Kalsel

Ultah Corona, Bisnis Perhotelan di Banjarmasin Naik-Turun Digoyang Pandemi

apahabar.com, BANJARMASIN – Geliat sektor perhotelan di Banjarmasin naik-turun setahun dirundung pandemi. Beragam cara dilakukan manajemen…

Featured-Image
Geliat sektor perhotelan di Banjarmasin naik-turun setahun dirundung pandemi. Beragam cara dilakukan manajemen hotel agar bertahan di tengah kelesuan ekonomi. Foto: Dok.apahabar.com

bakabar.com, BANJARMASIN – Geliat sektor perhotelan di Banjarmasin naik-turun setahun dirundung pandemi. Beragam cara dilakukan manajemen hotel agar bertahan di tengah kelesuan ekonomi.

Tepat 2 Maret 2020, Covid-19 masuk ke Indonesia. Secepat kilat, virus berukuran 0,1 mikron itu menyebar secara luas di dunia.

Lantas, 9 Maret, WHO -Badan Kesehatan Dunia- mendeklarasikan Covid-19 sebagai pandemi.

Tak sampai sebulan, atau 22 Maret, virus mungil itu akhirnya merambah wilayah Kalimantan Selatan (Kalsel).

Pasien pertama Covid-19 di Kalsel kebetulan berasal dari Banjarmasin.

Kondisi tersebut memaksa usaha perhotelan putar otak supaya bisnisnya tetap eksis dan bertahan.

Fakta di lapangan rencana ternyata tidak berjalan mulus. Armani Executive Club dan Pyramid Suites, misalnya.

Setahun berlalu, Hotel di Jalan Skip Lama, Banjarmasin Tengah itu masih kepayahan menggaji karyawannya.

Hingga kini, tingkat hunian tak banyak berubah. 115 kamar yang tak terisi penuh jadi pemandangan lumrah.

"Cuma 30 persen per bulan,” ujar Direktur Armani Pyramid Suites, Arie Soleh Mulia.

Sebelum Corona, okupansi jauh dari itu.

“Tamu kita di Kalimantan Tengah," sambungnya.

Jelas capaian hunian itu jauh dari perkiraan. Pendapatan minim, sekadar untuk menambal ongkos operasional.

Biaya operasional salah satu hotel berbintang di Kalsel ini tergolong mahal.

Beban listriknya saja mencapai sekitar Rp150 juta/bulan. Belum lagi tagihan air bersih yang nilainya mencapai Rp25 juta/bulan.

Jumlah itu belum terhitung pajak daerah. Pajak yang diambil Pemkot Banjarmasin dalam hal ini Badan Keuangan Daerah setempat nilainya Rp15 juta/bulan.

"Asal bisa bayar gaji karyawan dan bertahan saja syukur. Di Bali banyak yang tutup karena wisatawan kurang," ucapnya.

Armani memiliki 70 karyawan. Dampak penghasilan yang turun merembet ke nasib mereka. Di awal pandemi, sudah separuh karyawan diputus kontrak.

Pemutusan, klaim Arie, tidak sepihak. Karena situasi Covid-19, mereka terpaksa ‘mengistirahatkan’ sejumlah karyawan.

Kini, Arie kepikiran untuk menarik kembali beberapa karyawannya. Namun para pekerja dirasa sudah kelawasan dirumahkan.

“Sehingga telah mempunyai pekerjaan sendiri,” ujarnya.

Beruntung pihaknya tidak mempermasalahkan, dan memilih bertahan dengan karyawan secukupnya.

Untuk memperoleh keuntungan lain, Armani harus banting harga. Dengan promo, harga kamar paling rendah Rp375 ribu atau setara hotel bintang 3. Padahal fasilitas hotelnya melampaui itu.

"Kita bintang 4 tapi kita hargai kamar kita segitu. Harga yang bisa diperoleh di hotel melati itu," katanya.

Senada tapi agak beda, Hotel Banjarmasin Internasional (HBI) tampak lebih beruntung ketimbang Armani.

Tingkat huniannya memang belum pulih. Tapi penghasilannya cukup menutupi biaya operasional.

HBI harus putar otak. Mengandalkan banyak even hiburan.

Dalam satu hari, hanya 40 kamar tempat penginapan di Jalan Ahmad Yani Km 4 Banjarmasin itu penuh. Padahal HBI punya 120 kamar.

"Ditunjang dengan hiburan sedikit ada peningkatan. Ya untuk operasional ditutupilah," tuturnya.

HBI sempat lama tidak beroperasi. Selama 3 bulan atau saat awal pandemi Corona. Mulai dari kamar, karaoke hingga pub, yang menjadi andalan mereka, terpaksa tutup.

Dampak itu akhirnya berimbas ke pemutusan hubungan kerja (PHK). Seluruh karyawan HBI kena. Keputusan Direksi tidak bercanda. Eri sendiri diberhentikan. Ia hanya dikasih pesangon. Anggaran penghentian karyawan secara massal mencapai Rp7-10 miliar.

"Saya kira semua hotel merasa hal ini," imbuhnya.

Seiring berjalannya waktu, pihaknya coba mengoperasionalkan kembali bisnis hotelnya. Langkah awalnya, menarik 30 persen karyawan untuk bekerja lagi.

Dengan catatan, karyawan yang betul-betul mempunyai riwayat pekerjaan yang gesit dan cekatan.

"Yang usia di atas 50 tahun tidak bisa ditarik kembali," pungkasnya.

Cerita berbeda datang dari Best Western (BW) Hotel Banjarmasin. Hotel di bilangan Ahmad Yani itu belum merasakan benar berdampak Covid-19.

General Manager (GM) BW Banjarmasin, Muhammad Nur Assiddiq bilang okupansi hotelnya hampir normal; sekitar 60-70 persen/hari.

Ada 104 kamar tersedia. 60 kamar penuh kerap oleh pengunjung. Tamu bervariasi. Ada yang dari warga Banjarmasin, ataupun daerah penyangga seperti Kota Palangka Raya.

Situasi itu berbeda ketimbang dahulu. Saat awal Corona, tingkat hunian BW Hotel Banjarmasin pernah sekitar 10 persen.

Awal tahun ini memang agak rendah karena anggaran Kementerian dan instansi belum keluar. Kemungkinan baru April dan seterusnya normal.

Beruntung, kata Assiddiq, biaya operasional BW Hotel juga tak terlalu besar.

Pihaknya hanya perlu merogoh kocek Rp900 juta untuk menghidupkan kembali roda ekonomi bisnis perhotelan. Sebagai hotel bintang 4, biaya operasional itu sangat murah.

Assiddiq mengungkapkan sedikit kiatnya. Yakni, memangkas ongkos operasional.

“Supaya tidak bengkak,” ujarnya.

Cost operasional yang dipangkas meliputi aliran listrik, lift, lampu, AC, hingga komputer.

“Pokoknya yang menggunakan listrik kita hemat,” ujarnya.

Langkah itu cukup jitu. BW Hotel Banjarmasin bisa memangkas hingga 50 persen biaya operasional mereka.

“Walau, yang biasanya 3 lift, kini hanya menjadi 1 lift saja,” ujarnya.

Ultah Corona di Banjarmasin: Pasien Positif Pertama Puji Syukur Kesembuhan



Komentar
Banner
Banner