bakabar.com, BATULICIN – The Scent Of Life, novel karya Maria Ispri yang terbit pada Juli 2019 di-launching sekaligus dibedah di Hutan Kota Kapet, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu (Tanbu), Minggu (01/09) kemarin.
Novel The Scent Of Life yang diterbitkan oleh Scripta Cendekia Banjarbaru bercerita tentang perjalanan gadis yatim piatu bernama Oh Man Se yang diangkat anak oleh pengusaha kaya dari Grup Kang. Dari sanalah perjalanan dan rintangan dimulai.
Maria Ispri memilih Korea Selatan sebagai latar tempat untuk novelnya. Ini berawal dari kesukaannya terhadap film Korea dan kisah-kisah yang mengiringinya.
Di hutan kota, novel The Scent Of Life dibedah oleh beberapa orang. Tato A Setyawan yang dikenal sebagai pegiat sastra Tanbu sempat menanyakan pemilihan judul yang menggunakan bahasa Inggris. Ia juga menyebut alur cerita novel tersebut cukup sulit untuk dipahami.
Meski begitu, Tato mengapresiasi upaya Maria Ispri untuk meramaikan dunia literasi di Kabupaten Tanah Bumbu. Kemunculan Maria Ispri ini juga mengingatkan mantan wartawan itu kepada Eche Subki, novelis asal Batulicin yang pernah menulis novel “Lelaki Duka”. Sejak beberapa tahun lalu, Eche sudah pindah ke Jawa Barat dan menulis beberapa novel lagi di sana.
Wawan, seorang guru di SMKN 1 Kusan Hilir juga ikut mengomentari novel tersebut. Ia menyayangkan Maria Ispri tidak mengangkat budaya masyarakat Indonesia. Padahal, kata Wawan, budaya Indonesia jauh lebih baik daripada budaya masyarakat Korea.
Novel The Scent Of Life juga ditanggapi oleh Puja Mandela, seorang jurnalis yang juga pegiat seni dan sastra. Sayangnya novel karya guru SMAN 1 Karang Bintang itu gagal membuatnya berimajinasi. “Saya berharap bisa melihat Korea Selatan dari buku ini. Tapi, saat dibaca saya tidak menemukan penggambaran tempat dan suasana yang detil,” katanya.
Ia juga menyayangkan ternyata novel The Scent Of Life tidak memiliki editor. Padahal, editor adalah sosok vital yang bisa memberikan sudut pandang lain terhadap sebuah karya dari penulis. “Tulisan sebagus apapun tetap perlu editor,” sebut penulis buku Tak Semua Hal Harus Masuk Akal itu.
Meski begitu, Puja mengapresiasi munculnya Maria Ispri sebagai novelis di Bumi Bersujud, sebutan Tanbu, setelah sebelumnya ada nama Siti Umayah dan Eche Subki. Ia juga memuji Maria karena bisa menerima kritik dari para pembedah dengan besar hati.
Kepada sejumlah penanggap, Maria Ispri menjelaskan pemilihan judul menggunakan bahasa Inggris agar novelnya mudah diterima di kalangan internasional. Ia tidak ingin pembaca novelnya hanya dari kalangan dalam negeri saja.
Ia juga mengakui ada sejumlah kelemahan pada novel perdananya itu. Namun, ia mengatakan kritik dan masukan akan menjadi bahan evaluasi ke depan. Hal itu juga akan membuat dirinya berkarya lebih baik lagi.
Arif Rahman, guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Karang Bintang ikut terkejut dan tak menyangka karena sosok Maria Ispri yang cenderung tertutup bisa membuat novel dengan latar tempat di Korea Selatan. Arif juga mengibaratkan Maria sebagai ibu-ibu pengajian yang menyukai musik Kpop.
“Saat pertama kali diberi tahu, saya kaget. Apa iya? Ternyata memang benar,” kata Arif yang sebentar lagi juga akan merilis antologi puisi itu.
Selain bedah novel, Hutan Kota Kapet juga diramaikan dengan kegiatan pergelaran seni seperti pembacaan puisi dan penampilan musik akustik lagu-lagu daerah dari para pelajar.
Baca Juga:Ternyata Tanah Bumbu Punya Novelis Berbakat
Baca Juga:Novel 'Merdeka Sejak Hati' Segera Sapa Pembaca
Reporter: Puja MandelaEditor: Fariz Fadhillah