Nasional

Pakar Antropologi Khawatirkan Pergeseran Peran Kelompok Etnis di Kaltim

apahabar.com, BANJARMASIN – Presiden Republik Indonesia Joko Widodo sudah bulat memilih Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai pengganti…

Featured-Image
Replika monumen nasional yang identik dengan Jakarta didirikan di Desa Suka Maju, Tenggarong Seberang, Kukar, Kaltim. Foto-Heriansyah/Korankaltim.com

bakabar.com, BANJARMASIN - Presiden Republik Indonesia Joko Widodo sudah bulat memilih Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai pengganti Jakarta.

Belum satu hari, keputusan ini menuai komentar dari berbagai pihak. Sebagian setuju, tidak sedikit yang menolak keras, seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim.

img

Dosen Pendidikan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat (FKIP ULM) Banjarmasin, Nasrullah. Foto-bakabar.com/Musnita sari

Sejumlah pakar pun mulai angkat bicara. Salah satunya Dosen Pendidikan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat (FKIP ULM) Banjarmasin, Nasrullah. Dia menilai keputusan memindahkan ibu kota dapat menjadi dua hal; keuntungan atau malah kerugian.

Dalam ilmu Antropologi yang mempelajari tentang manusia dari segi budaya, perilaku, keanekaragaman dan lainnya, Kaltim, sebut dia banyak terdapat kelompok etnis atau suku bangsa.

"Di Kaltim ada banyak etnis sebut saja seperti Suku Kutai dan Suku Dayak. Itu pun terbagi lagi menjadi beberapa ada suku Benuaq, Tunjung, Kenyah dan lainnya. Jadi siap-siap saja akan terjadi multietnis di sana," papar Nasrullah saat ditemui bakabar.com di Ruang Dosen Sosiologi dan Antropologi FKIP ULM, Selasa (27/8) pagi.

Secara geografis, penduduk asli akan tergeser karena mereka akan berada di wilayah jantung negara. Apabila terjadi urbanisasi secara besar-besaran, dia mengkhawatirkan akan terjadi pergeseran peran.

"Pertama mereka akan saling terpinggir. Kedua peran mereka mau tidak mau harus berkontesasi dengan pendatang-pendatang baru," ungkapnya.

Untuk menekan hal tersebut, perlu penguatan kelompok-kelompok etnis.

"Artinya kebudayaan-kebudayaan yang ada di sana sebaiknya dapat memayungi atau menjadi bagian dari kebijakan publik yang menandai ciri khas dari ibu kota," lanjutnya.

Pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan tentunya akan membawa dampak bagi provinsi sekitar, Kalsel salah satunya.

Di luar persoalan birokrasi, masyarakat Banjar yang selama ini dikenal sebagai kelompok pedagang, memiliki kemungkinan berpindah untuk mendapatkan peluang usaha yang lebih menguntungkan.

"Ada kecenderungan mereka datang sendiri atau berkelompok. Wirausaha akan terjadi di sana," imbuhnya

Dari sisi keuntungan, dia memprediksi pembangunan di Kalsel bisa jadi akan dipercepat, seperti pada akses jalan. Meskipun pembangunan akan dikerjakan secara bertahap dan memerlukan waktu yang tidak sebentar.

"Kita bayangkan saja seperti Surabaya menuju Jakarta, secara fisik akan terjadi perubahan. Jalan darat akan lebih luas, mungkin akan ada jalan tol, dan rencana penyelenggaraan jalur kereta api bisa jadi akan direalisasikan," ujarnya.

Terpisah, Ketua AMAN Kaltim Margaretha Seting Beraan tak menampik adanya peluang pergeseran peran kelompok etnis seiring pemindahan ibu kota ke Kaltim.

“Maka harus ada safeguard dari pemerintah, membuat rencana pengamanan dan perlindungan bagi masyarakat adat setempat yang akan terdampak langsung akibat pemindahan ibu kota ini. Perebutan ruang sosial politik salah satu yang mengemuka soal etnis ini, dan masyarakat asal akan jadi korban,” jelas Seting kepada bakabar.com, Selasa siang.

Kaltim, kata dia, tak siap menerima pemindahan ibu kota dalam konteks masyarakat adat.

“Apabila tidak dipersiapkan dengan rambu-rambu pengamanan terhadap pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka. Jika tidak maka masyarakat adat hanya akan menjadi korban dari pembangunan,” jelasnya.

Menurutnya pemindahan ibu kota negara ke Kaltim bisa memicu masuknya gelombang pendatang secara besar-besaran yang bisa berdampak secara sosial politik terhadap masyarakat adat.

“Mereka bisa kehilangan daya saing dalam politik lokal, perubahan yang merusak tatanan sosial kemasyarakatan secara signifikan, dan perebutan peluang ekonomi, kehilangan sebagian besar tanah adat secara masif akibat kebutuhan penyediaan tanah bagi pendatang,” ucapnya.

Pembangunan infrastruktur juga berpotensi tumpang tindih terhadap wilayah adat yang bisa berdampak konflik kepemilikan, konflik batas desa, serta hilangnya habitat dan keanekaragaman hayati di dalamnya.

“Belum lagi pengrusakan alam jika pembangunan tidak dilaksanakan sesuai prinsip-prinsip ramah lingkungan dan keberlanjutan,” jelas dia.

Jadi, menurutnya penyediaan regulasi pengamanan terhadap pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat sangat penting dalam proses penyiapan pemindahan ibu kota.

img

Infografis-bakabar.com/Zulfikar

Baca Juga: Bang Dhin: Pemindahan Ibu Kota ke Kaltim Bagus untuk Tanah Bumbu

Baca Juga: Ibu Kota Pindah, Pengamat: Masyarakat di Kalimantan Bisa Lebih Heterogen

Baca Juga: AP II Dukung Pengembangan Ibu Kota Baru

Baca Juga:Kaltim Jadi Ibu Kota Negara, Gubernur Kalteng: Tak Jadi Masalah

Baca Juga: Kabupaten PPU dan Kukar Jadi Ibu Kota, Isran Koordinasi dengan Wali Kota

Reporter: Musnita SariEditor: Fariz Fadhillah

Komentar
Banner
Banner