bakabar.com, BANJARBARU - Masyarakat Desa Rantau Bakula, Kecamatan Sungai Pinang, Banjar, berteriak lantang atas deretan pelanggaran lingkungan dan dugaan intimidasi yang dilakukan oleh perusahaan tambang batu bara PT Merge Mining Industri (MMI) asal China.
Melalui konferensi pers yang digelar di Sekretariat Walhi Kalimantan Selatan, warga mengungkapkan kekesalan dan kelelahan mereka menghadapi dampak buruk dari operasi tambang bawah tanah yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Perusahaan dengan skema Penanaman Modal Asing (PMA) ini memiliki konsesi seluas 1.170 hektar dan telah beroperasi sejak 2016 setelah memulai eksplorasi pada era 1990-an.
"Dulu kami hidup tenang, tapi sejak PT. MMI datang, suara bising, debu, limbah dan air yang tercemar menjadi keseharian kami," kata Mariadi, warga Desa Rantau Bakula. "Kami sudah terlalu sabar." Imbuhnya.
Tak hanya kerusakan lingkungan, warga juga menghadapi tekanan dalam bentuk kriminalisasi.
Sumardi (64) divonis bersalah atas tuduhan pengancaman setelah mempertahankan kebun miliknya yang hampir panen dari aktivitas perusahaan.
Meski tidak ditahan, lansia yang merupakan seorang petani itu menjalani masa percobaan selama lima bulan.
Tak berhenti di sana, dugaan kekerasan terhadap seorang warga dengan gangguan jiwa (ODGJ) bernama Sugiarto oleh satpam perusahaan juga terungkap. Hingga kini, kasus ini tak kunjung diproses secara adil dan transparan.
Tuntutan Pemulihan
Warga setempat sejatinya telah menyampaikan keluhan mereka kepada DPRD Kalimantan Selatan pada Februari 2025 lalu.
Komisi III DPRD membentuk tim penyelesaian masalah yang melibatkan berbagai pihak. Namun, hingga dua bulan berselang, belum ada satu pun aksi nyata yang dilakukan di lapangan.
Warga pun sangsi atas keseriusan dan keberpihakan tim tersebut.
"Air tak lagi bisa kami gunakan. Untuk kebutuhan rumah tangga, kami terpaksa membeli empat galon air per hari," sahut Mistina, warga lainnya.
Selain itu, produksi karet yang menjadi andalan ekonomi warga setempat juga merosot drastis. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Paryun.
"Dulu bisa 50 kilogram sepekan, sekarang tinggal setengahnya," timpal Paryun.
Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan, Raden Rafiq, mendesak negara untuk tidak lagi abai.
"Kami menilai sudah cukup bukti bahwa PT. MMI bermasalah. Pemerintah wajib turun tangan, menindak, mengevaluasi, bahkan mencabut izin operasinya jika terbukti melanggar," tegasnya.
Warga dan Walhi Kalsel kini juga siap melibatkan jaringan nasional dan internasional untuk membawa kasus ini ke tingkat yang lebih tinggi bila tidak ada respons tegas dari pemerintah.