bakabar.com, BANJARMASIN – Sidang perdana kasus dugaan korupsi Perusahaan Daerah (PD) Baramarta digelar di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Senin (3/5) siang.
Dipimpin ketua majelis hakim Sutisna Sawati, sidang yang memperkarakan mantan Direktur Utama PD Baramarta, Teguh Imanullah itu beragenda pembacaan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
Kasi Pidsus Kejari Martapura, Gusti Ngurah Anom mengatakan pihaknya mendakwakan 3 pasal kepada Teguh Imanullah lantaran diduga menyebabkan negara rugi hingga Rp9,2 miliar.
Pasal 2 jo Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP, dan melanggar Pasal 8 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KHUP.
“Kita lihat nanti pembuktiannya sama-sama di persidangan,” katanya.
Terlepas itu, kata Gusti Ngurah Anom, beberapa hari lalu, terdakwa melalui penasehat hukumnya sempat menitipkan uang pengganti.
“Di kita ada menitip uang pengganti ke senilai Rp400 juta sekian. Saya lupa persisnya dan sudah disetor ke rekening penampungan kejaksaan Martapura,” katanya.
Sementara itu, penasehat hukum terdakwa, Badrul Ain Sanusi menyatakan sangat keberatan terhadap dakwaan JPU.
Pihaknya, kata Badrul Ain, akan menyampaikan sanggahan terhadap dakwaan JPU pada sidang eksepsi yang dijadwalkan Senin (10/5) mendatang.
“Kita akan melakukan bantahan sebagai upaya pembelaan terhadap klien,” katanya.
Yang membuatnya keberatan adalah, kliennya tidak pernah berniat memperkaya diri sendiri dengan uang tersebut.
Uang tersebut, kata dia, justru mengalir ke sejumlah oknum pejabat, aparat hingga instansi di Kabupaten Banjar.
“Ini request dari mereka yang memiliki kekuasaan dan kekuatan,” katanya.
Badrul melanjutkan permintaan itulah yang menyebabkan kliennya terpaksa menunggak dana tersebut.
“Untuk menyenangkan mereka hingga klien kami melakukan kasbon,” katanya.
“Setiap tahun anggaran di Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) sebesar Rp250 juta/bulan kurang, sehingga seorang direktur pun harus memutar otak untuk menambal kekurangan itu,” katanya.
Hal tersebut berlangsung sejak tahun 2017 hingga tahun 2020.
Lebih jauh, Badrul bilang, kalau kasus ini sebenarnya bukan ranah korupsi. Hanya persoalan utang-piutang.
“Karena ada kasbon. Tertulis di nota dalam dan manajer keuangan perusahaan,” katanya.
Badrul membeberkan di tahun 2017, nilai utang kliennya adalah Rp3 miliar dan sempat dibayar Rp1,8 miliar.
Di tahun-tahun berikutnya, utang tersebut ‘menggunung’. Sebabnya permintaan dari para oknum pejabat dan aparat tadi semakin meningkat.
Selain itu, usaha pribadi milik kliennya menemui sejumlah kendala. Sehingga tak mampu lagi menutupi utang-utang terdakwa di PD Baramarta.