bakabar.com, BANJARMASIN – Terungkapnya kasus pencabulan empat santriwati di Pondok Pesantren Kecamatan Limpasu, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) menghebohkan warga Kalimantan Selatan. Sebabnya, aksi bejat itu diduga dilakukan oleh AJM (61) yang tak lain pengasuh ponpes tersebut.
AJM kini sudah dibui dan dijerat Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya 15 tahun penjara.
Pengamat hukum pidana dari Universitas Lambung Mangkurat, Mispansyah menilai, tak menutup kemungkinan AJM dapat dikenakan hukuman yang lebih berat.
Apabila pelaku berstatus sebagai orang tua, wali, dan pendidik (guru), pidananya harus ditambah sepertiga dari ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara. Itu disebutkan dalam asas hukum pidana di buku pertama Bab 1 sampai 8 KUHP.
“Kalau dilakukan oleh oknum guru atau oknum pimpinan pondok pesantren, itu ada pemberatan pidana ditambah 1/3 dari pidana pokok,” ujarnya saat dihubungi bakabar.com, Sabtu (1/6).
Selain itu, ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum ULM ini mengatakan pelaku bisa dikenakan hukuman tambahan berupa kebiri.
Merujuk pada Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2016 tentang perubahan kedua atas UU Perlindungan Anak.
Adapun dalam kedua ayat di sana, pelaku pencabulan yang bisa dihukum kebiri adalah pelaku yang berstatus residivis untuk kasus yang sama.
Selain itu, pelaku juga menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, dan terganggunya atau hilangnya fungsi reproduksi.
Dari dua unsur tadi, menurut dia, AJM telah memenuhi syarat yang diisyaratkan dalam pasal tersebut untuk dijatuhkan hukuman kebiri kimia.
“Karena jumlah korbannya lebih dari satu anak,” kata dia.
Kemudian, semua itu akan bergantung lagi dalam fakta-fakta persidangan mengenai jumlah korban dari dasar putusan hakim.
“Kembali keputusan hakim nantinya, karena itu merupakan wilayah kewenangan hakim terkuat kejahatan seksual terhadap anak,” bebernya.
Dirinya berharap keluarga korban terus mengawal proses persidangan yang menimpa buah hatinya.
Sebab kasus kekerasan seksual umumnya sulit terungkap mengingat pihak korban merasa malu atau pelaku merupakan orang terdekat yang diseganinya.
Sementara itu, Pengamat Hukum Pidana FH ULM, Daddy Fahmanadie meminta aspek keadilan korban, bahkan pelaku tetap harus diutamakan.
“Masing-masing hak korban dan tersangka terlindungi hal ini untuk menjaga asas profesionalitas penegakan hukum atas suatu tindak pidana,” terang dia.
Perlu diberi atensi khusus oleh aparat penegak hukum, mengingat kasus ini melibatkan korban di bawah umur. Masing-masing korban, diketahui adalah KA (12) asal Barabai, TA (8) asal Kubar, Kaltim, SL (16) dari Awayan dan SR (19) asal Tamban.
“Pastinya ketika ada cukup bukti dalam suatu perkara pidana maka secara hukum pidana proses penentuan status hukum terhadap oknum pelaku sudah bisa dilakukan sebagai tersangka dan bisa saja kemudian dilimpahkan ke pengadilan melalui P21 ditangani kejaksaan tetapi bisa saja,” ujarnya.
Di sisi lain, kasus pencabulan terhadap 4 santriwati ini mulai memasuki babak baru. Polisi membuka kemungkinan adanya korban lain.
Sebab, sempat berusaha ditutup-tutupi oleh AJM, polisi mendapati keterangan pelaku selalu berubah-ubah selama menjalani pemeriksaan.
"Tidak menutup kemungkinan masih ada lagi korban lainnya," kata Kapolres, Sabana Atmojo melalui Kasat Reskrim, Iptu Sandi, Jum'at (31/5).
Ditanyai lebih dalam seputar perkembangan kasus, Sandi enggan berkomentar banyak.
Namun dirinya memastikan tim Reskrim sedang menggelar investigasi mendalam terkait indikasi adanya korban lain.
Sepanjang pemeriksaan bergulir, polisi belum berpikir mendalami seputar kejiwaan pelaku. Dasarnya, alat bukti dalam kasus pencabulan ini sudah mencukupi.
"Hasil penyidikan beberapa bukti, AJM terbukti melakukan tindak pidana pencabulan," kata Sandi
Kemarin, penyidik dari Satreskrim Polres HST memanggil kedua korban, yakni KA (12) dan TA (8) untuk dipertemukan dengan AJM. Terkait hasil pertemuan, lagi-lagi perwira polisi berpangkat dua balok itu bungkam.
"Memang benar," kata Sandi
Namun, Khairullah (40) atau Uwah, ayah dari salah satu korban menuturkan, korban membenarkan jika AJM adalah pelakunya saat dipertemukan tadi.
Polisi, kata Uwah, juga meminta baju pemberian tersangka kepada korban sebagai barang bukti tambahan.
"Cuma baju warna merah yang dikenakan TA (9) saat pencabulan terjadi," kata Uwah.
Sesuai hasil pemeriksaan sementara, Uwah tak menampik kemungkinan adanya korban lain dalam kasus ini.
"Kasus ini tetap akan kami kawal jika perlu sampai Polda dan Mabes Polri Komnas anak, Kementerian serta Presiden," jelas dia.
Pada 9 Mei 2019, Polres HST telah menerima laporan tindakan tak senonoh pemuka agama itu. Ditindaklanjuti dengan pemeriksaan, berujung penahanan oknum pengasuh ponpes itu.
Saat kasus ini dikembangkan, hasil visum dari TA membenarkan jika bocah malang itu sempat mengalami kekerasan seksual.
Belakangan, Uwah pun turut diperiksa dan dimintai keterangan sebanyak tiga kali. Lamanya, proses terhadap penyelidikan sempat dipertanyakan Uwah.
Sementara, jauh sebelum kasus ini mencuat ke permukaan, AJM sendiri yang tak lain sebagai pelaku mengupayakan jalan damai.
Berdasarkan keterangan dari pengajar ponpes itu, LH dan HN, menerima laporan santrinya tersebut terkait tindakan pelecahan dan pencabulan oleh AJM.
Tak berani melapor ke polisi, pengajar di ponpes itu menceritakan kejadian tersebut kepada masyarakat.
Atas inisiatif masyarakat, kasus pencabulan ini akhirnya dilaporkan ke Polsek setempat yang akhirnya diminta pertimbangan Dinas terkait di HST.
"Hasilnya mengecewakan, karena diminta diselesaikan secara kekeluargaan saja dengan alasan menyangkut nama baik ponpes," kata LH dan HN, kala itu kepada media ini.
Baca Juga: Pencabulan di Ponpes Limpasu HST, Keterangan Pelaku Selalu Berubah-ubah
Baca Juga: Kasus Pencabulan di Ponpes Limpasu HST Sempat Ditutup-tutupi
Reporter: Bahaudin Qusairi
Editor: Fariz Fadhillah