bakabar.com, BANJARMASIN - Aktivis lingkungan asal Muara Teweh, Kalimantan Tengah, berkebangsaan Perancis, Chanee Kalaweit mendadak viral di media sosial setelah menyoroti penyebab banjir di Kalimantan Selatan.
Dalam video berdurasi 8 menit 5 detik itu, Chanee Kalaweit membeberkan bahwa deforestasi lingkungan merupakan penyebab utama banjir Kalsel.
Lantas siapa sebenarnya sosok Chanee Kalaweit di dunia lingkungan hidup ?
Chanee Kalaweit memang bukan orang asli Indonesia. Namun, dedikasinya untuk kelestarian satwa dan lingkungan Indonesia patut diacungi jempol.
Pria dengan nama asli Aurelien Francis Brule ini sudah puluhan tahun mendedikasikan diri untuk mempertahankan kelestarian hutan Indonesia agar bisa menjadi rumah yang nyaman bagi satwa liar yang hidup di dalamnya.
Melalui yayasan Kalaweit yang didirikannya, Chanee, begitu dia biasa disapa, terus aktif melakukan rehabilitasi satwa liar yang menjadi korban deforestasi dan praktik perburuan liar.
Awalnya, pria kelahiran Fayence, Distrik Var, Perancis Selatan, 38 tahun silam ini datang ke Indonesia pada tahun 1998 untuk menyelamatkan spesies Owa.
Tanpa bekal kemampuan berbahasa Indonesia, tahun 1998, Chanee nekat datang ke Kalimantan untuk membangun konservasi satwa liar, khususnya Owa.
"Saya datang ke Indonesia sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia. Saya belajarnya dari bergaul dengan masyarakat setempat," ucap Chanee Kalaweit dilansir Kompas.com.
Sampai saat ini, yayasan yang didirikannya menjadi mitra departemen kehutanan untuk menyelamatkan satwa dilindungi. Perjuangannya untuk menyelamatkan satwa di Indonesia bukan berarti tanpa duka.
Bagi Chanee, hal terberat yang dia alami saat berjuang menyelamatkan satwa liar di Indonesia adalah melihat wajah Kalimantan yang berubah drastis demi industri perkebunan.
"Yang paling membuat saya sedih, dalam 20 terakhir melihat wajah Kalimantan berubah. Hutan Kalimantan hancur demi industri," katanya.
Selama 20 tahun lebih berjuang menyelamatkan satwa, Chanee mengaku pernah menghadapi berbagai ancaman, terutama saat dia membuat video mengenai kabut asap yang menyelimuti Kalimantan.
"Selama 20 tahun lebih di sini, pasti ada konflik dan ancaman, terutama setelah saya bikin video itu. Kalau kita berusaha menyelamatkan sesuatu ada membuat perubahan baik pasti ada musuh. Apalagi, yang ada di hadapan kita perusahaan-perusahaan yang cuma mikir profit," jelasnya.
Namun, rintangan tersebut tak memutuskan langkah Chanee untuk tetap berjuang.
Baginya, ancaman-ancaman yang didapatkan tak sebanding dengan keberhasilannya melindungi lebih dari 1000 hektare lahan dan hutan di Kalimantan.
"Semua keberhasilan ini juga berkat dukungan masyarakat sekitar. Saya tidak akan bisa mendapatkan semua ini tanpa dukungan mereka," pungkasnya.
Sebelumnya, dalam video berdurasi 8 menit 5 detik itu, Chanee Kalaweit membeberkan bahwa deforestasi lingkungan merupakan penyebab utama banjir Kalsel.
"Sulit sebagai aktivis lingkungan untuk tidak mengaitkan situasi sekarang dengan beberapa banyak dekade. Bagaimana deforestasi lingkungan terjadi secara besar-besaran. Jika kita buka google docs, maka begitu hancur hutan di Kalsel, khususnya daerah hulu sungai, sehingga mengakibatkan banjir," ucap Bule asal Muara Teweh, Chanee Kalaweit melalui akun YouTube pribadinya yang diunggah, Sabtu (16/1) lalu.
Deforestasi lingkungan, kata dia, menjadi penyebab utama banjir di Kalsel. Meskipun ada beberapa faktor lain.
"Bukan hanya deforestasi lingkungan, namun ada faktor lain. Tetapi yang terparah itu deforestasi," katanya.
Jika hutan sehat, sambung dia, maka berfungsi menyerap air ke dalam tanah. Kemudian, air perlahan mengalir dari hulu ke hilir sungai.
"Situasi sekarang adalah saat hutan hancur, sementara air datang dari hujan deras. Kemudian air itu langsung ke sungai sehingga meluap, akhirnya terjadi banjir," bebernya.
Chanee membantah banjir Kalsel disebabkan permasalahan sampah. Dia justru menilai sampah hanya berlaku di kota besar seperti Jakarta lantaran menutup selokan dan saluran drainase.
"Sampah adalah suatu masalah besar. Tapi kalau di Kalsel tidak," tegasnya.
Hal ini harus benar-benar disadari sedini mungkin. Kalau tidak, menurutnya, maka banjir terus terulang. Bahkan kian parah.
"Terlebih, dengan fenomena perubahan iklim dan pemanasan global," ujarnya.
Dia mengungkapkan, akan terjadi fenomena alam yang intensitasnya jauh lebih panjang dibandingkan sebelumnya. Fenomena itu adalah El Nino dan La Nina.
"Artinya, saat ini tidak punya hutan. Padahal sekarang menghadapi hujan yang sangat parah dibandingkan sebelumnya. Di mana musim akan lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Baik El Nino maupun La Nina. Mungkin dahulu banjir akan terjadi per 30 tahun sekali, namun sekarang bisa menjadi 5 tahun sekali," jelasnya.
Dia menyarankan, agar semua pihak melakukan restorasi ekosistem yang telah rusak. Khususnya penanaman kembali di daerah yang mengalami deforestasi sejak puluhan tahun lalu.
"Semua harus direstorasi, sehingga La Nina bisa diantisipasi. Jangan berpikir banjir besar hanya terjadi 30 tahun sekali. Di masa seperti ini, banjir bisa sering terjadi. Bahkan air akan lebih tinggi. Pemerintah harus memperhatikan siklus El Nino dan La Nina."
"Semoga airnya cepat surut untuk kawan-kawan Kalsel," tutupnya.