Negara mempunyai fungsi melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, tak terkecuali masyarakat adat. Niat pemerintah ingin memajukan kesejahteraan masyarakat adat -namun tak kunjung mengakui dan melindungi hak sebagian masyarakat yang telah hadir bahkan sebelum negara ini dideklarasikan- bak omong kosong belaka.
bakabar.com, BANJARMASIN
Dukungan Save Meratus lewat pengakuan hak ulayat terus mengalir. Masyarakat Adat Dayak Nasional (MADN) siap menyokong perjuangan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di tanah Meratus.
Tersendatnya Rancangan Undang-Undang (UU) Masyarakat Adat di tingkat pusat, tak mengurangi rasa optimisme itu. Mereka yakin Hutan Adat di Kalsel bakal terwujud seiring disahkannya UU tentang Masyarakat Adat.
Di Kalsel sendiri, angin segar tengah berembus ke masyarakat adat setelah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalsel mengamini permohonan beberapa lembaga masyarakat adat agar legislatif setempat membidani lahirnya Peraturan Daerah (Perda) tentang Masyarakat Hutan Adat (MHA).
Namun, entah sampai kapan Perda tersebut akan diketok palu oleh DPRD Kalsel mengingat, dasar hukumnya di tingkat pusat saja masih mengendap di DPR RI.
Yang jadi pertanyaan, akankah perjuangan masyarakat adat Dayak Meratus untuk memiliki payung hukum beranjak membaik?
Di Meratus, Masyarakat Adat menjadi "Benteng Terakhir" perlindungan ekosistem di sana
UUD 1945 melalui Pasal 18B (2) dan 28I (3) sudah mengakui keberadaan Masyarakat Adat, dan memandatkan untuk menghadirkan UU khusus yang melindungi dan menghormati hak Masyarakat Adat.
Kehadiran RUU Masyarakat Adat ini bisa dimaknai sebagai wujud negara melunasi utang konstitusi, dan manifestasi kehadiran negara di tengah Masyarakat Adat.
Sekalipun belum memiliki dasar hukum yang jelas, masyarakat adat mesti mempunyai payung hukum agar negara mau mengakui sepenuhnya hak-hak masyarakat adat, baik hak atas tanah maupun yang berada di atasnya.
Sekretaris Masyarakat Adat Dayak Nasional (MADN), Yakobus Kumis optimis, RUU bakal disahkan menjadi UU.
16 Juni 2013 lalu, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah membacakan keputusan dari Judicial Review terhadap UU 41/1999 tentang Kehutanan yang diajukan oleh AMAN dan dua komunitas masyarakat adat.
Dalam putusan No. 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara.
“Dari fatwa ini, sebenarnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan kepastian hukum atau legitimasi kepada masyarakat adat hak atas hutan dan tanah,” ucapnya kepada bakabar.com.
Masalahnya sekarang, Yakobus mengatakan DPR RI terlalu lama dalam menyusun RUU tentang masyarakat adat, meski Fatwa Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 dinilai kredibel sebagai acuan dalam penyusunan Perda tentang MHA.
Kemudian, dikaitkan dengan Undang-Undang tentang Pokok Agraria dan Undang-Undang tentang Pemerintah serta regulasi lainnya.
Asalkan telah memenuhi unsur hutan adat seperti masyarakat adat, lembaga adat, tanah adat, dan yang pasti masyarakat masih mengakui keberadaan adat istiadat.
Masyarakat Adat Menanti Kehadiran Negara
Yakobus Kumis menilai sebelum negara merdeka, masyarakat adat sudah lebih dulu berada di kawasan hutan. Bahkan, dalam keseharian, masyarakat adat telah bergantung hidup terhadap alam.
Masyarakat adat memanfaatkan kekayaan alam hanya untuk menopang kehidupannya, bukan untuk tujuan lain. Apalagi, memperkaya diri.
Sering kali, sebuah perusahaan begitu mudah mengambil alih hak-hak masyarakat adat dengan bermodalkan selembar kertas dari pemerintah.
Padahal, selama ribuan tahun masyarakat adat telah mengelola hutan dengan berbagai kearifan lokalnya.
Dari segi ketidakadilan tersebut, Fatwa Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-X/2012 dikeluarkan.
Yakobus menuturkan, dari masa ke masa masyarakat adat kian terkesampingkan. Lantaran, hak-hak masyarakat adat tidak diperhatikan oleh negara.
Sedangkan, masyarakat adat merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Posisi masyarakat adat pun dinilai lemah.
Masyarakat adat tidak mempunyai pemegang kebijakan di pusat, tidak mempunyai modal, dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup. Oleh sebab itu, negara harus hadir menguatkan masyarakat adat.
Negara mempunyai fungsi melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, tak terkecuali masyarakat adat.
Pemerintah ingin memajukan kesejahteraan masyarakat adat, sedangkan di sisi lain, hak-hak masyarakat adat adat belum mendapatkan pengakuan dari negara sama dengan omong kosong.
Yakobus mengungkapkan, masyarakat Dayak sempat kecewa dengan kinerja DPR RI, lantaran terlalu lamban dalam menyelesaikan RUU Masyarakat Adat.
Padahal, regulasi tersebut sebagai Patih hukum dan legitimasi masyarakat adat.
Ia mempertanyakan alasan logis dari legislatif, mengapa sampai hari ini RUU tentang Masyarakat Adat tak kunjung diketok palu.
Pihaknya mengaku sudah melayangkan surat audiensi dengan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Namun sampai sejauh ini belum ada balasan dari istana untuk membahas perihal tersebut.
Berdasarkan data yang dihimpun bakabar.com melalui artikel yang ditulis oleh salah seorang Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Yayan Hidayat yang diterbitkan oleh detik.com, dijelaskan bahwa RUU Masyarakat Adat bukanlah sesuatu yang baru.
Pada periode DPR 2009-2014, pertama kali sejak Indonesia merdeka, politik legislasi RUU terkait pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat diakomodasi dalam program legislasi nasional. Sayangnya, gagal menjadi UU.
Kegagalan ini karena pemerintah tak serius dalam rapat-rapat pembahasan mendalam mengenai kesepahaman dan substansi pada RUU Masyarakat Adat.
Diskursus mengenai RUU Masyarakat Adat ini kembali dibangun pasca Presiden Joko Widodo terpilih pada 2014, menuntut komitmen untuk mendukung hak-hak Masyarakat Adat yang tertuang dalam Nawa Cita.
Pada 2016,draftyang dibahas di DPR sudah hampir masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tetapi kemudian tidak berjalan lebih jauh.
Secercah harapan kembali muncul pada 2017 dan 2018. RUU Masyarakat Adat sudah masuk tahap pembahasan dengan pemerintah setelah melalui proses yang panjang pula di DPR.
Presiden sudah mengeluarkan Surat Perintah Presiden dan memandatkan 5 (lima) Kementerian yang ditunjuk untuk membahas ini secara mendalam dengan DPR, yakni Kemendagri, KLHK, Kementrian ATR, Kemendes, dan Kemenkumham.
Alih-alih mengakui,draftRUU Masyarakat Adat yang ada saat ini justru tersirat mengandung semangat untuk menghapus keberadaan Masyarakat Adat dengan munculnya beberapa ketentuan.
Antara lain kewenangan pemerintah untuk mengevaluasi Masyarakat Adat, dan adanya prosedur penetapan Masyarakat Adat yang sulit dijangkau oleh Masyarakat Adat dengan ketentuan bahwa penetapan Masyarakat Adat dilakukan oleh Menteri, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri.
Soal ini, Ketua AMAN Kalsel Palmi Jaya mendukung penuh jika kewenangan penentuan hak adat dialihkan ke daerah melihat banyaknya dalih pemerintah setempat dalam mengakui hak adat.
“Di daerah di tingkat kabupaten proses yang berjalan sangat lamban, bahkan bisa dibilang mengalami jalan buntu karena banyak alasan di pihak legislatif, mulai dari dasar hukum, tidak berani karena masih ada yang lebih berwenanang (pusat), tidak ada anggaran dan banyak lagi. Kami kecewa mereka (DPR) yang kami pilih ternyata melupakan usulan masyarakat adat. Kalaupun tidak ada pengakuan dari pemerintah kami akan terus mempertahankan apa yg menjadi hak kami. Bagi kami alam adalah bagian terpenting dalam hidup,” ujarnya,
Penulis: Muhammad Roby
Editor: Fariz Fadhillah