya.

Menurutnya, masyarakat adat telah lama menggantungkan hidupnya dari hutan dengan tetap menjaga keseimbangan sumberdayanya.

Dalam memanfaatkan hasil hutan, masyarakat tetap memerhatikan rambu-rambu atau aturan yang harus dipatuhi. Baik dalam memanfaatkan kayu, berburu, dan lain-lain.

Tak bisa dimungkiri bahwa pengelolaan hutan yang diterapkan masyarakat adat telah banyak membawa dampak positif bagi kelestarian hutan.

Sebab, masyarakat adat Dayak Meratus memiliki ketergantungan terhadap hutan sehingga pola-pola pemanfaatan lebih mengarah pada kelestarian. Misalnya, kalau menebang kayu, masyarakat adat wajib menanam sebelumnya.

Baca juga: Soal Meratus, AMAN: Hutan Bagi Mereka seperti Ibu yang Menjadi Sumber Penghidupan

“Pohon-pohon tertentu tidak boleh ditebang misalnya pohon Kusi yang dianggap sebagai pohon untuk lebah dan terdapat penetapan zonasi untuk hutan larangan seperti membuka lahan dengan pembakaran terkendali,” cetusnya.

Hal itu amat relevan terjadi mengingat masyarakat sekitar hutan merupakan elemen yang paling merasakan dampak apabila terjadi kerusakan hutan.

Oleh karenanya , pengelolaan hutan sebaiknya melibatkan masyarakat sekitar hutan (termasuk masyarakat adat) agar pengelolaan hutan dapat lestari karena bersinggungan langsung dengan hutan.

Ia menyarankan, agar pemerintah daerah (Pemda) memberikan aset dan akses legal masyarakat untuk mengelola hutan sesuai UU yang berlaku dan berdasarkan Permen LHK Nomor 83 serta turunannya agar sesegera mungkin menyusun perda terkait pengelolaanhutan adat.

“Lembaga legislatif dan eksekutif harus mendukung hal tersebut. Seperti halnya Nagari di Sumatera Barat (Sumbar) dan Masyarakat Dayak Iban di Kalimantan Barat (Kalbar),” beber Hamdani.

Baca: DPRD Kalsel Janjikan Perda Pengakuan Hak Masyarakat Adat Dayak Meratus

Menurutnya, yang harus diperhatikan dalam menjadikan pegunungan Meratus sebagai hutan adat yaitu akses jalan yang mudah. Karena, berdasarkan pengalaman masyarakat adat dayak yang ada di Batang Alai Timur nampak kesulitan membawa hasil bumi ke pasar di kecamatan dan kota lantaran aksesjalan yang buruk.

Pernyataan pengamat ini selaras dengan apa yang telah disampaikan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalsel.

Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA), Juliade mengatakan bahwa pengakuan atas keberadaan masyakat adat dayak meratus dinilai sangat perlu. Mengingat, masyarakat adat dayak meratus mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi dengan hutan di sana.

Agama Kaharingan (Balian) yang menjadi kepercayaan lokal tak bisa dipisahkan dari pengelolaan hutan/lahan dan kehidupan masyarakat di sana. Iabercerita, dalam proses perladangan, mulai dari batanung (menentukan baik tidaknya suatu lokasi dijadikan lahan berladang), manyalukut (membakar), manugal (pembibitan), hingga panen, semua proses itu dijalankan secara turun temurun.

Mamangan atau doa-doa yang dipanjatkan kepada Nining Bahatara agar hasil panen baik dan berlimpah serta para petani diberikan kesehatan agar bisa mengelola lahan secara terus menerus, menjadi pelengkapnya.

"Itu hak dasar mereka juga sebagai warga negara Republik Indonesia. Artinya hak dan kewajibanya sama dengan lainnya. Termasuk posisi di mata hukum,"ungkapnya.

Menurutnya, dalam pengakuan Hutan Adat (HA) perlu adanya regulasi dari pemerintah daerah setempat. Adapun, apabila kawasan hutan adat tersebut berada di kawasan Hutan Lindung (menurut zonasi pemerintah), maka diperlukan peraturan daerah.

Sementara, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Selatan dan Hulu Sungai Tengah (HST) sejauh ini telah memetakan 10 komunitas masyarakat adat Dayak Meratus dan kurang lebih 40 ribu hektare kawasan.

“Itu hanya untuk di HST (Hulu Sungai Tengah, Red) tapi di Kabupaten lain masih banyak lagi,” jelas Ketua AMAN Kalimantan Selatan, Palmi Jaya dihubungi Sabtu (12/8) sore.

Terkait angka keseluruhan hutan adat berikut komunitasnya, Palmi mencatat setidaknya ada 219 ribu wilayah adat Dayak Meratus membentang di pegunungan. Ini meliputi 171 komunitas pada lebih dari wilayah adat yang sudah dipetakan oleh AMAN.

“Itupun masih banyak komunitas adat masih belum terdaftar,” jelas dia.

Sebelumnya, Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (Gembuk) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan kembali mempertanyakan komitmen daerah atas ancaman kerusakan di pegunungan Meratus, seiring penyematan predikat Geopark Nasional di sana.

Baca: 40 Ribu Hektar di Pegunungan Meratus Bakal Diusulkan Hutan Adat

Komite Nasional Geopark Indonesia sebelumnya resmi menyerahkan 8 sertifikat pengakuan status Geopark Nasional, salah satunya kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalsel yang mengusulkan kawasan Pegunungan Meratus sebagai kawasan Geopark Nasional.

Ketua Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (Gembuk) Rumli menilai, pengusulan predikat tersebut dilakukan sepihak oleh pemerintah daerah. Pemprov disebut tidak melibatkan masyarakat setempat dalam proses pengusulan.

"Harusnya berikan pemahaman terlebih dahulu kepada masyarakat," ujarnya kepada bakabar.com, hari ini.

Rumli meminta Pemprov segera menyelesaikan masalah terbitnya izin operasi produksi di pegunungan Meratus oleh penambangan PT. Mantimin Coal Mining (MCM).

Pegunungan Meratus sebagai taman nasional bukanlah solusi, melainkan alternatif semu untuk menyelamatkannya dari kerusakanlingkungan hidup.

Baca: Status Geopark Meratus: Walhi dan Gembuk Pertanyakan Komitmen Daerah

img

Kampung Batutangga yang berada di lemban Pegunungan Karst Meratus, yang terancam hilang dan tergusur jika aktivitas pertambangan dilakukan PT Mantimin Coal Mining. Foto:Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

Reporter : Muhammad RobbyEditor: Fariz Fadhillah



Komentar
Banner
Banner