bakabar.com, MARABAHAN – Sudah hampir sepekan Barabai, ibu kota Hulu Sungai Tengah (HST), lumpuh akibat banjir. Situasi ini jauh lebih parah ketimbang kejadian pertama yang tercatat dalam sejarah.
Hampir seluruh wilayah HST dilanda banjir sejak 13 Januari 2021. Kejadian terparah di Hantakan, Aluan, Barabai Darat dan Barabai Timur.
Air setinggi 1,5 hingga 2 meter bahkan merendam kantor dan rumah dinas Bupati maupun Wakil Bupati HST, kantor DPRD dan fasilitas pemerintah lain, termasuk pasar dan terminal.
Memang sejak periode kolonial Hindia Belanda hingga masa kemerdekaan, banjir di Barabai 2021 menjadi yang terburuk dalam sejarah.
“Banjir pertama yang tercatat di Barabai terjadi 92 tahun lalu, tepatnya 13 Januari 1928 dengan ketinggian sekitar 45 sentimeter,” papar Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan, Mansyur, Minggu (17/1).
Berdasarkan catatan tersebut, banjir di Borneo bagian selatan memang periodik terjadi setiap tahun dengan berbagai level
“Hendrik Juriaan Schophuys dalam Het Stroomgebied Van De Barito (1936) juga menuliskan banjir yang termasuk kategori berbahaya dan ditakuti penduduk hanya terjadi sekitar bulan-bulan musim timur, Juli sampai Oktober,” jelas Mansyur.
Sementara laporan GL Tichelman (1931) menjelaskan bahwa Onderafdeeling Barabai adalah area yang dialiri dua sungai utama, yakni Soengai Barabai dan Soengai Batang Alai.
Masih dari laporan itu, banjir tertinggi yang terjadi 13 Januari 2918 di Barabai hanya berlangsung sekitar 30 jam.
Ketinggian air tertinggi di alun-alun di Barabai (sekarang Lapangan Dwiwarna) adalah sekitar 45 centimeter.
Sementara di wilayah Pagat, laju aliran terendah dan tertinggi ditemukan antara 8 dan 190 meter per detik.
Banjir yang terjadi di awal 1928 itu lalu diabadikan Tichelman ke dalam beberapa buah foto banjir di Jalanan Barabai bertema Overstroomde Straat te Barabai. Foto ini kemudian dipublikasikan KITLV.
“Francis Henry Hill Guillemard Australasia dalam Malaysia and The Pacific Archipelagoes (1894), juga menuliskan hal serupa,” beber Mansyur.
“Barabai dan Amuntai adalah wilayah yang mengalami banjir secara berkala. Banjir tertinggi yang diamati di Barabai hanya berlangsung kurang lebih 30 jam,” tandas dosen Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat ini.
Diperkirakan banjir periodik itu disebabkan letak geografis Barabai di lereng Pegunungan Meratus yang memiliki intensitas hujan tinggi.
Meski belum didukung bukti-bukti, sumber lain menyebutkan letak geografis itu yang membuat Hindia Belanda tidak melakukan penambangan atau alih fungsi hutan di Onderafdeeling Barabai.