Kalsel

OTT di Amuntai dan Sejarah Korupsi di Kalsel yang Sudah Ada Sejak Zaman Kesultanan

apahabar.com, BANJARMASIN – Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Maliki serta dua…

Featured-Image
Penyidik KPK menunjukan barang bukti uang sebanyak Rp345 juta dari hasil operasi tangkap tangan Maliki Cs. Foto: ANTARA

bakabar.com, BANJARMASIN – Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Maliki serta dua kontraktor Marhaini (MF) dan Fachriadi (FH) tengah jadi pembicaraan hangat publik di Kalimantan Selatan.

Rabu 15 September, mereka terjaring dalam serangkaian operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketiganya dalang di balik kasus suap-menyuap atas lelang proyek rehabilitasi di daerah irigasi rawa (DIR) Bajang dan Kayakah.

Lima hari berselang, rumah dinas Bupati HSU, Abdul Wahid turut diobok-obok oleh anggota komisi anti-rasuah. Dari rumah dinas Abdul Wahid, anggota KPK kemudian mengamankan sejumlah barang bukti uang, dokumen hingga barang elektronik. Hingga kini pengembangan kasus masih berlanjut.

Lantas, bagaimanakah sejarah praktik korupsi di Kalsel?

Menilik ke belakang, penangkapan Maliki menambah panjang daftar pejabat di Kalimantan Selatan yang terjaring OTT KPK.

Sebelum Maliki, ada nama Adriansyah Eks Bupati Tanah Laut, Iwan Rusmali, Eks Ketua DPRD Banjarmasin, Eks Direktur PDAM Bandarmasih, Muslih, hingga Eks Bupati Hulu Sungai Tengah, Abdul Latif.

Menilik lebih jauh, praktik korupsi di Kalsel rupanya sudah terjadi sejak era Kesultanan Banjar.

“Walaupun bersifat ‘kecil-kecilan’, korupsi di masa itu berkaitan dengan penyelewengan dalam hal penarikan dan pembayaran pajak,” kata Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur kepada bakabar.com, Selasa (21/9).

Di masa itu pajak terbagi dalam beberapa jenis. Di antaranya, pajak pemberian, bea, retribusi padi, pajak tanah, zakat, fitrah, retribusi emas dan tambang intan, pembuatan perahu dan pajak buruh kerja untuk keraton.

“Semua jenis pajak pada zaman itu dibayar dengan uang maupun barang,” katanya.

Pada masa itu, korupsi dilakukan oleh oknum pejabat dengan cara mengenakan pajak lebih tinggi daripada yang ditetapkan oleh kesultanan.

Masyarakat yang kebanyakan masih belum mengenal perhitungan modern serta belum berpendidikan pun jadi korban para oknum pejabat korup tersebut.

“Yang kerap diselewengkan adalah pajak pemberian (poll-tax) yang terdiri dari baktin, yaitu pajak buruh-kerja dan nadar, yaitu pajak tanpa butuh-kerja,” katanya.

Adapun uang nadar yang mesti dibayar oleh masyarakat pada masa itu adalah f 5,60 untuk yang sudah kawin dan f 2,90 untuk yang belum kawin. Sementara jumlah uang baktin adalah f 2,60 untuk yang kawin.

Sedangkan untuk di luar wilayah Banua Lima, pajak yang mesti dibayar adalah f 2. Kecuali orang-orang Martapura maka bebas dari poll-tax. Sementara untuk kampung-kampung yang dihuni masyarakat Dayak berkewajiban membayar poll-tax setiap tahun.

“Dari pajak itu lah biasanya diselewengkan beberapa pimpinan dari hierarki rendah, seperti pembakal atau kepala kampung yang nakal,” katanya.

Selain poll-tax, kata Mansyur, yang kerap jadi sasaran penyelewengan adalah cukai retribusi.

“Untuk barang adalah sepersepuluh dari harga barang-barang komoditi, kecuali garam,” katanya.

Bukan hanya pajak, korupsi sebagai bentuk penyelewengan untuk keuntungan pribadi marak terjadi pada kebijakan dalam Kesultanan yang berupa hasil tanah apanase.

Apanase adalah tanah yang diberikan sultan kepada anak-anaknya, atau familinya turun temurun.

Si pemegang mendapat sebuah surat hadiah dari raja, yang disebut ‘cap’. Segel raja dibubuhi pada surat tersebut.

Dari sebuah apanase si pemilik dapat mengambil penghasilan resmi berupa pajak pemberian (poll-tax), fitrah, zakat, hasil berbentuk natura seperti minyak kemiri, madu, ikan basah dan ikan kering, rotan, lilin, daging rusa dan tanduk rusa, telur itik, kura-kura sungai, monopoli rotan dan pajak rotan, sewa sungai ikan (paiwakan) dan sewa tanah.

Dari tambang intan, pemilik apanase tidak hanya memperoleh pajak yang umum, tapi dia juga mempunyai hak monopoli dalam pembelian intan.

Setiap intan yang ditemukan sebesar 4 karat, harus dijual pada raja atau pemilik apanase. Rakyat dalam tanah apanase harus memberikan pelayanan pada pemilik apanase sebulan dalam tiap tahun sebagai tenaga kerja untuk apanase. Rakyat dapat menggantikannya dengan uang, jika dia mempunyai uang, besarnya f 7,- per kepala.

Sejak tahun 1826, Kerajaan Banjar hanya wilayah tanah tempat tinggal kelompok etnis suku Banjar, yang terdiri dari daerah inti dan bagian dari daerah luar Hulu Sungai dan dusun dengan Pegunungan Meratus pada batas sebelah barat dan utara sejauh sumber mata air sungai-sungai Paku, Sihong dan Nappo dan Gunung Luang. Semua daerah ini, yaitu daerah inti dan daerah luar dibagi dalam dua daerah teritorial.

“Sebagian adalah daerah pajak milik Sultan, dan bagian lain dibagi atas daerah apanase kerajaan, diberikan kepada keluarga dekat Sultan. Daerah Sultan tersebut adalah sebagian dari Banjar, Martapura, Alai, Amandit, Benua Empat dan Banua Lima,” pungkas Mansyur.

Komentar
Banner
Banner