Kalsel

Sejarah Tugu Pesawat di Bundaran Syamsudin Noor Banjarbaru: dari Operasi Trikora hingga Dwikora

apahabar.com, BANJARBARU – Rangka pesawat itu berdiri gagah. Di dekat moncongnya tertulis angka 1108. Ia berdiri…

Featured-Image
Tugu pesawat di bundaran Syamsudin Noor, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Foto-Istimewa

bakabar.com, BANJARBARU – Rangka pesawat itu berdiri gagah. Di dekat moncongnya tertulis angka 1108. Ia berdiri di atas batu buatan, tepat di bundaran Syamsudin Noor, Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Masyarakat yang pernah melintas di kawasan Jalan Ahmad Yani Kilometer 24,5, tepatnya Simpang Empat Landasan Ulin, pasti sudah familier dengan rangka pesawat yang kini menjadi monumen bersejarah bagi masyarakat Kalimantan Selatan, khususnya Banjarbaru.

Namun, tak banyak yang tahu bahwa tugu pesawat yang kini menjadi salah satu ikon Kota Idaman itu memiliki banyak cerita bersejarah nan heroik yang ada di baliknya.

Pesawat itu adalah MiG-17 Fresco seri F-1108 buatan Rusia. Menurut beberapa sumber, dahulu pesawat ini berfungsi sebagai pesawat buru sergap tempur taktis yang dilengkapi 2 canon 23 mm dan 37 mm.

Sejarawan Kalsel, Mansyur, mengungkapkan pesawat tersebut berjasa dalam Operasi Jaya Wijaya "Trikora" pada 1962. Dalam operasi itu, Belanda dipaksa menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.

Pada 12 Januari 1962, pemerintah membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Komando ini bertugas menyiapkan operasi militer besar-besaran yang langsung menusuk ke jantung pertahanan lawan.

“Operasi besar-besaran ini diberi sandi ‘Operasi Jaya Wijaya’. Republik Indonesia sebagai negara yang baru lahir era itu, mengerahkan kekuatan militer penuh, satu di antaranya dengan menyiapkan pesawat sebagai pendukung Matra Udara yang didukung armada pesawat Mig-17 tersebut,” ungkap Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalsel itu.

Pesawat itu juga ikut andil dalam operasi "Dwikora" pada Konfrontasi Indonesia-Malaysia pada 1964.

Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada 1959, TNI AU memiliki 66 unit MiG 17 Fresco, ditambah satu armada Mig-17 Fresco seri F-1108 yang baru didatangkan dari Rusia.

Pesawat-pesawat ini kemudian menjadi kekuatan AURI (sekarang TNI-AU) pada awal 1961 di Skuadron Udara 11 Pangkalan TNI-AU Abdul Rachman Saleh, Malang.

Dalam Operasi Trikora 1962, pesawat MiG-17 didukung 6 unit Albatros (pesawat anti Kapal selam), 6 unit pesawat P51-Mustang, serta armada udara lainnya.

Dari beberapa sumber, TNI AU saat itu mengoperasikan MiG-17 varian MiG-17F dan MiG-17PF.

Seluruh pesawat tersebut dibeli pada 1961. Pesawat jenis ini mulai diproduksi massal pada 1 September 1951 oleh Rusia.

Selama masa produksi, pesawat ini dimodifikasi dan dikembangkan beberapa kali sebelum dibeli pemerintah Indonesia pada 1958. Ribuan MiG 17 diproduksi dalam berbagai varian.

Konon, Belanda takut karena Indonesia memiliki sistem persenjataan (alutsista) yang mumpuni saat akan melancarkan Operasi Trikora di Irian (sekarang Papua).

Salah satu andalannya adalah pesawat tempur MiG-17 buatan Mikoyan ini. Hasilnya, penjajah Belanda mau berunding soal kedaulatan Indonesia dengan menyerahkan Papua.

Pesawat MiG-17 itu merupakan pengembangan lebih lanjut dari MiG-15 yang juga sukses sebagai pesawat tempur. Fitur utama yang khas adalah sayap yang bisa ditekuk 45 derajat di dekat bodi pesawat dan 42 derajat pada sayap bagian luar.

Perbedaan mencolok dengan pesawat pendahulunya adalah tiga fitur di bagian sayapnya, sementara MiG-15 punya dua dan sebuah sirip ventral tambahan.

“Keunggulannya adalah dengan kecepatan 400-500 kilometer per jam. MiG-17 ini mempunyai kemampuan manuver yang jauh lebih baik pada altitude yang sangat tinggi sekali pun,” bebernya.

MiG-17 ini pun awalnya dibuat sebagai pesawat tempur serba guna dengan pengoperasian siang hari dan memiliki persenjataan tiga senapan. Pesawat itu juga dapat digunakan sebagai bomber, meskipun daya angkut bomnya relatif kecil dibandingkan pesawat sejenisnya saat itu.

Pesawat MiG-17 yang kini menjadi monumen itu, kata Mansyur, juga berperan saat meruncingnya hubungan Indonesia-Malaysia.

Melalui Komando Dwikora pada 3 Mei 1964, presiden sebagai panglima tertinggi menyerukan konfrontasi dengan Malaysia.

Dalam Front Nasional, pemerintah membentuk Aksi Pengganyangan Malaysia.

“Secara konkret dibentuk Komando Mandala Siaga (Kolaga), terdiri atas Komando Mandala I dan Komando Mandala II,” ujarnya.

Setelah pengumuman konfrontasi dengan Malaysia, di Kalimantan Selatan suasana perang benar-benar disimulasikan.

Suatu kegiatan gabungan antara kekuatan militer dan rakyat diwujudkan dalam kegiatan Manuver Mandau Telabang Kalimantan selama dua pekan.

“Khususnya untuk Banjarmasin sampai ke Martapura selama 24 jam penuh dijaga oleh Pasukan Pertahanan Sipil dan Perlawanan Rakyat,” katanya.

Pesawat MiG-17 ini berperan pada hari akhir Manuver Mandau Telabang Kalimantan yang disimulasikan dengan kegiatan serangan pesawat tempur dan pemboman musuh ke landasan terbang Ulin.

Kemudian, serangan balasan dari pasukan Angkatan Bersenjata dengan serangan buru sergap Pesawat Mig-17, Mig-19 dan Mig-21 serta kapal Pembom Ilyushin terhadap kekuatan musuh di lapangan terbang.

“Disertai serangan pasukan payung untuk menduduki lapangan terbang serta secara bersamaan serbuan kekuatan rakyat (Pertahanan Sipil dan Perlawanan Rakyat)” timpalnya.

Usai kegiatan Manuver Mandau Telabang Kalimantan sebagai persiapan Operasi Dwikora, saat akan kembali ke markas di Madiun pesawat MiG-17 mengalami kerusakan mesin dan tidak bisa diperbaiki lagi.

Karena jasa-jasanya dalam Operasi Trikora dan Dwikora, akhirnya pemerintah memutuskan pesawat tersebut dijadikam sebuah monumen. Dalam perkembangannya, di era Orde Baru, seluruh pesawat Mig-17 dipensiunkan oleh Pemerintah Indonesia pada 1970.

Monumen Dirgantara di Landasan Ulin kemudian dipugar dan akhirnya diresmikan pada 9 April 1988, oleh Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan, Ir HM Said.



Komentar
Banner
Banner