Konsumen wanita tersebut kemudian memviralkannya melalui sebuah video. Secepat kilat, tayangan visual tersebut memenuhi linimasa berbagai platform media sosial.
“Ulun lawan laki ulun meisi bengsin antri kalu, jadi pas giliran laki uln. Ada org bekas pelangsir meski ada kalu (Rp) 220.000 disitunya tulisannya, pas giliran uln. Laki uln meminta dari nol, tapi orang yang dalam video ini bepandir ujarnya bisa aja dari nol tapi disuruh meisi data pakai KTP, STNK no plat, no motor, dan no hp, nah tekajut ae uln,” ujar wanita tersebut.
Yang artinya kira-kira, saat itu dirinya bersama suami hendak mengisi premium namun diminta petugas SPBU untuk mengisi data pribadi mulai dari KTP hingga nomor HP agar meteran pengisian bisa dimulai dari nol.
Saat dikonfirmasi, pihak SPBU membenarkan adanya mekanisme pengisian data konsumen dalam pembelian Premium. Tapi, mereka membantah jika pihaknya turut meminta data KTP, STNK, hingga nomor kendaraan.
Setiap pelanggan yang ingin memulai pembelian dari nol, nomor kendaraan, handphone, dan nominal pembelian harus menginput data melalui EDC atau electric data center yang terintegrasi dengan aplikasi My Pertamina atau Linkaja. Bukan hanya premium, melainkan biosolar.
“Sebenarnya bisa di-nol-kan. Tapi harus menginput data melalui EDC. Kalau enggak diinput enggak bisa keluar minyaknya,” jelas salah seorang pegawai SPBU Sutoyo S, Rizki kepada bakabar.com, Jumat (19/2). Aturan tersebut, kata dia, diberlakukan setidaknya sejak enam bulan terakhir.
Pengamat Kebijakan Publik Kalsel, Muhammad Pazri menilai Pertamina perlu menyelidiki dugaan kecurangan di SPBU Sutoyo.
“Audit dalam hal teknologi, ini agar jangan sampai praktik tersebut merugikan konsumen terlalu jauh,” jelas Pazri dihubungi media ini, Sabtu (30/2).
Transparansi pembelian BBM, kata dia, bagian dari hak konsumen. Yang telah dilindungi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang, atau jasa.
“Hal tersebut juga yang harus dilakukan oleh SPBU-Pertamina terhadap konsumen BBM,” ujar jebolan magister ilmu hukum Universitas Lambung Mangkurat tersebut.
Lebih jauh, Pazri menilai praktik menyimpang penjualan BBM itu bisa dikenakan pidana sesuai Pasal 8 ayat (1) huruf f UU nomor 8/1999.
“Ketidaksesuaian dugaan spesifikasi barang yang diterima merupakan bentuk pelanggaran bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang,” ujarnya.
SesuaiPasal 4 huruf h UU 8/1999, konsumen berhakmendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantianapabila barang yang diterimatidak sesuai dengan perjanjianatau tidak sebagaimana mestinya.
“Sedangkan pelaku usaha itu sendiri sesuai Pasal 7 huruf g UU 8/1999 berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi atau penggantian apabila barang tidak sesuai,” ujar Direktur Borneo Law Firm tersebut. Jika tidak, bisa saja ancaman hukuman penjara 5 tahun, atau denda Rp2 miliar menanti.