Apahabar.com, MAGELANG - Hoofdenschool adalah sekolah Bumiputera di Magelang yang mencetak para pegawai negeri untuk usia 14 - 20 tahun.
Magelang adalah kota yang menjadi saksi kolonialisme yang pernah berkembang di Indonesia. Mulai dari pariwisata, pemerintahan hingga pendidikan di era kolonialisme meninggalkan banyak jejak di Kota Sejuta Bunga ini.
Salah satunya adalah Hoofdenschool atau Sekolah Raja yang pernah berdiri dan berkembang di Magelang.
"Hoofdenschool adalah sekolah bumiputra yang mencetak para pegawai pegawai negeri untuk usia 14 - 20 tahun," kata sejarawan Magelang, Gusta Wisnu Wardhana, Senin (30/10).
Sebelum membuka di kawasan Magelang, Hoofdenschool awalnya didirikan di Tondano pada 1865. Selain di Magelang, Hoofdenschool atau Sekolah Raja juga didirikan di Bandung, Probolinggo.
Pada awal berdirinya Hoofdenschool di Magelang, sekolah tersebut belum memiliki gedung.
Diniatkan untuk Jadi Sekolah Pencetak Pegawai
Menurut Gusta, Hoofdenschool sengaja didirikan pemerintah kolonial agar dapat mencetak pegawai yang bisa bekerja di Indlandsch Bestuur (pemerintahan pribumi) dengan gaji murah.
"Hoofdenschool Magelang resmi dibuka 10 Desember 1879 atau satu tahun setelah keputusan Gubernur Jendral keluar," ujarnya.
Baca Juga: SMPN 1 Magelang, Saksi Berdirinya MULO lalu Berhenti Akibat G30S PKI
Sama seperti sekolah umumnya, Hoofdenschool juga dipimpin seorang kepala sekolah yakni Tuan Stoutjesdyk.
"Tuan Stoutjesdyk dibantu oleh dua orang guru bantu dan tiga orang guru pengajar saat mendidik para murid," kata Gusta.
Siswa yang sekolah di Hoofdenschool juga dikenakan biaya yakni f 10 dengan lama masa studi 4 tahun.
Tak hanya menerapkan sistem pendidikan formal dan terstruktur, Hoofedenschool juga menerapkan sistem asrama bagi para siswa yang berasal dari berbagai daerah.
"Para siswanya bisa tinggal di rumah Mantri (staff pengajar) didekat sekolah 1 kamar diisi oleh 4 orang siswa," jelas Gusta.
Namun, bagi siswa Hoofdenschool yang tidak tinggal di asrama mendapatkan akomodasi gratis.
"Mereka (para siswa Hoofdenschool) juga mendapatkan fasilitas makanan dan seragam sekolah," imbuhnya.
Gusta menceritakan, angkatan pertama sekolah ini berjumlah 60 orang siswa yang dibagi menjadi beberapa kelas.
"Beberapa anak pejabat dan kerabat kepala daerah penting juga bersekolah disini, sebut saja diantaranya terdapat dua orang putra dan dua orang saudara laki - laki Bupati Temanggung, Raden Tumenggung Holand Soemodirjo," ujarnya.
Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya siswa di Hoofdenschool, sekolah tersebut akhirnya berpindah ke bekas gedung Hotel Kedu di kawasan Sablongan, Pecinan, Magelang.
"Hoofdenschool terus bergerak dan berkembang di Magelang dan mencetak siswa-siswa berkualitas," ujarnya.
Pergolakan pendidikan juga terjadi di Magelang, pada Februari 1885, Kweekschool voor Indlandsche Onderwijzers Magelang (Sekolah Guru Bumiputra) ditutup karena alasan rendahnya mutu lulusan dan penghematan biaya.
"Maka pada tahun tersebut, Hoofdenschool pun berpindah lokasi ke eks-gedung Kweekschool (Polresta) di selatan alun - alun Magelang," ujarnya.
Pelajaran di Hoofdenschool
Lebih lanjut, Gusta menceritakan, sistem pendidikan di Hoofdenschool juga cukup memadai.
Pada awalnya, mata pelajaran yang diajarkan di Hoofdenschool kala itu selain mata pelajaran kepemerintahan ditambah juga ilmu pertanian, survey lapangan dan bahasa Belanda.
Tenaga yang mengajar di Hoofdenschool menggunakan Bahasa Melayu sebagai pengantar utama dalam menyampaikan materi.
"Guna mengembangkan kualitas siswanya, 1893 Dinas Pendidikan Kolonial Hindia Belanda menunjuk Hoofdenschool Magelang untuk menambahkan mata pelajaran di kurikulumnya," kata Gusta.
Adapun pelajaran yang ditambahkan yakni Prinsip Ilmu Hukum dan Hukum Dasar Negara dan Pemerintahan Hindia Belanda.
Baca Juga: Kronik Palagan Magelang dan Peperangan yang Terlupakan
Bukan tanpa alasan, pemerintah kolonial menambahkan mata pelajaran ini untuk memberikan model pendidikan vokasi bagi para bumiputra yang disiapkan menjadi Jaksa dan anggota dalam persidangan bagi kalangan pribumi.
"Ketika penerapan mata pelajaran ini dinilai berhasil, maka mata pelajaran serupa juga diterapkan di seluruh Hoofdenschool di Hindia Belanda," imbuhnya.
Sayangnya, Hoofdenschool Magelang akhirnya berakhir akibat adanya reorganisasi dan restrukturisasi pendidikan
"Sejak itu, Hoofdenschool berubah nama menjadi Opleidingschool voor Indlandsche Ambtenaren (OSVIA) pada bulan Agustus 1900," pungkasnya.