Kalsel

Plang Aset Debitur, BRI Martapura Digugat Hingga MA

apahabar.com, MARTAPURA – Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Martapura digugat di tingkat kasasi Mahkamah Agung lantaran…

Featured-Image
BRI memasang plang segel di rumah M Mirza, Kamis (18/3) di Banjarbaru, sekitar pukul 10.30 Wita. Foto-Istimewa

bakabar.com, MARTAPURA – Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Martapura digugat di tingkat kasasi Mahkamah Agung lantaran dianggap melakukan perbuatan melawan hukum (PMH).

Ini setelah pihak BRI Martapura melakukan penyegelan dengan memasang plang pada dua aset rumah milik debitur, Muhammad Mirza, Kamis (18/3).

Padahal pada Rabu (17/3) malam, kata Mirza, ia dengan Pemimpin Cabang BRI Martapura Dwi Wahyu Kurniawan sudah sepakat berdamai secara lisan di sebuah tempat makan.

Mirza yang didampingi kuasa hukumnya, Supiansyah Darham menjelaskan kronologi perkara kliennya.

Sekitar tahun 2015, Mirza telah mengajukan kredit ke BRI Cabang Kalsel Rp 4 miliar, dengan jaminan berupa dua rumah dan satu minimarket yang berada di wilayah Banjarbaru.

Jika dinilai saat ini, kata Supiansyah, total harga aset tersebut Rp8 miliar.

Dua tahun berjalan, angsuran kredit lancar dan sudah terbayar sekitar Rp 1,5 miliar.

“Seiring berjalannya waktu, usaha klien saya mengalami kemerosotan sehingga angsuran terbatuk-batuk (macet),” kata Supiansyah Darham kepada bakabar.com, Jumat (19/3).

Kemudian, lanjut Supiansyah, kliennya meminta restrukturisasi kredit untuk meminta keringanan angsuran. Namun upaya tersebut tidak dikabulkan pihak BRI Martapura.

“Melalui mediasi, klien kami meminta pembayaran cash Rp 1 miliar ditolak, kemudian dinaikkan jadi 1,4 miliar, sampai meminta angsuran dibayar Rp 10 perbulan sambil menunggu aset-aset laku terjual. Namun upaya itu juga ditolak,” papar Supiansyah.

Per tanggal 31 Januari 2019, Mirza dengan kuasa hukumnya Supiansyah Darham secara resmi menggugat BRI Martapura ke Pengadilan Negeri (PN) Martapura, dengan perkara perbuatan melawan hukum.

Di antara petitum tindakan tergugat yang tidak memberikan salinan perjanjian kredit (akad kredit) pada penggugat adalah perbuatan melawan hukum, serta menyatakan kesanggupan penggugat untuk mengangsur sisa kredit macet Rp2,5 miliar setiap bulannya sebesar Rp10 juta.

"Dalam proses gugatan itu, pihak BRI juga melakukan gugatan kepada klien kami (gugatan rekonveksi),” ujar Supiansyah.

Supiansyah menjelaskan, ada 5 poin permohonan Pihak BRI Martapura, pertama menerima gugatannya. Kedua agar Mirza dinyatakan telah melakukan wanprestasi.

Poin ketiga, memerintahkan Mirza untuk melaksanakan ketentuan yang ada dalam klausul perjanjian kredit dalam hal mengosongkan bangunan yang dijadikan agunan untuk kemudian diserahkan kepada pembeli dan atau yang berhak menerimanya.

Poin keempat, menghukum Mirza untuk membayar uang paksa sebesar Rp 10 juta setiap harinya, apabila ia lalai memenuhi isi putusan ini. Poin kelima, menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dulu, meskipun ada perlawanan banding maupun kasasi.

Pada 18 Juli 2019, putusan PN Martapura keluar dengan nomor 6/Pdt.G/2019/PN Mtp. Dalam putusan itu, majelis hakim menolak seluruh gugatan Mirza, dan mengabulkan satu poin permohonan BRI Martapura, yakni menyatakan si penggugat M Mirza telah melakukan wanprestasi atau ingkar janji.

"Poin lainnya telah ditolak PN Martapura. Bahkan perkara ini sampai ke tingkat banding di Pengadilan Tinggi Banjarmasin,” terangnya.
30 Oktober 2019, putasan Pengadilan Tinggi Banjamasin keluar dengan nomor 71/PDT/2019/PT BJM.

“Putusan Pengadilan Tinggi sama, tidak beda. Malah menguatkan putusan pertama di PN Martapura,” imbuh Supiansyah.

Ia melanjutkan, tidak ada putusan pengadilan yang menyetujui atau mengeksekusi pengosongan bangunan.

Menurutnya, jika pihak BRI melakukan penyegelan dan minta bangunan dikosongkan, berarti BRI sudah melakukan tindakan yang bertolak belakang dengan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, yang merupakan perbuatan melawan hukum.

“Apalagi kasus ini masih berproses di Mahkamah Agung. Mengapa tiba-tiba pihak BRI memasang plang di rumah klien kami, bahkan dikawal kejaksaan dan polisi dengan senjata lengkap. Saya tanya, ternyata mereka tidak dapat menunjukkan surat tugas,” tandas Supiansyah.

Atas peristiwa tersebut, Supiansyah Darham kembali menggugat pihak BRI Martapura ke PN Martapura atas perbuatan melawan hukum. Alhasil, perkara ini bergulir di dua lembaga peradilan, yakni kasasi di MA dan pengadilan negeri.

"Saya sudah mendaftarkan gugatan lagi ke pengadilan negeri atas tindakan perbuatan melawan hukum," ucapnya.

Klarifikasi Pimpinan Bank BRI Martapura

Terpisah, Pemimpin Cabang BRI Martapura Dwi Wahyu Kurniawan ketika dikonfirmasi menjelaskan, pemasangan plang tidak ada hubungannya dengan perkara gugatan yang diajukan pihak Muhammad Mirza.

"Pemasangan plang untuk memenuhi persyaratan lelang. Ini legal disaksikan pihak kejaksaan dan kepolisian. Jadi, antara pemasangan plang dan gugatan yang diajukan penggugat atas nama Mirza ke kasasi dan belum ada inkrah, itu tidak ada hubungannya," katanya via seluler.

Dwi Wahyu melanjutkan, bangunan yang akan dilelang merupakan barang jaminan saat Mirza melakukan pinjaman kredit di BRI Martapura.

Adanya pemasangan plang, jelas Dwi Wahyu, karena bank bisa memasuki aset yang dijaminkan. Selain itu, katanya lagi, bank berhak menjual barang jaminan.

“Nilai pinjaman sebesar Rp4 miliar, sebagian telah dibayarkan. Namun sejak 2017 sampai sekarang Mirza tidak melakukan pembayaran. Ini dianggap wanprestasi, tidak memenuhi perjanjian yang disepakati,” katanya.

Upaya Mirza untuk membayar Rp10 juta per bulan, Dwi Wahyu menilai tak sesuai dengan nilai pinjaman.

Menurutnya, pihak BRI Martapura sudah mengirimkan surat dan menyampaikan penawaran kepada Mirza agar bisa melunasi sisa pembayaran dalam waktu satu bulan. Denda dan bunga dihapuskan. Dengan catatan, gugatan di Mahkamah Agung dicabut Mirza.

"Penawaran itu masih berlaku. Tapi, tampaknya Mirza hanya mengulur waktu menunda kewajiban dan tidak ada itikad baik," ucapnya.



Komentar
Banner
Banner