Regional

Silang Pendapat Perda Ramadan di Banjarmasin

Perda Ramadan di Banjarmasin menjadi isu yang hangat diperbincangkan belakangan waktu ini. Apa perlu perda lama diganti?

Featured-Image
Penertiban sebuah warung di kawasan Veteran, Banjarmasin diwarnai perdebatan panas antara pemilik dengan personel Satpol PP. Foto: Istimewa

bakabar.com, BANJARMASIN - Peraturan Daerah (Perda) Ramadan di Banjarmasin menjadi isu yang hangat diperbincangkan belakangan ini. Apa perlu perda lama diganti?

Pasalnya, Perda Nomor 4 Tahun 2005 yang merupakan perubahan atas Perda Nomor 13 Tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadan rencananya hendak dicabut oleh Wali Kota Banjarmasin, Ibnu Sina.

Ibnu Sina punya wacana untuk menggantikannya dengan Raperda Tentang Menumbuhkembangkan Kehidupan Beragama.

Poin itu tertuang pada Pasal 33 draft Raperda tentang Menumbuhkembangkan Kehidupan Beragama. Isinya; ketika raperda ini disahkan menjadi perda, maka Perda Ramadan yang sebelumnya (Perda Nomor 4 Tahun 2005 perubahan Perda 13 Tahun 2003) dicabut dan di anggap tidak berlaku.

Menilik Ulang Substansi Perda Ramadan

Alasan yang mendasari keinginan Ibnu mengganti Perda Ramadan lama adalah insiden keributan yang terjadi saat Satpol PP melakukan penertiban salah satu rumah makan non-halal di Kota Banjarmasin pada Ramadan 2022 lalu.

Pertimbangan lainnya, soal aturan jam operasional usaha kuliner yang dirasa sangat singkat dan dinilai memberatkan bagi warga yang tak menjalankan ibadah puasa.

"Raperda itu sudah diusulkan ke DPRD, rencananya dalam waktu dekat akan segera dibahas," kata Kepala Bagian Hukum Sekretaris Daerah Kota Banjarmasin, Jefri Fransyah, beberapa waktu lalu.

Lantas, apakah mencabut perda lama dan menggantikannya dengan perda baru adalah satu-satunya solusi?

Jefrie bilang, itu adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukan agar aturan tersebut bisa menampung kepentingan seluruh umat beragama di Kota Banjarmasin.

Sebab, ujar Jefrie, dari sisi judul saja, Perda Nomor 4 Tahun 2005 yang merupakan perubahan atas Perda Nomor 13 Tahun 2003 itu hanya mengatur soal larangan dan sanksi.

Sehingga, jika hanya direvisi dengan menambahkan aturan terkait ketoleransian, maka menurutnya praktis judul dari perda juga akan berubah.

Jika judul berubah, maka aturan itu jadi Perda baru. Itu juga yang jadi alasan kenapa pihaknya mengusulkan perlu adanya aturan yang baru.

Dijelaskannya, isi Raperda hanya memuat aturan-aturan umum perihal upaya menumbuhkembangkan keberagaman umat beragama saja. 

Dari sekitar 70 pasal dalam draf raperda itu, belum ada satupun memuat aturan mengenai larangan atau batasan kegiatan.

Sebab, aturan seperti itu, menurut Jefrie, akan terus terjadi perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi di tengah masyarakat. 

"Tapi, ketika raperda ini sudah resmi, maka akan ada aturan turunan dalam bentuk Perwali," ujarnya.

"Nah di Perwali inilah yang nantinya akan memuat aturan-aturan secara rinci. seperti batasan jam operasional rumah makan dan lain sebagainya," tambahnya.

Penyusunan isi perwali itu pun, kata dia, akan berbarengan dengan pembahasan rapat pansus yang bakal melibatkan seluruh pemuka agama dan tokoh masyarakat.

Dengan cara seperti itu, Jefrie menilai usia perda yang baru nantinya bisa bertahan lama. Dan terpenting tidak perlu dilakukan revisi secara besar-besaran ketika terjadi kondisi yang mengharuskan untuk dilakukan perubahan. Nantinya tinggal hanya perwalinya saja.

Jefri berharap, proses pembahasan Raperda pengganti Perda Ramadan itu bisa secepatnya selesai supaya bisa diterapkan di Ramadan tahun 2023 ini.

"Tujuan utama pembentukan raperda ini kan adalah untuk menghindari resiko terjadinya konflik di masyarakat. Kalau lambat, khawatirnya akan ada protes-protes seperti yang terjadi di tahun kemarin. Kita tidak menginginkan hal itu," cetusnya.

MUI Kalsel Tegas Menolak....baca di halaman berikutnya...

HALAMAN
1234
Editor


Komentar
Banner
Banner