bakabar.com, BALIKPAPAN – Sidang perdana praperadilan yang diajukan tersangka pencabulan, Alex (bukan nama sebenarnya), yang seharusnya digelar Selasa (9/11) di Pengadilan Negeri Balikpapan, terpaksa ditunda.
Penundaan terpaksa dilakukan karena perwakilan Polda Kaltim tidak hadir dalam sidang tersebut.
Terkait hal itu, Kasubdit IV/Renakta Polda Kaltim AKBP I Made Subudi menyatakan jika urusan sidang ada di bagian Bidang Hukum Polda Kaltim (Bidkum) yang tidak hadir karena sedang menghadiri sidang lainnya.
Subudi pun turut menjawab keraguan pihak pengacara tersangka yang seakan tidak percaya dengan hasil penyelidikan polisi.
Subudi mengaku tak masalah dengan hal itu. Yang jelas saat sidang berjalan, pihaknya akan membuktikan semua itu di pengadilan. Soal hasil visum dan seprai yang terdapat noda sperma, polisi sudah melakukan verifikasi uji laboratorium forensik di Surabaya.
“Hasilnya pun mengarah milik tersangka. Intinya tidak masalah kalau disanggah. Kita lihat saja nanti,” katanya.
Sementara itu, pihak tersangka yakni Alex, melalui kuasa hukumnya, Suen Redy Nababan, angkat bicara.
Ia membeberkan sejumlah fakta yang membuktikan kliennya tidak bersalah dalam kasus dugaan pemerkosaan anak di bawah umur. Ia menuding kasus tersebut sarat manipulasi.
Dari keterangan yang dihimpun Suen Redy Nababan, dugaan pemerkosaan korban terjadi pada April 2020.
Kala itu, ibu korban, sebut saja Angel, ikut suaminya bekerja di luar daerah selama seminggu. Sementara putrinya tinggal di rumah Alex. Saat itulah Alex diduga melakukan pencabulan kepada korban. Namun Suen merasa kronologi yang dijelaskan itu janggal.
"Rumah klien kami selalu ramai. Ada istri, anak-anak, dan delapan cucunya. Anak itu (korban) tidur bersama cucu-cucu yang lain. Jadi, tidak mungkin tidak ada yang tahu jika anak itu dicabuli," katanya.
Bahkan Alex pun geram ketika mendengar cucunya dicabuli oleh seseorang. Alibi tersebut diperkuat lantaran Alex yang meminta agar korban divisum untuk kemudian melaporkannya ke polisi.
"Pertama kali klien kami mendengar cucunya diperkosa, klien kami minta agar korban di visum et repertum dan bersama-sama melaporkan kepada polisi,” tuturnya.
Menjawab soal barang bukti yang dipegang polisi yakni hasil visum et repertum yang menemukan kerusakan dan robek di selaput dara korban akibat benda tumpul dan seprei dengan bercak sperma, Suen menilai hal tersebut tidak bisa dijadikan barang bukti. Sebab, kata dia, bisa saja kerusakan selaput dara korban belum tentu akibat perbuatan Alex.
Pun halnya dengan sperma di seprai. Ada banyak orang bisa menghasilkan sperma. Terlebih kejadian itu terjadi pada April 2020 lalu. Namun baru dilaporkan pada Juli 2020.
"Artinya, ada dua bulan waktu jedanya. Jadi, jelas, segala kemungkinan yang lain bisa terjadi. Toh, kenapa juga tidak saat kejadian dilaporkan? Kami curiga ini ada permainan," kata Suen Redy Nababan.
Dia pun menyampaikan keterangan korban tidak bisa dijadikan alat bukti. Mengingat, korban masih berusia 9 tahun yang omongannya dinilai tidak valid.
Namun AKBP I Made Subudi dan Kuasa Hukum korban yakni Daeng Sapurah atau Ipung mengatakan hasil visum et repertum korban dan sperma di seprai telah diteliti di Pusat Laboratorium Foreni, Badan Reserse dan Kriminal, Mabes Polri Surabaya.
Hasilnya, sebut AKBP I Made Subudi, kerusakan di selaput dara Puspa dan sperma tersebut identik berasal dari Alex.
"Intinya, kami enggak mempermasalahkan jika semua bukti-bukti kami dibantah. Kita lihat saja nanti," tegas Made Subudi.
Mengenai keterangan korban tidak bisa jadi alat bukti, Ipung memberikan bantahan.
Penanganan anak berhadapan hukum (ABH) disebut tidak bisa disamakan dengan orang dewasa yang berurusan dengan hukum. Jika orang dewasa, memang keterangan anak tidak bisa menjadi alat bukti karena dasar hukumnya menggunakan KUHPidana.
Sedangkan ABH, kasusnya bersifat lex specialis, sehingga dasar hukumnya juga khusus yakni UU 11/2012 tentang Peradilan Anak.
Ipung memperjelasnya dengan menyebutkan bahwa kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak yang sudah menjadi kejahatan luar biasa setelah dikeluarkannya Perpres 1/2016 dan sudah menjadi UU 17/2016 yang khusus mengatur kejahatan seksual terhadap anak yaitu pasal 81 juncto 82 dan yang terkait UU 23/2002 dan UU 35/2014 tentang Perubahan Pertama yaitu perlindungan anak.
Penanganan kasus kekerasan anak juga diatur di UU 11/2016 tentang Perubahan Kedua UU 23/2002 tentang Perlindungan anak yang khusus mengatur perbuatan cabul atau persetubuhan terhadap anak di bawah umur.
"Mari kita bersama-sama bicara berdasarkan hukum. Dalam Undang-Undang tersebut, keterangan anak bisa menjadi alat bukti," pungkasnya.