Histori

Pena Tajam Tirto Adhi Soerajo yang 'Menusuk' Hidupnya Sendiri

Tajamnya pena Tirto Adhi Soerajo membuatnya berulang kali diseret ke meja hijau, bahkan diasingkan.

Featured-Image
Tajamnya pena Tirto Adhi Soerajo lewat Medan Prijaji menghantarkannya pada akhir tragis (Foto: Net)

bakabar.com, JAKARTA - Masih lekat dalam ingatan, betapa beringas lagi arogan petugas keamanan yang memperlakukan jurnalis semena-mena kala meliput demonstrasi penolakan UU Omnibus Law pada 2020 lalu. 

Para pewarta ditendang, dipukul, hingga dipaksa menyerahkan memori kamera yang berisi laporan kejadian kala itu. Malahan, salah satu di antara mereka ada yang sampai ditahan di Polda Metro Jaya.

Penahanan dan diskriminasi yang demikian rupanya juga pernah dirasakan pewarta kawakan Indonesia, Tirto Adhi Soerjo. Sosok yang kali pertama mencetuskan surat kabar Medan Prijaji itu sedikitnya sudah merasakan pengasingan di daerah orang.

Tajamnya pena Tirto membuatnya berulang kali diseret ke meja hijau. Sebabnya, para pejabat kolonial tak senang dengan kelakuan sang jurnalis yang sering menerapkan jurnalisme advokasi: membela kaum tertindas melalui jurnalistik.

Melalui Medan Prijaji edisi 1909, misalnya, Tirto membongkar persekongkolan pemilihan lurah di Purworejo yang disinyalir diotaki seorang pejabat daerah, A. Simon. Dalam tulisannya, dia bahkan mengumpat sang pejabat dengan sebutan snot aap atau ‘monyet ingusan.’

Simon merasa nama baiknya dicemarkan. Dia lantas membawa perkara ini ke ranah hukum, dan tentu saja, majelis hakim berpihak padanya. Tirto pun dijatuhi hukuman pengasingan ke Teluk Betung, Lampung, selama dua bulan.

Alih-alih kapok, pena Tirto malah makin tajam. Nyalinya kian membara, dirinya tak segan-segan mengkritik pejabat yang sewenang-wenang. Sampai akhirnya, dia kembali diasingkan, malahan dikirim ke tempat yang lebih jauh: Maluku.

Mahasiswa Kedokteran yang Gemar Mengirim Tulisan

Ketertarikan akan jurnalisme sejatinya sudah mengalir dalam darah Tirto sejak dirinya berkuliah. Kala itu, dia sering mengirimkan tulisan ke berbagai surat kabar terkemuka, antara lain Bintang Betawi, Chabar Hindia Olanda, dan Pembrita Betawi.

Namun, siapa sangka, pria bernama kecil RM Djokomono itu ternyata merupakan mahasiswa kedokteran. Tirto awalnya merantau ke Tanah Betawi karena hendak melanjutkan sekolah di Hogere Burger School (HBS). 

Selepas dari HBS, Tirto muda diterima di sekolah dokter bumiputra, yaitu School tot Opleiding van Inlandsche Artshen (Stovia). Dia pun menempuh pendidikan di sana tujuh tahun lamanya, atau pada 1893 sampai 1900.

Alih-alih menjadi dokter, pria kelahiran Blora, Jawa Tengah pada tahun 1880 itu malah tertarik dengan dunia tulis-menulis. Dia menjajaki karier pertamanya di surat kabar Pembrita Betawi, pun sempat menjadi redaktur dalam waktu singkat.

Di surat kabar itu, Tirto mendapat pelajaran langsung dari jurnalis senior dan pemimpin redaksi Niews van den Dag. Mulai dari penulisan berita, mengelola penerbitan, sampai mempelajari hukum untuk ‘menghantam’ kolonial.

Berbekal ilmu tersebut, Tirto akhirnya memutuskan untuk membuka surat kabar sendiri pada 1901 dengan nama Soenda Berita. Selang delapan tahun kemudian, atau pada 1909, dirinya kembali mendirikan surat kabar mingguan, Medan Prijaji.

Sedikitnya dia tahu, media tersebutlah yang, sayangnya, bakal merenggut hak hidupnya sebagai seorang insan. Sampai pada titik di mana membuatnya depresi, lantas berujung kematian muda.

Korban Kerja Kerasnya Sendiri

Lewat Medan Prijaji, Tirto kian tajam mengkritik segala hal yang menurutnya tak benar. Dirinya pun berulang kali diasingkan karena itu. Ironisnya, pena tajam itulah yang mempertemukannya dengan akhir tragis.

Sebagaimana diceritakan sebelumnya, Tirto sempat diasingkan ke Maluku pada 1912. Namun, bukan itu saja hukuman yang dia terima akibat mengkritik pejabat; hartanya disita pemerintah kolonial, gerak-geriknya pun diawasi.

Dua tahun selang pengasingan itu, Tirto berupaya bangkit mengembalikan masa emasnya seperti semula. Sayang, hasilnya nihil. Dia tak sanggup tegak lagi. Harta-bendanya ludes, teman-teman serta relasinya juga menjauh.

Tirto mengalami depresi berat selama bertahun-tahun. Mental dan kesehatannya menurun. Bahkan dikabarkan, Tirto nyaris kehilangan ingatan alias gila lantaran penderitaan fisik dan batin yang menyerang dari segala arah tanpa henti.

Penderitaan itu menemukan akhirnya jelang pengujung 1918. Tepatnya pada 7 Desember, Tirto mengembuskan napas terakhir di usia yang terbilang masih muda, 38 tahun. Dirinya berpulang dalam pangkuan Raden Goenawan.

Kepergian Tirto tentu menjadi duka bagi banyak orang, utamanya mereka yang berada di satu lini kerja dengannya. Surat kabar De Locomotief bahkan memuat berita lelayu yang salah satu baitnya berbunyi:

"Tirto Adhi Soerjo telah menjadi korban kerja kerasnya sendiri. Dalam tujuh-delapan tahun terakhir telah sepenuhnya rusak ingatan dan takut orang.”

Bertahun-tahun berselang, nama Tirto Adhi Soerjo seolah terbenam dalam keriuhan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sampai akhirnya, pada 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menetapkan Tirto Adhi Soerjo sebagai Pahlawan Nasional.

Editor


Komentar
Banner
Banner