Kalsel

Solusi Yang Ditawarkan Dinas TPH Kalsel Agar Petani Tidak Membakar Lahan

apahabar.com, BANJARBARU – Kabut asap kembali melanda sejumlah wilayah di Kalsel. Diduga berasal dari kebakaran lahan…

Featured-Image
Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalsel, Ir Syamsir Rahman dengan memegang pupuk cair hayati saat ditemui di kantornya, Kamis (24/10) siang. Foto-apahabar.com/Nurul Mufidah

bakabar.com, BANJARBARU – Kabut asap kembali melanda sejumlah wilayah di Kalsel. Diduga berasal dari kebakaran lahan persawahan.

Hal ini pun ditanggapi Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) Provinsi Kalsel, Ir Syamsir Rahman. Dia menampik jika petani pembakar lahan sawah jadi penyebab utama kabut asap yang terjadi sekarang.

“Kondisi kita saat ini, musim kemarau panjang ini tiap tahun kita alami. Dan karena titik kebakaran lahan itu titiknya banyak, ada rawa lebak rawa pasang surut. Paling berpotensi terbakar cepat itu lahan gambut, untuk biasanya petani jarang ada di lahan gambut,” ujarnya lagi.

Menurutnya, kebakaran lahan paling banyak terjadi di sektor lahan yang kepemilikannya tidak di jaga.

“Ini lah masalahnya, jangan sampai satu sisi petani membakar lahan dengan space kecil untuk mengisi perutnya ditangkap dan lahan terbakar luas yang tak dijaga tapi pemiliknya dibiarkan,” tegasnya.

Untuk diketahui pembakaran lahan persawahan dengan tujuan kearifan lokal perbolehkan menurut UU No 32 Tahun 2009 Pasal 69. Bunyi pasal itu per-kepala keluarga diperbolehkan melakukan pembakaran lahan. Namun dengan luas maksimal dua hektare. Termasuk membuat garis batas api agar tidak menjalar ke wilayah lain.

Lebih jauh dia menjelaskan telah memberikan solusi untuk menggantikan kebiasaan petani membakar lahan (jerami padi).

“Solusi jangka pendek, kita sudah membuat surat ke kab/kota agar jangan ada pembakaran lahan atau jerami oleh petani,” ujarnya kepada bakabar.com, saat ditemui di kantornya, Kamis (24/10) siang.

Supaya tidak dibakar, lanjutnya dia menjelaskan jerami di potong paling bawah, setelah itu dilakukan pengolahan lahan dengan menggunakan traktor dan perlu diberi pupuk hayati.

“Tapi kalau di potong paling atas nanti dia bakar dan menghasilkan pupuk. Dan hama tidak datang itu yang di sebut kearifan lokal, (sehingga) tanpa beli pupuk hayati dan herbisida” jelasnya.

Sedangkan menurutnya jika tidak di bakar, maka hasil produktifitasnya akan menurun signifikan.

“Dibakar ini efektif, kalau tidak di bakar tapi mau produktifitasnya gak turun, bisa beli pupuk cair hayati seharga 400 ribu/L, dan ini berat bagi mereka (petani, red),” ungkapnya.

Sehingga hal tersebut menjadi dilema bagi pihaknya. “Ada dilema sebenarnya. Kita tidak bisa memberikan pengolahan lahan yang maksimal, pertama peralatan, kedua herbisida, sehingga petani mengambil yang efektif dan gratis,” ungkapnya.

“Kenapa mereka bakar jerami itu, satu memusnahkan hama sampai ke tikusnya mati, kedua hama yang turun saat awal tanam juga gak ada dan ketiga memberi kesuburan tanah yang baik,” sambungnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan kesejahteraan petani yang kurang membuat pola pembakaran lahan persawahan (jerami padi) terus berulang.

“Petani kita tidak memiliki kesejahteraan yang tinggi, tidak seperti di luar negeri yang pakai banyak pupuk dan herbisida” pungkasnya.

Baca Juga: Desember, Jokowi Resmikan Bangunan Baru Syamsudin Noor

Baca Juga: Pengendara Tanpa SIM Dominasi Operasi Zebra Intan di Kotabaru

Reporter: Nurul Mufidah
Editor: Ahmad Zainal Muttaqin



Komentar
Banner
Banner