Histori

Sejarah Bantal Guling dalam Kisah 'Gundik Tak Berkentut'

Orang Belanda ingin pulang ke negerinya sebagai orang berada. Maka banyak juga yang tak mau menggundik. Sebagai pengganti, mereka lantas membikin guling gundik.

Featured-Image
Ilustrasi sejarah bantal guling yang semula disebut sebagai 'Gundik Tak Berkentut'. Foto: Dok. Viva.

bakabar.com, JAKARTA – Orang Belanda terkenal sangat pelit. Mereka ingin pulang ke negerinya sebagai orang berada. Maka banyak juga yang tak mau menggundik. Sebagai pengganti, mereka lantas membikin guling gundik yang tak dapat kentut itu.

Begitulah penggalan lelucon Wilam kepada kawan-kawannya, sebagaimana dituturkan dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer. Wilam pun kembali melanjutkan ceritanya. "Itu memang bikinan Belanda tulen 'gundik tak berkentut."

Kendati bersumber dari novel, obrolan ringan mengenai guling yang demikian tak sepenuhnya salah. 'Teman tidur' masyarakat Indonesia itu disinyalir kali pertama lahir dalam kebudayaan Belanda, sekira abad ke-18 atau ke-19.

Pelukan Istri Belanda

Haryo Kunto dan Deddy Pakpan dalam Seabad Grand Hotel Preanger, 1897-1997 mengatakan bahwa sebagian orang Belanda memanfaatkan guling untuk melepas rindu terhadap pasangan di negeri asalnya. Itulah mengapa, guling biasa disebut juga dengan istilah Dutch Wife alias istri Belanda.

"Bagi pemuda dan pria Belanda yang tinggal di Nusantara, meninggalkan kekasih atau istrinya jauh di negeri Belanda sana, mereka mengobati rasa rindunya dengan cepat berangkat tidur, mengkhayal, seraya memeluk guling erat-erat," demikian laporan mereka.

Guling sejatinya merupakan salah satu siasat menyalurkan libido para serdadu maupun pejabat Belanda yang tak bisa mendatangkan pasangannya ke Hindia-Belanda. Mereka yang tak punya banyak cuan, namun libido sudah tak tertahan, akan melampiaskan hasratnya kepada 'si istri Belanda'.

Masih bersumber dari novel Pramoedya, Wilam kembali menuturkan bahwa orang yang pertama kali memberikan nama Dutch Wife adalah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Thomas Stamford Raffles. Hal ini membuktikan orang Inggris, ketika menguasai Nusantara, meniru-niru kebiasaan orang Belanda.

Kebanggan Bung Karno

Presiden pertama Indonesia, Soekarno, sangat membanggakan eksistensi guling. Dirinya bahkan mengeklaim benda itu sebagai salah satu identitas bangsa, lantaran hanya Indonesia yang memilikinya.

"Kami lah satu-satunya bangsa di dunia yang mempunyai sejenis bantal yang dipergunakan sekadar untuk dirangkul. Di setiap tempat tidur orang Indonesia terdapat sebuah bantal sebagai kalang hulu dan sebuah lagi bantal kecil berbentuk bulat panjang yang dinamai guling," ujar sang Bapak Proklamator dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams.

Padahal, guling bukan cuma ada di Indonesia. Alat tidur serupa juga banyak dijumpai di negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur. Malahan, guling ala Asia Timur disinyalir memengaruhi eksistensi Dutch wife.

Melansir Dynamic Korea, guling di Asia Timur akrab dikenal dengan istilah jukbuin, chikufujin, atau zhufuren, yang dalam bahasa Indonesia disebut 'istri bambu'. Guling yang terbuat dari anyaman bambu ini setidaknya sudah ada sejak zaman Dinasti Goryeo, sebagaimana disebutkan dalam novel Story of The Bamboo Wife karya Yi Gok (1298-1351).

Pengaruh istri bambu terhadap istri Belanda juga bisa dilihat melalui definisi Oxford English Dictionary. Kamus ini mengartikan Dutch wife sebagai sebuah kerangka berlubang-lubang dari rotan yang digunakan di Hindia Belanda untuk sandaran anggota badan di tempat tidur.

Melekat dalam Memori Orang Eropa

Terlepas dari asal-usulnya, keberadaan guling menjadi memori yang tak terlupakan bagi orang Eropa yang pernah singgah di Hindia-Belanda. Sebagaimana yang dialami Horst Henry Geerken, orang Jerman yang tinggal di Indonesia selama 18 tahun.

Dalam bukunya yang berjudul A Magic Gecko, Geerken mengaku tak bisa terlelap tanpa guling, sekali pun dirinya sudah kembali ke negara asalnya. Menurutnya, kebiasaan memeluk guling di malam hari memberikan sensasi nyaman dan sejuk.

Guling sejatinya berguna untuk memberi sirkulasi udara secara bebas dan menyerap keringat di kaki, tulisnya.

Demikianlah sekilas sejarah mengenai eksistensi bantal guling, yang nampaknya tak bisa lepas dari pelukan orang Indonesia di malam hari. Kalau untuk Anda sendiri, apakah bisa terlelap tanpa teman tidur yang satu ini?

Editor


Komentar
Banner
Banner