Hot Borneo

Warga HST Adukan Kasus Tambang Batu Bara ke Jakarta

Pasca aksi tersebut kata dia, GEMBUK juga telah mengajukan laporan ke Polres HST yang ditembuskan juga ke Polda Kalsel.

Featured-Image
Staf advokasi Walhi Kalsel, Jefry Raharja (dua dari kanan). Foto-Walhi untuk apahabar.com

bakabar.com, BANJARBARU - Tidak ada upaya penegakan hukum yang maksimal terhadap pertambangan tanpa izin (PETI), Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (GEMBUK) Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) didampingi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalsel melayangkan pengaduan ke beberapa lembaga dan kementerian terkait.

Bermodal bukti adanya aktivitas PETI di HST dan dokumen pendukung lainnya, masyarakat yang diwakili GEMBUK melayangkan pengaduan ke Bareskrim Polri yang ditembuskan juga ke Kapolri, karena adanya dugaan keterlibatan oknum aparat penegak hukum kepolisian dan militer di Kabupaten HST.

Selain Bareskrim Polri, GEMBUK juga melakukan audiensi dan pengaduan dengan beberapa kementerian di antaranya; Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Dirjen Penegakan Hukum (GAKKUM) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) dan terakhir Kantor Staf Presiden (KSP) Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Pengaduan ini juga merupakan tindak lanjut dari aksi damai aliansi selamatkan Meratus yang dikoordinatori GEMBUK pada tanggal 25 Oktober 2022 lalu di depan gedung DPRD HST. Pada aksi damai tersebut hadir juga bupati dan Sekda HST.

Plt Sekretaris GEMBUK, Muhammad Riza Rudy menyebutkan, setelah aksi, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FORKOPIMDA) HST diminta oleh massa aksi untuk menandatangani dokumen kesepakatan bersama tentang penolakan aktivitas tambang yang illegal maupun legal dan juga menolak perkebunan monokultur sawit di HST.

Pasca aksi tersebut kata dia, GEMBUK juga telah mengajukan laporan ke Polres HST yang ditembuskan juga ke Polda Kalsel.

"Namun, hingga saat ini belum ada upaya hukum maksimal seperti perkembangan laporan atau penetapan tersangka pelaku PETI tersebut," katanya, Kamis (8/12).

Oleh itu, pihaknya bersama Walhi sepakat untuk membawa kasus ini ke tingkat nasional agar dapat dikawal bersama oleh masyarakat Kalsel dan Indonesia pada umumnya.

Sebab ujar Riza, HST merupakan salah satu kabupaten yang rentan terhadap bencana ekologis seperti banjir dan longsor dan merupakan penyangga pangan hingga ke berbagai provinsi lain.

Adapun tuntutan dari pengaduan tersebut di antaranya; pertama, pemerintah melalui aparat penegak hukum segera menindak PETI atau tambang illegal yang semakin marak di HST yang diduga melibatkan oknum aparat militer dan kepolisian.

Kedua, mencabut Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT Antang Gunung Meratus (PT AGM) terutama blok konsesi yang berada di HST.

Ketiga, pemerintah melalui aparat penegak hukum segera menindak mafia dan cukong ilegal logging yang diduga juga melibatkan oknum militer dan aparat kepolisian.

Keempat, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat menghentikan perizinan baru terkait industri ekstraktif tambang batubara atau perkebunan sawit skala besar baik di HST maupun di seluruh Kalsel.

Faktanya, dari 13 kabupaten/kota, HST merupakan kabupaten yang secara tegas menolak eksploitasi industri ekstraktif skala besar seperti tambang batubara dan sawit.

Hal itu tertuang dalam Perda Kabupaten HST Nomor 16 tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025.

Dalam Perda HST Nomor 6 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Hulu Sungai Tengah tahun 2021-2026 juga menegaskan hal yang sama terkait pembangunan yang berkelanjutan.

Staf Advokasi dan Kampanye Walhi Kalsel, Muhammad Jefry Raharja mengatakan, dari 9 kabupaten di Banua yang mencakup wilayah pegunungan Meratus, HST merupakan satu-satunya yang belum dieksploitasi masif oleh industri ekstraktif. Oleh itu, penting menjaga Meratus tetap lestari.

Dia menyebut, semangat itu harusnya dipraktikan oleh pemerintah melalui pencabutan PKP2B yang masih ada di HST seperti PKP2B PT AGM yang memiliki luasan sekitar 20.666 hektare di Kalsel.

Adapun sebaran konsesi PT AGM tersebar di antaranya ada di Kabupaten Banjar sekitar 2.720 hektare, Tapin sekitar 4.755 hektare, Hulu Sungai Selatan sekitar 11.595 hektare dan HST sekitar 3.363 Ha.

"Hentikan izin baru di Kalsel jika kita tetap ingin diakui menjadi salah satu paru-paru dunia," ketus Cecep sapaan karibnya.

Selain itu, ujar Cecep, ancaman bencana ekologis dapat direfleksikan dari kejadian banjir besar pada awal tahun 2021 yang menimbulkan kerugian materiel maupun non materiel.

Dapat dikutip melalui data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahwa di Kalsel tercatat sebanyak 24.379 rumah terendam banjir dan 39.549 warga mengungsi.

Terdapat juga korban meninggal dunia dengan total sebanyak 15 orang dengan rincian, 7 orang di Kabupaten Tanah Laut. 3 di HST, 1 di Banjarbaru dan Tapin. Lalu 3 orang di Kabupaten Banjar.

Adapun nilai kerugian akibat bencana banjir yang melanda di Kalsel sekitar Rp1,349 triliun menurut perkiraan Tim Reaksi Cepat Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

"Estimasi dampak kerugian per 22 Januari 2021 dari sektor pendidikan, kesehatan dan sosial, pertanian, perikanan, infrastruktur, dan produktivitas ekonomi masyarakat sekitar Rp 1,349 triliun," imbuhnya.

Dalam hal mitigasi bencana maupun adaptasi krisis iklim tutur Cecep, Presiden Jokowi juga terlibat dalam komitmen Perjanjian Paris (Paris Agreement) pada tahun 2015.

Keterlibatan tersebut bahkan dibuktikan dengan meratifikasi perjanjian hingga menerbitkan Undang-Undang No 16 tahun 2016 tentang Ratifikasi Perjanjian Paris.

Namun,menurutnya komitmen itu belum sejalan dengan investasi yang masih mengandalkan industri ekstraktif seperti diperpanjangnya PKP2B PT Arutmin dan PT Adaro menjadi IUPK pasca terbitnya Undang-Undang nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law).

Manajer kampanye tambang dan energi Walhi Nasional, Fanny Tri Jambore menyebutkan, ada beberapa hal membuat situasi yang dialami warga HST terjadi pada hampir semua daerah di Indonesia.

"Salah satunya sistem yang bobrok dan budaya hukum yang masih belum jelas dan tegas," katanya.

Kebijakan pemerintah daerah yang baik, menurutnya bisa saja tumpang tindih atau diabaikan, bahkan cenderung ditabrak oleh kebijakan pusat.

"Kita mesti melakukan desentralisasi kembali untuk terimplementasinya kebijakan yang diinginkan masyarakat di daerah dan sesuai dengan daya dukung dan daya tampungnya," tandasnya.

Baca Juga: Suara Lengkap, HST Kokoh Tolak Tambang Batu Bara

Editor


Komentar
Banner
Banner