bakabar.com, BANJARMASIN – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi PD Baramarta kembali digelar di Pengadilan Negeri Tipikor Banjarmasin, Senin (7/6/2021).
Sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Sutisna Sawati beragendakan mendengar keterangan dari saksi jaksa penuntut umum (JPU).
Ada tujuh saksi yang dihadirkan JPU. Mereka mayoritas merupakan orang-orang internal di PD Baramarta. Dari karyawan aktif hingga eks dewan pengawas.
Mereka yakni, Sri Sardewi, Manajer Keuangan PD Baramarta sejak 2017 hingga sekarang. Kemudian Taibah, Eks Manajer Umum 2015-2019. Nasrulsyah, eks Ketua Dewan Pengawas.
Kemudian Edi Suriadi, Kabag Keuangan dan Rina Yulianti, Kabag Perekonomian dan SDA. Siti Mahmudah serta Ahmad Yunani sebagai Anggota Dewan Pengawas.
Yang menarik adalah kesaksian Sri Sardewi. Selaku Manajer Keuangan, ia tahu secara detail bagaimana cara Teguh menggunakan dana perusahaan tersebut.
Sri membeberkan teknis bagaimana Teguh menggunakan duit perusahaan sejak menjabat sebagai Direktur periode 2017-2020.
Teguh sering menggunakan duit yang bersumber dari cash flow perusahaan dengan menggunakan nota dalam sebagai surat perintah melalui keuangan dan mencairkannya di bendahara.
“Ada penggunaan anggaran di luar perusahaan sejak 2017 – 2020. Pinjaman berupa kasbon dirut menggunakan nota dalam,” ujar Sri saat menjawab pertanyaan JPU.
Sri mengungkapkan penggunaan duit perusahaan itu kerap dilakukan Teguh selama menjabat.
Bahkan ungkapnya, bisa dilakukan beberapa kali dalam sebulan dengan nominal yang bervariatif.
Sri juga membuka catatan pengeluaran yang pernah diminta Teguh dengan total Rp9,2 miliar.
“Itu terjadi sejak 2017. Yang paling banyak itu di tahun 2020 totalnya Rp2,2 miliar lebih,” terangnya.
Lantas apakah penggunaan duit tersebut sudah sesuai dengan peraturan perusahaan?
Sri menjawab penggunaan dana dengan nota dalam memang tak sesuai dengan prosedur.
Meski tahu hal itu tak diperbolehkan, Sri berdalih tak berani menolak atau melarang lantaran takut dicap telah melawan pimpinan. Dan bisa berimbas terhadap karirnya.
“Nota dalam itu menjadi dasar mengeluarkan. Memang tak ada SOP. Karena saya tak berani menolak perintah pimpinan. Saya takut dipecat,” terangnya.
Sri juga mengaku, tak pernah mempertanyakan untuk apa saja dana yang diminta Teguh. Alasannya sekali lagi karena dia takut.
“Pernah pada Juni 2020 ada penggunaan dana Rp100 juta. Saat itu tak ada nota dalam dan kuitansi. Saat diberitahu beliau marah,” katanya.
Dikatakan Sri, bahwa penggunaan dana itu memang sempat tidak diketahui saat dilakukan audit. Itu tercatat pada tahun anggaran 2017 dan 2018.
Trik untuk menutupi itu juga dibongkar Sri di tengah persidangan. Teguh selalu mengetahui kapan perusahaan plat merah milik Pemerintah Kabupaten Banjar itu bakal diaudit.
Menjelang berapa hari sebelum pemeriksaan, Teguh bakal mengembalikan duit yang digunakan. Namun, itu hanya sementara. Setelah audit selesai duit yang dikembalikan ditarik kembali.
“Sebelum diperiksa dikembalikan dulu langsung ke keuangan. Setelah itu ditarik lagi setelah beberapa hari setelah chas offline. Itu diambil saja, dengan kwitansi, tanpa nota dalam,” bebernya.
Penggunaan dana yang dilakukan Teguh mulai terbongkar pada saat audit tahun anggaran 2019.
Pada saat itu, rupanya Teguh tak bisa lagi mengembalikan sementara duit yang digunakannya sehingga menjadi temuan Inspektorat.
“2019 audit 2020 disitu mulai kelihatan. Karena tak ada pengembalian. Totalnya sekitar Rp6,9 miliar lebih akumulasi sejak 2017-2019. Kemudian September 2020 berakhir masa jabatannya ada mengambil Rp2,2 miliar lebih,” pungkasnya.
Menanggapi kesaksian Sri, kuasa hukum terdakwa, Badrul Ain Sanusi menyangsikan keterangan Sri yang mengaku tak pernah mengetahui ke mana saja aliran dana yang dikeluarkan tersebut.
“Mereka kan sudah lama bersama. Setiap yang berhubungan dengan finansial kan dirut pasti berkomunikasi dengan manajer keuangan. Pasti lah ada perbincangan, masa bisu-bisuan saja. Kan nggak mungkin,” kata Badrul.
Sehingga menurut Badrul, Sri harusnya mengetahui kemana saja dan untuk apa dana yang dikeluarkan itu.
Badrul juga menanggapi soal penggunaan nota dalam untuk pengambilan dana. Menurutnya hal tersebut sah-sah saja.
“Kalau nota dalam itu kan internal perusahaan dalam rangka pengeluaran. Menurut klien kami prinsipnya menggunakan uang itu sudah melalui mekanisme,” imbuhnya.
Lebih jauh dikatakan Badrul, pihaknya juga akan menghadirkan sejumlah saksi yang menurutnya berkompeten dalam perkara tersebut.
“Orang-orangnya sudah kita siapkan. Target kita ada lima orang. Orang-orang yang berkompeten tentunya. Termasuk ada saksi ahli nantinya,” pungkas Badrul.
Untuk diketahui, Teguh Imanullah didakwa atas dugaan korupsi keuangan perusahaan plat merah itu hingga menimbulkan kerugian negara mencapai Rp9,2 miliar lebih.
Teguh dikenakan tiga pasal sekaligus. Pasal 2 jo Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP, dan melanggar Pasal 8 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KHUP.