Kemiskinan Petani

Nestapa Petani Hidup dalam Belenggu Kemiskinan

Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas menganggap tingginya tingkat kemiskinan di sektor pertanian bukanlah hal yang b

Featured-Image
Ilustrasi petani sedang menanam di sawah. Foto: Antara

bakabar.com, JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas menganggap tingginya tingkat kemiskinan di sektor pertanian bukanlah hal yang baru.

Sehingga menurutnya data BPS yang menyebut kemiskinan terpusat di sektor pertanian hingga nyaris 50 persen bukanlah hal yang baru.

"Bahwa kantong-kantong kemiskinan itu terpusat di wilayah-wilayah pedesaan dan wilayah-wilayah pertanian," ujarnya kepada bakabar.com, Jumat (8/12).

Baca Juga: Miris! Jumlah Petani dengan Kepemilikan Lahan Kecil Terus Meningkat

Pria yang juga menjadi Guru Besar IPB itu menyium penyebab dari tingginya angka kemiskinan tersebut karena kebijakan pangan yang dibuat oleh pemerintah selama ini selalu berat sebelah ke konsumen.

Pasalnya, pemerintah hanya memikirkan penyediaan pangan murah bagi masyarakat yang bekerja di sektor industri manufaktur dan sektor jasa. Di sisi lain tidak memikirkan biaya produksi dari para petani. Khususnya para petani di sektor tata padi pangan.

"Kalau kita lihat data sektor pertanian yang paling menederita itu sektor tata padi pangan. Di situlah petani petani miskin itu berada karena terlalu banyak kepentingan dari pemerintah," ungkap dia.

Baca Juga: Para Petani Indonesia Semakin Menua, Siapa yang Meneruskan?

Alhasil kata dia, keputusan yang dibuat dengan cara impor dianggap bisa mendapatkan harga lebih murah. Kebijakan tersebut dinilainya telah merugikan petani.

Petani Padi di Jember
Petani padi di Kabupaten Jember, Jawa Timur, sedang menjemur gabah hasil panen, Selasa (22/8). Foto: bakabar.com/M Ulil Albab

Kebijakan tersebut juga memicu terjadinya ketergantungan melalui impor pangan semakin besar. Kebijakan itulah yang kemudian memupuk kemiskinan para petani yang semakin tinggi.

"Banyak kasus ketika terjadi pergerakan harga pangan yang mulai tinggi, diatasi dengan impor. Katakanlah produk impor jauh lebih murah pemerintah lebih memilih impor untuk menyediakan pangan yang murah bagi masyarakat di non pertanian, dan itu sudah berlanjut sampai dengan saat ini," jelasnya.

Baca Juga: Harga Beras Lokal Meroket: Petani Untung, Pedagang Buntung

Bahkan, jika merujuk pada hasil survei yang dikumpulkan oleh AB2TI. Kata dia pihaknya menemukan para petani padi di beberapa tahun terakhir itu rugi.

Kerugian yang diperoleh para petani tersebut paling tidak dalam kurun waktu 4-5 tahun terakhir mencapi 250 ribu hingga Rp1 juta per 2.000 meter persegi sekali tanam.

"Dan itu yang terjadi, itu terkonfirmasi dari data pemerintah. Dari data NTP (Nilai Tukar Petani) tanaman pangan," kata dia.

Baca Juga: Petani Milenial Manfaatkan Plasma Ozon, Jaga Kualitas Produk Pertanian

Penting untuk tahu. Berdasarkan data pemerintah yang dia sampaikan, nilai NTP tanaman pangan pada waktu 2021-2022 itu hanya mencapai 98,5 persen. Tidak mencapai 100 persen.

Namun, menurut dia data itu juga belum secara menyeluruh mencerminkan kondisi yang sesungguhnya di lapangan karena mereka hanya berdasarkan survei.

"Tapi tetap saja, apa artinya? Berarti tanam padi itu pasti rugi, karena di bawah 100 (persen)," pungkasnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner