bakabar.com, BANJARMASIN – Rancangan Undang Undang (RUU) Penilai belum mendapatkan kepastian kapan menjadi Undang Undang (UU). Padahal ini penting sebagai langkah perlindungan hukum kepada profesi penilai.
Disampaikan Ketua Tim Komite Standar Penilai Indonesia (KSPI) Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) Hamid Yusuf, komunikasi yang sudah terjalin ke DPR nyatanya RUU ini tidak dijadikan prioritas oleh DPR.
“Pernah dulu masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tetapi di periode DPR yang saat ini tingkatannya diturunkan, jadi tidak menjadi alternatif. Padahal kebutuhannya mendesak baik itu untuk penilai maupun di sisi publik,” ujarnya kepada bakabar.com, belum lama tadi.
Padahal menurut Hamid, RUU Penilai menjadi penting untuk penilai disaat melaksanakan tugasnya dalam kegiatan pengelolaan aset pemerintah dalam hal ini Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah (BMN/BMD) tidak dapat dilepaskan dari kegiatan penilaian.
"Setiap lini pengelolaan aset pemerintah memerlukan penilaian, penilaian dilakukan untuk mengetahui nilai wajar dari BMN/BMD dan tidak menutup kemungkinan penilai diminta untuk menyajikan analisis kelayakan bisnis atas proposal kerja sama pemanfaatan BMN/BMD yang diajukan oleh calon mitra,” sebutnya.
Lebih lanjut Hamid menjelaskan, adanya payung hukum itu sendiri untuk keberadaan ekonomi dan sistem keberadaan pertanahan kita saat ini. Sehingga harapannya DPR dan pemerintah punya kesepakatan untuk RUU itu harus diadakan.
“Sampai saat ini secara langsung tidak ada perlindungan terhadap penilai. Karena penilai hanya diatur ditingkatan oleh peraturan kementerian keuangan, dan itu hanya mengikat kepada penilainya, bukan ke publik. Keterbatasan dari penilai dalam melakukan penilaian, dia hanya pada batasan batasan dalam pekerjaan semampu dia,” ungkap Hamid.
Hamid menambahkan bahwa apakah ada kewajiban dari masyarakat untuk memberikan informasi atau bisa melihat hasil penilaian itu sebagai sesuatu yang melindungi publik tidak bisa, karena hukum yang melindungi ini hanya sebatas peraturan kementerian keuangan.
“Padahal kebutuhan dari hasil penilaian itu ada di sektor pasar modal. Itu sangat besar, semisal perbankan sangat besar, lantas dipengadaan tanah saat ini. Di tiga sektor ini saja itu mendominasi mencapai ribuan triliun, sehingga hasil penilaian itu seharusnya bisa membawa hasil yang bermanfaat untuk publik jika dia memang didasari oleh peraturan yang kuat. Maka hasilnya pun akan kuat, tetapi karena tidak ada peraturan yang kuat akhirnya jadi pertanyaan juga oleh publik,” tandasnya.
Sementara Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) MAPPI Kalselteng Hani Muntoha mengungkapkan, selama ini anggotanya dalam melaksanakan tugas penilaian aset BMD ada beberapa yang mendapatkan kasus hukum, meski tidak berstatus tersangka.
"Dari DPD MAPPI jika ada penilai yang tersangkut kasus hukum, kita kembalikan kepada yang namanya dewan penilai. Itu apabila ada persoalan persoalan yang menyangkut penilai. Kalau DPD tidak bisa masuk ke ranah itu apabila ada anggota MAPPI yang tersangkut kasus hukum disebabkan permasalahan penilaian," pungkas Hani Muntoha.
Baca Juga: Hari Radio Nasional 2019, RRI Dituntut Hadir di Tengah Masyarakat
Baca Juga: Andin Sofyanoor Menuju Banjar 1: Butuh Pemimpin Inovatif Untuk Perubahan
Reporter: Ahya Firmansyah
Editor: Syarif