bakabar.com, KANDANGAN – Ritual upacara pemakaman masyarakat adat Dayak Meratus, mengantar arwah orang wafat agar tenang di alam lain.
Pengantaran itu juga sekaligus dilakoni untuk membuang keburukan agar tidak mengikuti orang-orang yang hadir di pemakaman.
Untuk menyaksikan langsung prosesi ritual masyarakat Adat Dayak Meratus itu bakabar.com mengikuti pemakaman mendiang Damang Dayak Meratus Ayal Kusal, Jumat (19/9) siang.
Damang Ayal merupakah tokoh sentral pimpinan masyarakat Meratus se-Kalimantan Selatan (Kalsel) yang tinggal di Dusun Malaris, Desa Loklahung, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS).
Pemakaman dilaksanakan di tengah hutan, dan dilaksanakan secara gotong-royong oleh warga dan kerabat almarhum.
Usai kubur tertutup tanah dan ditancapkan sepasang nisan, didirikan pula atap sederhana dari belahan bambu yang disusun dengan tiang kayu kecil.
Kemudian, para balian atau dukun adat dayak mulai ritual (bamamang) guna merapalkan mantra-mantra. Hal itu, untuk mengantarkan arwah si jenazah ke alam lain agar hidup tenang.
Biji-bijian beras kuning dibagikan kepada para warga yang hadir, dihamburkan bersama-sama pada saat tertentu. Dimaksudkan untuk membuang segala keburukan.
Beras kuning tidak dihamburkan semuanya, disisakan untuk dihambur kembali di lain tempat.
Para balian terus beritual (bamamang) selama kurang lebih satu jam.
Meski kata-katanya tak beraturan dan tidak dimengerti orang awam, namun para balian sudah menguasai dan hafal apa yang mereka ucapkan.
Selanjutnya, tiap warga yang hadir di pemakaman wajib mengikuti prosesi ‘malangkah sangkin duyung’.
Yakni, berjalan arah pulang sambil berkeliling dan melewati sebuah gerbang kecil, dari bambu yang membentuk segitiga.
Di bawahnya terdapat abu bekas membakar sesuatu, serta air yang dimasukkan dalam bambu.
“Ada unsur abu, api dan air dilangkahi bersama di sana. Agar kesialan, keburukan maupun roh jahat saat dipemakaman tidak mengikuti warga yang hadir,” ujar Kaldi, seorang pemuda asal Dusun Manutui.
Seorang warga Desa Loksado, Suriani menambahkan, hal itu juga dapat dimaknai agar memisahkan antara makhluk yang hidup dan yang sudah meninggal.
Selanjutnya, di perjalanan pulang semua warga wajib pula mengikuti prosesi ‘basiraman’ dengan bercebur di sungai.
Suriani menjelaskan, hal itu dimaksudkan untuk membersihkan badan dari segala macam kotoran terlihat ataupun tidak terlihat.
“Hakikatnya, air bisa melarutkan kotoran, begitupula segala hal keburukan. Jadi, berendam di sungai dapat membuang segala hal tidak baik yang menempel di badan setelah menghadiri pemakaman,” ucap anggota Satpol PP Kecamatan Loksado, yang juga merupakan seorang tokoh adat itu.
Saat di sungai, para balian kembali melakukan bamamang. Begitu pula sisa beras kuning, kembali dihamburkan di sungai secara bersamaan.
Sebelum pulang, lamang atau beras ketan yang dimasak dalam bambu buluh, disantap bersama-sama. Disisakan sedikit untuk dijadilan sesajen, kemudian ditinggalkan di sungai bersama bakul tempat membawanya.
Dijelaskannya, ritual-ritual itu biasa disebut ‘mambuang tampulu’, yang bermakna membuang keburukan.
Ritual-ritual itu terus dilaksanakan untuk mengantarkan, warga adat yang meninggal dunia. Secara turun-temurun diajarkan cara melaksanakannya, oleh tokoh-tokoh adat kepada para generasi penerus.