Saksi Sejarah

Sekolah Tarakanita Magelang, Saksi Sejarah Peristiwa Magelang Kembali

Tak banyak yang tahu, gedung Sekolah Tarakanita di Magelang adalah saksi sejarah terjadinya peristiwa Magelang Kembali.

Featured-Image
Sekolah Tarakanita saksi bumi hangus Magelang (Apahabar.com/Arimbihp)

bakabar.com, MAGELANG - Tak banyak yang tahu, gedung sekolah Tarakanita di Magelang adalah saksi sejarah terjadinya peristiwa 'Magelang Kembali'.

Halaman sekolah bernuansa biru itu nampak rapi dan bersih, temboknya tebal dan kokoh, pohon-pohon tumbuh subur di sekelilingnya.

Pada bagian depan gedung, terlihat tulisan nama sekolah tersebut, SMA Tarakanita Magelang, lengkap dengan logonya. Bisa jadi tak banyak yang tahu, SMP dan SMA Tarakanita adalah saksi bisu terjadinya peristiwa 'Magelang Kembali'.

Menurut pegiat sejarah Magelang, Gusta Wisnu Wardhana, SMA Tarakanita awalnya didirikan Kongergasi Franciscanessen dari Belanda dengan arsitek bangunan Van Bebber.

"Saat didirikan sekitar 1900 an, bersamaan dengan populernya politik etis, beberapa organisasi keagamaan mulai mendirikan sekolah walaupun hanya untuk kalangan tertentu saja," kata Gusta, Rabu (2/8).

Baca Juga: Menyusuri Jejak Gereja Bersejarah Zending di Magelang

Lebih lanjut, ia menuturkan, sekolah tersebut resmi digunakan pada 1902 dan menjadi sekolah formal pertama di Magelang.

"Dulu satu daerah ini adalah kompleks sekolah yang terbagi menjadi dua bagian, timur dan barat jalan raya," ujar Gusta.

Gusta mengatakan, bangunan di sisi timur Jalan Ahmad Yani meliputi bangunan-bangunan yang sekarang menjadi SMP Tarakanita, SMK PIUS dan kantor Detasemen Polisi Meliter (CPM) Magelang.

"Di sisi barat jalan raya, meliputi bangunan-bangunan yang sekarang menjadi TK dan SD Tarakanita dan kawasan yang menjadi Pengadilan Negeri Magelang," tuturnya.

Lebih lanjut, Gusta menceritakan, ada tiga jenis pendidikan yang dibentuk konggregasi Franciscanessen pada waktu itu.

Baca Juga: Kisah Pergundikan dan Nasib Anak-Anak Kolong di Magelang

Adapun jenis pendidikan yang dimaksud yakni Eerste Frobel School atau sekolah setingkat TK, Eurospeech Lagere School atau sekolah setingkat SD dengan lama pendidikan 7 tahun serta Meisjes School atau sekolah kepandaian putri.

"Semua tingkatan dalam sekolah tersebut menggunakan Bahasa Belanda," ucap Gusta.

Tak hanya digunakan sebagai gedung sekolah, di awal berdirinya, Tarakanita juga memiliki bangunan untuk asrama putri dan koster.

Sebagai informasi, koster adalah  para petugas yang bertanggung jawab untuk mengurus sakristi, bangunan gereja, dan isinya. 

Saksi Sejarah Peperangan di Magelang

Gusta mengatakan, SMP dan SMA Tarakanita pernah diambil alih Jepang pada 5 Maret 1942, lalu dijadikan markas militer.

"Kala itu, suster-suster pengelola sekolah yang berbangsa Belanda diinternir (ditahan) oleh tentara Jepang di Beteng Banyubiru Ambarawa," imbuhnya.

Gusta juga mengisahkan, pada 1947, kawasan tersebut diduduki oleh Tentara Geni (Zeni) Pelajar dan kemudian dijadikan sekolah peralihan untuk Tentara Pelajar.

"Termasuk pejabat negara yang menjadi alumninya adalah Letjen (Purn) Soedarmono, SH yang pernah menjadi Wakil Presiden RI era Orde Baru," tuturnya.

Menurut dia, sekolah peralihan setingkat SMA tersebut siswanya adalah para pelajar yang ikut perjuangan bersenjata bersama TNI.

Baca Juga: Johannes Van Der Steur, Pejuang Kemanusiaan Masa Penjajahan Magelang

"Pada saat mereka tidak bertempur, mereka bersekolah di sini. Salah satu siswa yang pernah bersekolah di sana," ujarnya. 

Sembari menyusuri Jalan Ahmad Yani, Gusta menceritakan, pada 19 Desember 1948, ketika tentara Belanda menyerbu ibu kota RI di Yogyakarta, gedung Tarakanita dan sekitarnya diledakkan para tentara pelajar.

"Kala itu bisa disebut Magelang dibumihanguskan sebagai strategi perang gerilya," sambungnya.

Namun, lanjut Gusta, saat Belanda mengakui kedaulatan RI, kawasan sekolah ini oleh pemerintah RI dikembalikan pada Keuskupan Agung Semarang.

"Wilayah yang diakui sudah minus bangunan yang sekarang menjadi kantor CPM dan Pengadilan Negeri dengan alasan yang diketahui," tuturnya.

Gusta mengatakan, setelah peristiwa tersebut, tepatnya pada 1950, oleh Mgr. Sugiya Pranata (Uskup Agung Semarang), kawasan Tarakanita tidak dikembalikan kepada kongergasi suster Franciscanessen karena para ordo tersebut kekurangan tenaga pendidik.

"Suster kongergasi Carolus Boromeus (CB) akhirnya dipercaya oleh Mrg. Sugiya untuk meneruskan pengelolaan sekolah hingga hari ini," pungkasnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner