Kalsel

Sssttt.. Catcalling Mahasiswi di Banjarmasin Cuma Satu dari Sekian Banyak Kasus

apahabar.com, BANJARMASIN – Aksi pelecehan seksual secara verbal alias catcalling yang menimpa MRA disesalkan banyak pihak….

Featured-Image
Satu kasus amatlah banyak dalam teori pencegahan. Kekerasan pada perempuan bak fenomena gunung es. Terlebih korbannya enggan melapor. Foto ilustrasi: Ist

bakabar.com, BANJARMASIN – Aksi pelecehan seksual secara verbal alias catcalling yang menimpa MRA disesalkan banyak pihak.

Penelusuran bakabar.com, kasus yang menimpa mahasiswi semester awal itu rupanya hanya satu dari sekian banyak kasus yang terjadi di Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad Al-Banjari (MAB).

Fakta tersebut terungkap setelah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Uniska MAB membuat kuesioner bertepatan dengan Hari Perempuan Sedunia 8 Maret 2021 lalu.

Dalam isi kuesioner tersebut, rata-rata kasus yang disebut para audiens-nya yang merupakan mahasiswa adalah catcalling. Itu pun dilakukan sesama mahasiswa.

Ketua BEM Uniska MAB, Zikri Nur Abadi, menyayangkan sederet kasus tersebut tidak dilaporkan oleh penyintas.

"Mungkin karena mereka takut kalau-kalau identitas dibuka dan sebagainya," ucapnya kepada bakabar.com.

Oleh karenanya, para penyintas kini tak perlu takut. BEM, kata dia, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan sudah sejak lama membuka posko aduan.

"Kami menjamin identitas tidak bakal diungkap, dan tentu BEM Uniska akan terus mengawal dan melindungi (penyintas)," tegasnya.

Lebih jauh, BEM akan mendalami lagi kasus yang menimpa MRA. Jika memang terbukti bersalah, dia mendesak pihak kampus agar tidak tinggal diam.

Menteri Pemberdayaan Perempuan BEM Uniska MAB, Ira Miranda, menambahkan pihaknya juga bakal membentuk tim investigasi tersendiri.

Data kuesioner hingga hasil investigasi soal kasus yang dialami MRA nantinya akan pihaknya bawa ke meja rektorat Uniska.

"Karena kalau ini tidak dibuka, hal serupa bakal terus terjadi nanti ke depannya," pungkasnya.

Mahasiswi Jadi Korban Catcalling di Banjarmasin, Narasi: Harusnya Kampus Punya SOP

Aktivis dari Narasi Perempuan, Anna Desliani menyesalkan kasus pelecehan seksual secara verbal kembali terjadi.

Anna lantas menyoroti langkah kampus yang meminta MRA melaporkan kasus tersebut ke bidang kemahasiswaan. Mestinya, pihak rektorat yang melakukan penelusuran, bukan malah menyuruh korban.

"Karena untuk bicara saja korban sulit, apalagi harus melapor," ucapnya kepada bakabar.com, Selasa (21/9) malam.

Dia lantas meminta pihak kampus belajar lagi bagaimana cara menangani kasus pelecehan seksual.

"Sebab sampai sekarang belum ada SOP (standar operasional prosedur) di kampus-kampus yang ada di Banjarmasin soal penanganan kasus kekerasan seksual," ujarnya.

Kasus MRA jangan dianggap sepele. Rektorat harus serius dalam mengusut tuntas kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus.

"Pihak kampus harus mengusut kasus ini dengan cepat dan tegas dan harus ada aturan yang jelas," tekannya.

Anna bilang pendampingan seperti psikis hingga keamanan korban sangat perlu. Selain itu, pemulihan juga mesti diberikan kepada pelaku.

"Rehabilitasi atau yang kami biasa sebut dengan pemulihan ini harus diberikan, agar pelaku tidak lagi melakukan hal serupa," pungkasnya.

Sebelumnya, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Uniska, Idzani Muttaqin, mengaku telah mengumpulkan jajarannya. Namun tak ada satupun mengaku.

Dia malah menduga bahwa pelaku catcalling terhadap MRA hanya oknum yang mengaku-ngaku.

Pasalnya, kata Idzani, hal serupa pernah terjadi. Dengan modus yang sama, pengurusan beasiswa.

"Itu pernah kejadian, setelah kita kroscek ternyata orang hanya mengatasnamakan kemahasiswaan," ungkapnya ditemui media ini, Selasa (21/9).

Soal beasiswa, dirinya memastikan pihaknya tak pernah meminta imbalan. Pasalnya, hal tersebut sudah diatur oleh Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti).

Di satu sisi, Idzani meminta MRA untuk melaporkan langsung kasus tersebut kepadanya. Idzani menjamin identitas dan keamanan bakal terjaga.

"Dijamin dan kami lindungi. Kalau dia (MRA) tidak berani datang langsung ke kemahasiswaan, bisa agendakan bertemu di luar," tuntasnya.

Pelecehan seksual secara verbal menimpa MRA. Dua bulan lalu, mahasiswi semester awal ini menjadi korban catcalling oknum pegawai kemahasiswaan.

Setelah mendapat dorongan dari rekan-rekannya, ia baru berani buka-bukaan. MRA tak mau jika mahasiswi lain juga menjadi korban oknum pegawai itu.

bakabar.com secara khusus menemui MRA pada Selasa (21/9). Bermula dari beasiswa, lama-kelamaan percakapan oknum itu menjurus ke topik mesum.

Pelecehan seksual secara verbal sudah berhari-hari MRA rasakan melalui pesan Whatsapp. Tepatnya pada 11-13 September 2021 ketika si pegawai membalas pesan yang dilayangkan MRA.

"Cium barang nah," ujar pegawai itu kepada MRA. MRA amat paham konteks ucapan pegawai tersebut. "Saat itu saya menanyakan informasi beasiswa melalui nomor kontak yang tertera di instagram resmi kampus," cerita MRA.

Sempat ingin memendamnya, MRA akhirnya membeberkan kronologi catcalling yang menimpanya. bakabar.com menemui MRA secara khusus pada Selasa (21/9) setelah ia mendapat dorongan dari rekan-rekannya.

Dimintai pendapatnya, Ketua Ikatan Psikolog Kalsel (IPK) Kalsel, Melinda Bahri menjelaskan pengertian daripada Catcalling.

"Pelecehan seksual seperti ini banyak menimpa anak-anak perempuan atau perempuan dewasa, ini di psikologi disebut pelecehan seksual secara verbal, termasuk kekerasan seksual psikis," ujarnya.

Lantas, bagaimana cara memutus mata rantai Catcalling? Melinda mendorong untuk korban berani angkat bicara.

"Karena bentuknya terselubung, pelaku seperti ini hanya berani melalui chat, jika korban merespons maka mereka akan beraksi," ujarnya.

Kebanyakan korban, kata dia, cenderung hanya diam, malu dan lebih takut akan stigma.

"Kami apresiasi MRA sudah mau membuka apa yang terjadi, semoga ada respons minimal dari kampus sebagai efek jera," ujarnya.

Lebih jauh, Melinda melihat perlu adanya pendampingan untuk menjaga psikologis MRS.

Catcalling adalah sebuah tindakan pelecehan yang terkadang menyerupai pujian. Lantas bisakah dipidana pelakunya?

Direktur Borneo Law Firm, Muhammad Pazri bilang bisa saja. "Asalkan si penerima perbuatan tidak menerima," ujarnya.

Istilah cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan. Termasuk mendistribusikan konten yang mengandung muatan asusila.

"Perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya," jelasnya.

Lantas, bagaimana jika praktik asusila dilancarkan melalui media sosial? Jika pesan kesusilaan melalui SMS atau WA, pengirim bisa dituduhkan dengan dugaan Pasal 27 ayat (1) UU ITE.

"Dan oknum tersebut bisa diduga dengan ketentuan perbuatan cabul yang sudah diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP," sambung magister ilmu hukum, Universitas Lambung Mangkurat ini.

Lebih jauh, mereka yang dengan sengaja menyebarkan atau mendistribusikan muatan pelanggaran kesusilaan dapat dikenakan Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Ancaman pidana maksimal enam tahun penjara hingga denda Rp1 miliar.

Namun kembali lagi, Pazri menjelaskan unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan dari korban.

"Apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut, maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual," jelasnya.

Lebih jauh, Pazri memandang aksi catcalling perlu direspons serius karena berpotensi mencoreng institusi pendidikan.

"Rektorat harus bersikap dan lakukan investigasi karena jangan sampai terulang serta ada korban. Kasihan para mahasiswa, yang harusnya belajar dan menuntut ilmu tapi jadi korban," ujarnya.

Komentar
Banner
Banner