Politik

Politik Uang Hadir Pada Masyarakat Bermoral Rendah

apahabar.com, BANJARMASIN – Pengamat politik dan kebijakan publik, Dr Taufik Arbain menyebutkan money politics (politik uang)…

Featured-Image
Ilustrasi money politics. Foto-Manado Post

bakabar.com, BANJARMASIN – Pengamat politik dan kebijakan publik, Dr Taufik Arbain menyebutkan money politics (politik uang) hadir pada masyarakat yang sakit dalam konteks elektoral. Sebab di sana ada penawaran dan permintaan yang masif.

“Sebab masyarakat maupun penyalur berada dalam pusaran rational choice (pilihan rasional) yang meletakan pilihan pada untung rugi, dan siapa dapat apa. Jadi Money politic hanya berlaku pada masyarakat yang secara moralrendah,” ungkapnya saat ditemui di kediamannya, Senin (25/2).

Pada suatu masyarakat, money politic bisa bermula dari para elit politik yang ingin mendapatkan kekuasaan secarainstant tanpa perlu bersilaturahmi, menawarkan gagasan, ide dan aspirasi pembangunan kepada publik.

Baca Juga:Masih Menunggu Tambahan Pasokan Surat Suara

Elit modelbegini mengesampingkan fungsi-fungsi partai politik yang diantaranya melakukan agregasi politik, dan pendidikan politik rakyat untuk mencapai kebaikan.

Tetapi bisa juga berawal dari masyarakat yang berada dalam kondisi kemiskinan, sehingga harga suara cukup dibayar dengan sembako dan kedermawanan para politisi. Yang parah, jika ada sekelompok masyarakat yang memang mendorong money politik dengan vulgar.

“Survei Banua Meter yang saya lakukan per- Oktober misalkan, menyebutkan hampir 58,3 % masyarakat masih berterima terhadap sembako, uang, bingkisan dan lainya ketika ditanyakan, apa pengharapan kehadiran dari tim sukses atau caleg jika datang berkunjung ke tempat anda.

Kita bisa memperhatikan misalnya, para caleg tanpa melakukan aktifitas susah payah berkeliling menawarkan ide dan gagasan, tiba-tiba dalam perhitungan suara dia mendapatkan 1 kursi. Ini patut dipertanyakan. Artinya tidak ada dalam rumus orang tanpa melakukan apa, tiba-tiba dapat apa,” imbuhnya.

Kasus-kasus penelingkungan begini kerap terjadi setiap pemilu dengan pola masif, terstruktur dan sistematik dan merubah pilihan publik. Apalagi misalnya menggunakan pola, satu tim mengamankan satu TPS dengan menguasai berapa suara. Jika 60 % misalkan dapat upah umroh atau berapa? terlebih dengan pola paket DPR RI, Provinsi, Kota/Kab hingga DPD dan pasangan Presiden.

Maka dari itu kemampuan para wasit seperti bawaslu dan jaringannya harus mampu mempetakan kawasan kawasan mana terjadi kerawanan money politic. Juga kemampuan untuk mempetakan caleg-caleg pada dapil mana saja yang berpotensi/ kecenderungan melakukan gerakan masif terstruktur dan sistemik melakukan money politic.

Sehingga bawaslu tidak terjebak pada regulasi menunggu laporan, tetapi sudah melakukan langkah psywar baik berupa pesan-pesan kepada pelaku money politic dan masyarakat yang akan menerima.

“Ibarat cara kepolisian ada langkah preventif yang dilakukan. Jadi bawaslu dan panwas sampai tingkat kecamatan, janganlah sekedar gerombolan pengawas yang dimobilisasi dan terstruktur, tetapi perannya hanya menunggu laporan. Apalagi beralasan, ” cari aman”, maka dipertanyakan niatnya sewaktu menjadi aktor-aktor pengawas pemilu,” kata Taufik.

Hanya saja menurutnya, sampai 50 hari menjelang pemilu, sangat jarang menemukan himbauan-himbauan Tolak Money Politic baik dari lembaga kampus maupun lembaga kemasyarakatan lainnya.

Baca Juga:Caleg Tak Tertib, Kembali Pasang APK Sembarangan

Seyogyanya ini bisa disosialisasikan, sehingga peran – peran himbuan sebagai preventif tidak hanya menjadi tanggung jawab Bawaslu dan KPUD tertapi kita semua.

Banyak cara para caleg dirinya mendapatkan akseptabilitas dan elektabilitas publik, apakah dia membangun strategi emosional berupa kedekatan kekerabatan, kedekatan dalam satu organisasi, etnis dan keturunan, atau rasionalitas menawarkan kemampuan dan kacakapan bisa mewakili dan menyalurkan aspirasi mereka.

Karena medan pertama para caleg adalah kemampuan dan kecakapan dia berada diantara masyarakat, kemudian baru masuk arena sebenar dalam arena legislasi.

“Tapi kalau kita mendapat caleg bapander kada bisa, jangkauan gagasan terbatas, ketemu cuma ketawa -ketawa, lalu terpilih dapat kursi ini model caleg yang perlu pertanyakan prosesnya, “pungkas Direktur Lembaga Survei Banua Meter ini.

Foto: Ahya Firmansyah
Editor: Syarif



Komentar
Banner
Banner