Beragam cara dilakukan para perempuan adat Suku Balik agar kehidupan mereka tidak terlempar dari kampung halaman. Yati Dahlia, menjadi contoh kalau perjuangan tak melulu harus dengan teriakan atau turun ke jalan. Di tengah pembangunan IKN Nusantara yang kian ripuh dan buru-buru, dia memilih bertahan sembari membangun hidup yang layak dan merawat kepingan-kepingan budaya leluhur agak tidak semakin luntur.
Oleh: RIYAD DAFHI R, Sepaku.
MENJELANG SIANG di hari Kamis, 9 Maret 2023, paparan sinar matahari terasa begitu terik dan menyengat di wilayah Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Aktivitas pembukaan lahan yang terlihat pada sisi kanan dan kiri di sepanjang jalan poros Sepaku, membuat suasana di kawasan calon Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara itu, kian terasa gersang.
"Beginilah kondisi kampungku beberapa tahun terakhir," kata Yati Dahlia.
Yati Dahlia, akrab disapa Dahlia, merupakan perempuan Suku Balik, masyarakat adat asli yang mendiami kawasan IKN Nusantara.
Saya bertemu dengan Dahlia di tempat tinggalnya di kawasan Sepaku 4 atau yang saat ini bernama Desa Bumi Harapan. Hanya perlu waktu kurang lebih 10 menit untuk sampai ke Titik Nol IKN Nusantara.
Jika datang dari arah Titik Nol IKN Nusantara, kediaman Dahlia berada di samping kanan jalan poros Sepaku.
Di rumah dengan bangunan semi permanen itu, Dahlia tinggal bersama suaminya, Ananda Daniel Tuatara beserta empat anak perempuannya.
Di depan rumah itu, Dahlia membuka warung sederhana. Menjual makanan dan kebutuhan pokok kecil-kecilan, untuk jadi salah satu penunjang kehidupan keluarganya sehari-hari.
Meski terbilang kecil, warung Dahlia punya banyak pelanggan. Kebanyakan pekerja kebun sawit dan pekerja proyek yang perlu makan atau membutuhkan bahan bakar minyak (BBM) untuk operasional kendaraan mereka.
Dari warung Dahlia, kendaraan pengangkut atau truk berdimensi besar yang berlalu-lalang dengan buru-buru jadi pemandangan biasa setiap harinya. Kondisi itu disebut makin ripuh setelah adanya proyek IKN Nusantara.
"Kondisi sekarang sangat bising. Naura atau Naira kadang bergantian saya titipkan ke rumah orang tua, karena mereka tidak bisa tidur kalau di sini," ujar Dahlia menceritakan perihal dua buah hati kembarnya yang masih berusia balita.
Tak hanya memekakkan telinga, truk-truk besar yang mayoritas mengangkut material untuk proyek IKN Nusantara itu, turut menghasilkan polusi yang keluar dari saluran pembuangannya, juga debu-debu jalanan yang dibuatnya berterbangan.
"Beberapa waktu belakangan ini, banyak warga yang mengalami batuk, tidak sembuh-sembuh," ceritanya.
Situasi yang terjadi kini sudah jadi kekhawatiran Dahlia sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan wilayah Sepaku menjadi ibu kota negara baru pada tahun 2019 silam.
"Sekarang bukan lagi khawatir. Kesemrawutan ini sudah jadi kenyataan," keluhnya.
Dahlia sejatinya pernah menggugat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Ibu Kota Negara. Uji formil diajukannya ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena khawatir rumahnya dan warga lain tergusur.
Selain itu, dia merasa kalau, proses pembahasan UU IKN yang sangat vital bagi negara itu, terkesan terburu-buru, serta sangat kurang keikutsertaan oleh kalangan masyarakat. Namun upaya perempuan berusia 32 tahun itu sia-sia. Permohonannya ditolak MK.
Kini tempat tinggal Dahlia dan sekitar 200 orang warga Suku Balik di Sepaku pun terancam tergusur. Jika itu terjadi, mereka akan direlokasi ke tempat lain. Tak mudah bagi Dahlia memikirkan hal tersebut. Membayangkan akan dipindah seperti momok tersendiri untuknya.
"Saya tentu tidak mau. Mau direlokasi ke mana? Kalau ke hutan atau daerah yang di dalam lagi, untuk apa? Gimana saya bisa berusaha?" gumamnya.
"Bagaimana saya menyekolahkan anak-anak? Mereka pasti perlu beradaptasi lagi di tempat baru. Akan seperti apa psikologis mereka? Pemerintah memang ndak pernah mikir," sergahnya cemas.
Tak ayal, Dahlia dan sebagian besar warga kini masih memilih untuk bertahan. Demi tanah kelahiran, beragam upaya mereka lakukan. Dari protes-advokasi, hingga usaha menghidupkan budaya dan membangun kehidupan.
Gadis Balik
Di benak Dahlia, hingar-bingar pembangunan IKN, tak menjadi sesuatu yang akan membawa kemaslahatan bagi warga Suku Balik.
Narasi-narasi IKN akan mengundang kesejahteraan untuk warga lokal yang digaungkan oleh pemerintah dinilai hanya sebatas ilusi. Bukan diperhatikan, mereka justru bakal kian terasingkan.
Sebagai penduduk di wilayah yang dulunya dianggap daerah pedalaman, Suku Balik di Sepaku, selama ini mengalami kesenjangan terkait akses pendidikan. Mayoritas dari mereka hanya lulusan strata SMP, paling tinggi SMA.
Sedang peluang pekerjaan di wilayah yang berstatus ibu kota negara pada umumnya, akan memerlukan orang-orang pintar yang memiliki ijazah dengan lulusan sekolah tinggi.
"Maka bakal makin tersingkirkanlah warga kami (Suku Balik)," sebutnya.
Masih dalam tahap pembangunan saja, kesan sikap abai pemerintah terhadap warga lokal sudah mulai terasa.
Misalnya, harga tanah warga di Sepaku yang dipatok pemerintah hanya berkisar Rp250 ribu - Rp350 ribu/m², dirasa Dahlia sangat merugikan masyarakat lokal.
Dahlia sempat menuntut agar tanah mereka dihargai Rp2 juta - Rp3 juta/m², mengingat tanah di tempat lain sudah sangat tinggi. Namun realisasi dari tuntutan ini hingga kini belum juga ada kejelasan.
Baca Juga: Bolum Bawe Balik: Ketika Perempuan Adat di IKN Menolak Tergusur dari Tanah Leluhur [Bagian 1]
Contoh minimnya perhatian pemerintah lain, yakni ebanyakan pekerja di kantor-kantor proyek IKN, kata Dahlia, datang dari luar daerah. Masyarakat lokal hanya diperlukan untuk melakukan pekerjaan kasar.
Kemudian, ujar Dahlia, kantin-kantin yang dibuka untuk menyediakan makan para pekerja di dalam proyek, kini semua telah diisi oleh warga-warga pendatang.
"Padahal mereka (Otorita IKN), pernah berjanji akan memberdayakan warga lokal yang berdagang, tapi nyatanya apa? Semua kantin itu diisi oleh orang luar," ujar Dahlia dengan nada sedikit meninggi.
Tapi sekarang Dahlia sudah mulai jenuh untuk 'berteriak', menuntut atau menggugat kebijakan pembangunan IKN yang arusnya kian deras di tanah kelahirannya itu.
Selain harus memikirkan pertumbuhan dan pendidikan keempat anaknya, Dahlia bersama suami, memilih fokus untuk membangun kemandirian finansial.
Dia pun menginisiasi komunitas Ngelok Balik (Gadis Balik). Mengajak serta perempuan-perempuan yang satu pemikiran dengannya, untuk mengerjakan hal yang bisa dilakukan. Seperti menyediakan jasa katering dan laundry atau penatu.
Sementara waktu ini, usaha ini dirasa Dahlia bisa lebih bermanfaat sebagai satu jalan agar dia dan lima orang kawan seperjuangannya di Ngelok Balik bisa berdaya kehidupannya.
Dahlia berharap, langkahnya ini bisa diikuti oleh warga-warga lokal lainnya, agar mereka mampu memberikan nafkah yang layak bagi anak-anaknya dan berdikari secara ekonomi di kemudian hari.
"Kita mau tunjukan, ini lho, kita ada kerja nyata, bisa bersaing juga secara kemampuan," tuturnya.
Membangun Kehidupan
Di samping kerepotan mengurus rumah tangga dan komunitas Ngelok Balik, Dahlia juga sibuk mengajarkan bahasa Balik dan tari Ronggeng Balik, kepingan budaya warisan leluhurnya.
Dahlia rela mengabdikan diri mengajar tari di sanggar miliknya, Uwat Bolum (Membangun Kehidupan). Hal itu dilakukannya, karena takut jati diri Suku Balik akan kian tergerus.
Mengajarkan tari Ronggeng kepada anak-anak generasi penerus di kampungnya, turut menjadi upaya Dahlia melestarikan dan mengenalkan eksistensi adat Balik di tengah ambisi pembangunan IKN.
Pada Jumat, 10 Maret 2023, Dahlia dan anak didiknya di Uwat Bolum diundang untuk tampil menari di rangkaian hari jadi Kabupaten Penajam Paser Utara.
Bersama suaminya, Ananda Daniel Tuatara, Dahlia berangkat dari rumah mereka dengan mengendarai mobil jenis minibus.
Mereka membawa lima orang anak didik dari sanggar Uwat Bolum, berangkat menuju Dome Islamic Center Penajam Paser Utara, tempat mereka akan tampil menari.
Jarak dari Kecamatan Sepaku menuju pusat kota yang kini dijuluki Serambi Nusantara itu terpaut kurang lebih 70 kilometer. Bisa ditempuh dengan estimasi waktu dua jam.
Saya bertemu Dahlia sekitar pukul 15.30 waktu setempat. Saat itu, Dahlia sudah berada di balik panggung, sibuk mengarahkan lima anak didiknya yang sedang tegang, bersiap tampil menari di hadapan ratusan pasang mata penonton.
"Kalo pas nari, mukanya jangan tegang. Senyum ya!" seru Dahlia.
Giliran mereka pun tiba. Di atas panggung, dengan diiringi alunan musik gambus, kelimanya terlihat luwes, bergerak dengan indah, menari Ronggeng.
"Begitulah tarian khas suku kami," kata Dahlia usai mendampingi anak didiknya menari.
Dahlia mengingat, dirinya pertama kali dikenalkan tarian Ronggeng Balik sekitar tahun 2003 oleh bibinya.
Sebagai bocah berusia belasan tahun, waktu itu Dahlia merasa kesenangan. Karena baru saja mendapatkan ruang bermain baru.
Dari cerita bibinya kepada Dahlia, konon katanya, pada masa silam, Ronggeng Balik bisa dimainkan untuk ritual penyembuhan orang yang yang sedang sakit. Diiringi pembacaan doa dan pemberian ramuan tradisional yang dilakukan oleh orang yang dituakan.
Ronggeng Balik merupakan tarian yang ditampilkan oleh penari yang juga berdendang dengan bahasa daerah Suku Balik.
Dengan berlatih tari Ronggeng Balik, maka para penari juga sekaligus akan belajar menuturkan bahasa Balik.
Setelah hampir 20 tahun berlalu sejak pertama kali dikenalkan dengan tari khas Balik, Dahlia membulatkan tekad untuk menjaga kearifan lokal adat leluhurnya itu.
Dengan merawat kearifan lokal, Dahlia berharap, identitas Suku Balik akan tetap ada dan bisa diakui keberadaannya oleh negara suatu saat nanti.
Perjalanan Masih Panjang
Sosiolog Universitas Mulawarman, Sri Murlianti menilai, perjuangan yang dilakukan oleh Dahlia merupakan sesuatu yang patut diapresiasi serta mesti didukung oleh semua elemen masyarakat.
Pasalnya, di antara ratusan warga Suku Balik, Dahlia, kata Sri Murlianti, menjadi segelintir orang yang berusaha sekuat tenaga menghidupkan kembali budaya-budaya leluhurnya.
"Perjuangan Dahlia sangat berat, karena pada diri orang-orang Balik sendiri telah lama diliputi rasa minder untuk menunjukan budayanya, imbas dari masifnya budaya yang dibawa warga pendatang," kata dosen Program Studi Pembangunan Sosial Universitas Mulawarman itu.
Dari perspektif Sri Murlianti, kearifan lokal dari Suku Balik memang telah banyak yang tergerus, seperti halnya: ritual penyembuhan, ritual membuka ladang serta resep-resep obat herbal.
Budaya-budaya itu luntur seiring habisnya ruang hidup Suku Balik yang notabene adalah masyarakat yang bergantung penuh terhadap kondisi alam, seperti hutan dan sungai.
Di sisi lain, sangat minimnya dukungan daripada pemerintah setempat menjadi salah satu faktor hilangnya budaya warga Suku Balik.
Minornya kontribusi negara bahkan tidak hanya terjadi sebelum IKN, tapi ketika IKN mulai merambah wilayah Sepaku dan masyarakat Suku Balik mulai terekspose pun, pemerintah masih kerap terkesan tak acuh.
Pemerintah, sebut Sri, jarang memberi wadah untuk Suku Balik merepresentasikan budayanya.
"Ketika ada acara-acara kenegaraan di Sepaku, pemerintah masih kerap memakai kesenian-kesenian suku lain yang bukan asli dari sana, seperti: tarian Dayak dan komunitas adat lain yang tinggal di wilayah Paser," paparnya.
"Meski sama sekali tak buruk, tetapi terkesan tidak menghargai kesenian Suku Balik yang dalam sejarahnya telah lebih lama tinggal di Sepaku," imbuhnya.
Melihat perjuangan Dahlia dan warga Suku Balik lainnya, Sri sangat berharap, agar pemerintah bisa segera mengkaji hal-hal yang menyangkut dengan aturan hukum yang bisa memayungi legalitas Suku Balik sebagai Indigineous People (penduduk asli) di Sepaku.
Saran Sri, dengan adanya IKN, pemerintah mestinya segera melakukan inclave terhadap wilayah kelola masyarakat adat yang tersisa.
Pemerintah juga didorongnya untuk berkonsultasi mendalam dengan warga masyarakat adat di Sepaku untuk membuat perencanaan kebijakan yang berpihak pada penduduk asli di sana.
"Tak boleh ada relokasi sepihak, terlebih dengan cara memaksa," tekan Sri.
Jika masyarakat adat menolak direlokasi, pemerintah harus punya satu formula kebijakan khusus untuk merawat dan menghidupkan komunitas-komunitas adat di Sepaku, sehingga IKN menjadi wilayah atau satu ruang inklusif untuk hidup bersama-sama. (Bersambung)