Kalsel

Terkait Kontroversi Kincir Angin di Jembatan Rumpiang, Begini Jawaban PUPR Barito Kuala

apahabar.com, MARABAHAN – Diyakini sudah sesuai konsep, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Barito Kuala…

Featured-Image
Kendati belum selesai, Taman Kincir Angin di ujung Jembatan Rumpiang sudah menjadi spot fotografi oleh warga setempat. Foto-apahabar.com/Bastian Alkaf

bakabar.com, MARABAHAN – Diyakini sudah sesuai konsep, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Barito Kuala tetap melanjutkan pembuatan Taman Kincir Angin di kawasan Jembatan Rumpiang hingga rampung.

Pembuatan Taman Kincir Angin itu menuai kontroversi dari kalangan akademisi, karena dinilai identik dengan Belanda.

Selain sejarah kekejaman yang pernah dituliskan Belanda di Tanah Air, sebenarnya masih terdapat opsi-opsi bentuk lain yang mengangkat identitas Batola.

Namun demikian, Dinas PUPR Batola memastikan tetap melanjutkan pembangunan proyek tersebut. Alasannya setiap pembangunan sudah terkonsep serta mempertimbangkan kondisi kekinian.

“Kawasan yang sedang dibangun Taman Kincir Angin itu merupakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan konsep kekinian,” ungkap Kepala Dinas PUPR Batola, Saberi Thanoor, melalui Kabid Tata Ruang dan Bina Konstruksi, Saraswati Dwi Putranti, Rabu (7/10).

“Konsep keseluruhan RTH di Jembatan Rumpiang adalah membuat spot-spot fotografi untuk masyarakat dengan tema landmark atau ikon beberapa negara di dunia. Artinya miniatur kincir angin itu bukan monumen atau tugu simbolis Batola,” imbuhnya.

Konsep landmark itu sendiri menyesuaikan bentuk bangunan Jembatan Rumpiang. Atas pertimbangan kekuatan konstruksi, Rumpiang memang dibikin mirip dengan Harbour Bridge di Sydney, Australia.

“Sebenarnya tak cuma kincir angin. Landmark negara lain yang direncanakan dibangun adalah Big Ben, Piramida, Menara Eiffel dan beberapa aksesoris RTH yang tidak jauh dari konsep landmark,” jelas Saraswati.

“Kendati demikian, material pembuatan bangunan-bangunan landmark internasional tersebut tetap menunjukkan kearifan lokal, seperti penggunaan kayu ulin,” sambungnya.

Kalau kemudian bangunan yang lebih dulu muncul adalah miniatur kincir angin, hal tersebut disebabkan keterbatasan anggaran.

“Imbasnya belum terlihat konsep RTH di Jembatan Rumpiang secara menyeluruh. Di sisi lain, kami juga memiliki beberapa konsep perencanaan yang menonjolkan identitas Batola,” papar Saraswati.

“Untuk RTH yang bertema identitas Batola, direncanakan dibangun di lokasi berbeda yang lebih kontras dan selaras dengan lingkungan sekitar,” tambahnya.

Salah satunya tugu selamat datang yang direncanakan dibangun di pertigaan jalan nasional antara Banjarmasin-Marabahan-Margasari di Kecamatan Cerbon.

“Konsep tugu tersebut akan menonjolkan identitas Batola melalui padi dan purun. Namun pembangunan tugu ini masih menunggu pelebaran jalan nasional oleh Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) Wilayah XI,” tukas Saraswati.

Seiring pembangunan beberapa landmark negara lain di RTH Rumpiang, diharapkan bisa mendorong masyarakat kabupaten/kota lain untuk berkunjung ke Marabahan.

“Bagaimanapun Batola tidak memiliki wahana wisata alam maupun sejarah yang dapat menarik banyak peminat. Sementara Pulau Kembang dan Pulau Kaget sekarang lebih banyak dikunjungi peneliti dibandingkan wisatawan,” papar Saraswati.

“Berangkat dari situasi itu, Batola harus memiliki sesuatu yang berbeda dan menarik. Diharapkan keberadaan spot-spot foto yang tersebar cepat di media sosial, ikut membuat Batola semakin menarik dikunjungi,” tandasnya.



Komentar
Banner
Banner