Kalsel

Semrawut Akar Masalah Banjir Menahun Kalsel, Perubahan Iklim hingga Kerusakan Lingkungan

apahabar.com, BANJARMASIN – 14 Januari 2021, awal mula banjir besar melanda sejumlah daerah di Kalimantan Selatan….

Featured-Image
Serupa tahun lalu, banjir hari ini merendam sejumlah wilayah di Kalsel. Di Pengaroh, air mencapai setinggi leher orang dewasa. Foto: Antara Kalsel

bakabar.com, BANJARMASIN – 14 Januari 2021, awal mula banjir besar melanda sejumlah daerah di Kalimantan Selatan.

Kala itu serbuan air bah merendam 11 kabupaten dan kota. BPBD Kalsel mencatat ratusan ribu jiwa terdampak.

Berdasar data 27 Januari 2021, Kabupaten Banjar menjadi wilayah terparah dengan total 55.904 KK dan 235.076 jiwa terdampak. Disusul Banjarmasin sebanyak 35.138 KK dan 108.524 jiwa.

Kemudian, Hulu Sungai Tengah sebanyak 28.183 KK/86.825 jiwa; Barito Kuala 18.792 KK/53.855 jiwa; Tanah Laut 13.476 KK/42.543 jiwa; dan Balangan dengan mencatat 7.007 KK/21.416 jiwa.

Berikutnya, Hulu Sungai Selatan 4.173 KK/10.385 jiwa; Tabalong 3.194 KK/9.937 jiwa; Kota Banjarbaru 2.068 KK/8.429 jiwa; Hulu Sungai Utara 1.582 KK/4.774 jiwa; dan terakhir Tapin 549 KK/1.607 jiwa.

Banjir terparah selama beberapa dekade terakhir itu juga menelan sejumlah korban jiwa. Banyak warga yang kehilangan sanak saudara.

Dejavu. Di awal tahun ini, banjir kembali melanda sejumlah daerah di Kalsel. Waktu yang hampir bersamaan, per 14 Januari 2022 tercatat 5 kabupaten terendam.

Totalnya, sebanyak 5.093 KK/15.848 jiwa terdampak. Sementara jumlah yang mengungsi sudah tercatat ada 575 orang.

Banjir yang bak fenomena tahunan ini tentu jadi pertanyaan. bakabar.com lantas menelusuri akar masalah bencana ini ke sejumlah ahli yang berkompeten di bidangnya.

img

Warga melintasi banjir yang merendam permukiman di Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Hujan dengan intensitas sedang hingga lebat yang terjadi di wilayah Kbupaten Banjar menyebabkan sungai Pengaron meluap. Akibatnya, ratusan rumah warga terendam banjir. Foto: Antara Kalsel

Mantan direktur Walhi Nasional, Berry Nahdian Furqan menilai salah satu penyebab banjir tiap tahun ini memang tidak lepas dari cuaca ekstrem atau curah hujan tinggi.

Tetapi, kondisi tersebut tak serta merta akibat faktor alamiah. Cuaca ekstrem tentu disebabkan oleh perubahan iklim.

Sedangkan penyebab utama perubahan iklim yaitu pemanasan global.

Percepatan pemanasan global merupakan akibat dari meningkatnya konsentrasi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari industri kotor.

Selain itu, aktivitas manusia juga berperan dalam mengubah iklim bumi. Misalnya, seperti eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.

"Jadi, tidak serta merta cuaca ekstrem ini karena situasi alamiah, tapi juga ada kesalahan manusia," ucapnya kepada bakabar.com, Jumat (14/1).

Mantan wakil bupati Hulu Sungai Tengah itu lantas mencontohkan fenomena nyata dari dampak perubahan iklim.

"Misalnya, yang seharusnya tak musim hujan, malah jadi musim hujan. Harusnya hujan biasa, menjadi hujan sangat ekstrem," tuturnya.

Selain itu, faktor lain penyebab Kalsel jadi langganan banjir yakni maraknya eksploitasi hutan. Mulai dari ilegal logging hingga pembukaan perkebunan kelapa sawit secara besar.

Kondisi tersebut membuat banyaknya lahan kritis di Bumi Lambung Mangkurat. Parahnya, ini tidak dibarengi dengan maraknya tutupan lahan.

Sekalipun Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kalsel mengklaim tiap tahun Bumi Lambung Mangkurat semakin hijau.

"Tutupan lahan ini belum cukup untuk memulihkan kondisi lingkungan kita yang sudah rusak," ujarnya.

Di samping tutupan lahan yang tidak memadai, Berry bilang di kawasan hilir tata drainase sudah sangat buruk. Sehingga terjadi pendangkalan sungai.

Sampai ini, dia menilai upaya yang dilakukan Pemprov masih parsial dan belum terintegrasi. Hal tersebut bukan tanpa alasan. Berry memberi contoh, misalnya dalam tata ruang.

Kebijakan Pemkab dan Pemprov dinilai tak selaras. Sebab, hingga sekarang dirinya merasa belum ada perencanaan komprehensif yang terintegrasi.

"Ada yang melakukan upaya mitigasi, namun di sisi lain ada beberapa kawasan hutan yang dialihfungsikan menjadi produksi," bebernya.

Lebih lanjut, Berry turut mendorong Pemda untuk melakukan evaluasi pasca-Presiden Joko Widodo mencabut sejumlah izin usaha pertambangan dan kelapa sawit.

"Pemda harus segera menata ulang kembali konsesi perizinan yang sudah dicabut oleh presiden," ucapnya.

Senada, ahli hukum lingkungan dan administrasi Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Prof Hadin Muhjad menambahkan berdasar banyak hasil penelitian saat ini banyak ditemukan lahan kritis di Kalsel.

Padahal, kata dia, dalam Undang-Undang Kehutanan jelas menyebut salah satu fungsi utama hutan yakni tata air.

"Analoginya, jika hutannya tidak ada, otomatis yang mengelola air juga tidak ada," tuturnya.

Menurutnya, curah hujan tinggi tak bisa jadi alasan penyebab banjir tahunan di Kalsel.

"Bila penyangganya (hutan) masih ada, hujan semingguan pun tak akan banjir," ujar Prof Hadin.

Sejauh ini, fakta di lapangan, Hadin menyebut banyak perusahaan yang meninggalkan bekas lubang hasil tambang.

Padahal, dalam aturan izin pinjam pakai kawasan hutan, jelas menyebut kawasan pasca-pertambangan wajib dikembalikan kondisinya seperti semula.

Oleh karenanya, keputusan terbaru presiden soal pencabutan ribuan izin usaha pertambangan mineral dan batu bara.

"Memang penyebab utama maraknya ilegal logging ada diizin tersebut. Jadi semoga saja setelah ini nanti arahnya bisa membaik," tutupnya.

Ironi Pengangguran di Wilayah Tambang Batu Bara Balangan-Tabalong



Komentar
Banner
Banner