Nasional

Momentum 21 Mei 1998: Pidato Terakhir Soeharto, Runtuhnya Orde Baru

apahabar.com, BANJARMASIN – Hari ini merupakan salah satu momentum bersejarah Indonesia, seiring berakhirnya kepemimpinan Soeharto sebagai…

Featured-Image
Presiden RI ke-2, Soeharto saat membacakan pidato terakhir, Kamis 21 Mei 1998. Foto-net

bakabar.com, BANJARMASIN – Hari ini merupakan salah satu momentum bersejarah Indonesia, seiring berakhirnya kepemimpinan Soeharto sebagai presiden.

Ya, tepat, 23 tahun silam atau Kamis 21 Mei 1998, sekitar pukul 09.00 WIB di Ruang Credential, Istana Merdeka, Jakarta, Presiden Soeharto menyampaikan pidato terakhir sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang telah dipegangnya selama 32 tahun.

Berikut isi pidato terakhir Soeharto seperti dilansir merdeka.com. Naskah pengunduran diri ini diketik oleh Yusril Ihza Mahendra sebagai penulis pidato presiden:

“Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional.

Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII.

Namun, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.

Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.

Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998.

Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan MPR pada kesempatan silaturahmi.
Sesuai Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, Prof. Dr. Ing. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998-2003.

Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945.

Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VII demisioner dan kepada para menteri saya ucapkan terima kasih.

Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara wakil presiden sekarang juga akan melaksanakan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung RI.”

Runtuhnya Orde Baru

Spontan para mahasiswa yang telah beberapa hari menduduki Gedung MPR/DPR RI di Senayan, bersorak riang gembira usai mendengarkan pidato terakhir Soeharto tersebut.

Sebagian dari mereka bahkan menceburkan diri ke dalam kolam, menyambut euforia reformasi yang telah berhasil membuat Bapak Pembangunan itu lengser alias “mandeg pandito” atau berhenti dari pucuk kekuasaan di negeri ini.

Bangsa Indonesia pun memasuki sejarah baru dalam era Reformasi, sebagai bentuk koreksi atas rezim Orde Baru yang sentralistik, bahkan tak jarang disebut-sebut sebagai pemerintahan otoriter, terutama oleh lawan-lawan politiknya.

Enam agenda awal reformasi pun menggema: adili Soeharto dan kroni-kroninya, pemberantasan KKN, amendemen UUD 1945, penghapusan dwifungsi ABRI, penegakan supremasi hukum, dan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya.

Soeharto sudah menjalani proses untuk diadili namun para dokter yang menanganinya menilai bahwa dia mengalami kerusakan otak permanen.

Soeharto wafat pada Minggu, 27 Januari 2008 dan dimakamkan di Astana Giri Bangun, Karanganyar, Jawa Tengah.

Soeharto meninggal dunia setelah menjalani perawatan selama 23 hari sejak 4 Januari 2008 di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta Selatan. Pada pukul 13.10 WIB, Soeharto wafat dengan usia 87 tahun, disebabkan kegagalan ‘multiorgan’ di beberapa organ tubuhnya.

Sebelumnya tim dokter kepresidenan mengumumkan bahwa keadaan mantan Presiden Soeharto pada Minggu pagi sangat kritis, pernapasan dangkal dan 100 persen kembali diambil alih alat bantu pernapasan.

Ketua tim dokter kepresidenan, Marjo Soebiandono, menjelaskan sejak pukul 01.00 WIB keadaan kesehatan secara umum mantan orang nomor satu itu menurun, kemudian terjadi sesak napas diikuti dengan tekanan darah yang juga menurun.

Pada pukul 13.10 WIB, Minggu, Tim Dokter Kepresidenan bersama dengan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) dan Siti Hediati Hariyadi (Titik) menyatakan sendiri bahwa mantan Presiden Soeharto meninggal dunia.



Komentar
Banner
Banner