bakabar.com, JAKARTA – Sebanyak 68 warga Nahdlatul Ulama (NU) atau Nahdliyin alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan penolakan atas pemberian izin usaha pertambangan untuk organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan.
"Menolak kebijakan pemerintah memberikan izin kepada organisasi keagamaan untuk mengelola pertambangan, seperti ekstraksi batubara, karena akan merusak organisasi keagamaan yang seharusnya menjaga muruah sebagai institusi yang bermoral," kata Koordinator warga NU alumni UGM, Heru Prasetia dalam konferensi pers secara daring, Minggu (9/6/2024) malam.
Penolakan itu tertuang dalam delapan poin pernyataan sikap atas pemberian konsesi tambang yang diikuti 68 Nahdlyin alumni UGM. Mereka berasal dari kalangan aktivis, akademisi, pengajar pesantren, peneliti, budayawan, hingga pengusaha.
Poin berikutnya, mereka meminta pemerintah membatalkan pemberian izin ini karena dirasa hanya akan menguntungkan segelintir elit ormas, sekaligus melemahkan fungsi kontrol pemerintah dari ormas itu sendiri hingga terkooptasi.
Heru cs juga mendesak PBNU membatalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diajukan kepada pemerintah. "Karena akan menjerumuskan NU pada kubangan dosa sosial dan ekologis," lanjutnya.
Poin selanjutnya, PBNU didesak mendayagunakan potensi yang ada demi kemandirian ekonomi tanpa harus masuk dalam bisnis kotor tambang.
Lalu, mendesak pemerintah untuk melakukan kebijakan penegakan hukum lingkungan atas terjadinya kehancuran tatanan sosial dan ekologi, serta konsisten dengan agenda transisi energi Net Zero Energy 2060, di antaranya dengan meninggalkan batubara.
"Menyerukan seluruh elemen masyarakat untuk berkonsolidasi dan terus berupaya membatalkan peraturan yang rawan menyebabkan kebangkrutan sosial dan ekologi," bunyi poin terakhir, dikutip dari cnnindonesia.com.
Latar belakang penolakan pemberian izin tambang turut dipaparkan dalam pernyataan sikap ini. Salah satunya, batubara yang dianggap sebagai sumber energi kotor yang berkontribusi besar terhadap pemanasan global dan perubahan iklim, menyebabkan banyak bencana di Indonesia.
Kata Heru cs, ekstraksi batubara di Indonesia, yang pada dasarnya hanya menyumbang sekitar 3 persen dari cadangan dunia, merupakan kejahatan. Ekstraksi disebut memperburuk kualitas sosial dan ekologi melalui perampasan tanah, penggusuran, deforestasi, polusi, dan lubang pasca tambang yang ditinggalkan.
"Lubang-lubang pasca tambang yang tidak direklamasi telah merenggut banyak korban di Kalimantan, Sumatera, Bangka, dan daerah lainnya," tegasnya.
Para nahdliyin alumni UGM itu menilai, ekstraksi batubara di Indonesia berkelindan dengan korupsi. Dalam dua puluh tahun belakangan, sederet pejabat publik terjerat kasus korupsi terkait tambang batubara.
Inisiatif memperbaiki ekstraksi alam sering gagal; secara teknik-manajerial karena suap oleh para penambang kepada pejabat pemerintah mempersulit penegakan peraturan. Secara lebih substantif, karena dalam ekstraksi alam seperti batubara menubuh, membentuk dan dibentuk oleh kapitalisme.
Heru cs menyebut, kebijakan pemerintah melibatkan organisasi keagamaan dalam ekstraksi batubara adalah jalan menggeser ormas ke kelompok kapitalis, menempatkannya di sisi yang mengeksploitasi manusia lain dan menjarah alam atau Bumi.
Padahal, menurut mereka, di sisi lain NU telah mengeluarkan beberapa keputusan terkait tambang dan energi. Seperti pada Muktamar NU ke-33 di Jombang 2015 yang menyerukan moratorium semua izin tambang. Kemudian, Bahtsul Masail LAKPESDAM-PBNU dan LBM-PBNU pada 2017 dengan hasil dorongan bagi pemerintah untuk memprioritaskan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan mengurangi penggunaan energi fosil untuk mencegah kerusakan lingkungan.
Lalu, Muktamar NU ke-34 di Lampung pada 2021 juga telah merekomendasikan bahwa pemerintah perlu menghentikan pembangunan PLTU batubara baru mulai 2022 dan penghentian produksi mulai 2022 serta early retirement/phase-out PLTU batubara pada 2040 untuk mempercepat transisi ke energi yang berkeadilan, demokratis, bersih, dan murah.
Putusan, seruan, dan rekomendasi NU ini seharusnya menjadi pedoman bagi pengurus PBNU sekarang dan ke depan dalam menjalankan roda organisasi.
Mewnurut mereka, dalih bahwa menerima konsesi tambang adalah kebutuhan finansial untuk menghidupi roda organisasi harus dibuang jauh-jauh karena itu justru menunjukkan ketidakmampuan pengurus dalam mengelola potensi NU.
"PBNU perlu menyadari dengan penuh empati bahwa dampak kerusakan akibat tambang paling banyak dirasakan oleh petani, peladang, dan nelayan yang kebanyakan adalah warga nahdliyin," imbuhnya.
Wasingatu Zakiyah dari Caksana Institute yang juga tergabung dalam warga NU alumni UGM penolak izin tambang sementara menyoroti PP Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Ia menyebut Pasal 83A pada Pasal 83A PP Nomor 25 Tahun yang mengatur pemberlakukan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan, bertentangan dengan Pasal 75 Ayat (2) dan (3) UU Minerba.
Pasal 75 Ayat (2) dan (3) UU Minerba, prioritas pemberian IUPK diberikan kepada Badan Usaha Milik Nasional (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
"Dan itu BUMN/BUMD yang nggak sembarangan, tapi yang consent pada urusan itu. Serahkan urusan pada ahlinya, maka kita bisa meminimalisasi dampak risiko," kata Zakiyah dalam konferensi pers daring, Minggu (9/6) malam.
Lalu, ia juga menyoroti Pasal 195B Ayat (2), di mana pemerintah dapat memberikan perpanjangan bagi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi sebagai kelanjutan operasi Kontrak/Perjanjian selama ketersediaan cadangan dan dilakukan evaluasi setiap 10 tahun.
Aturan ini memungkinkan cadangan pertambangan dikeruk sampai habis tanpa sisa untuk generasi mendatang. Ia menekankan, ormas seharusnya fokus pada pengawasan mulai dari risiko teknis, mekanisme lelang, risiko dampak lingkungan, potensi konflik horizontal, kepentingan, dan korupsi, bukan justru terlibat di dalam pusaran.
Presiden Joko Widodo sebelumnya telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Tak berselang lama, PBNU langsung tancap gas. Kementerian Investasi/BKPM mengatakan PBNU adalah ormas keagamaan pertama yang meminta izin tambang ke negara.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia nmenyebut NU juga sudah membuat badan usaha dan mengurus wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada Kementerian Investasi/BKPM. Ia berjanji akan segera menerbitkan izin tersebut pada pekan depan.(*)