Suasana khusyuk terlihat jelas di Balai Adat Anian Desa Langkap. Wabah Covid-19 masih merambah Bumi Lambung Mangkurat. Palas paung atau Aruh Mahanyari pun digelar sederhana.
Musnita Sari, BALANGAN
UNTUK menuju Desa Langkap di Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Balangan itu butuh 213 kilometer dari Banjarmasin, atau sekira lima jam lamanya.
Secara khusus tim bakabar.com bertandang ke desa ini untuk mengikuti acara Aruh Adat, salah satu pesta rakyat tradisi warga Dayak yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya pada Minggu (27/7) malam.
Menariknya, palas paung atau Aruh Mahanyari — nama lain Aruh Adat — diadakan sekalipun Covid-19 tengah mewabah tak terkecuali di Bumi Lambung Mangkurat.
Secara umum, ritual ini digelar sebagai bentuk wujud syukur atas limpahan panen yang dihasilkan masyarakat pada tahun ini.
“Kami mengadakan syukuran sebab hasil panen yang diminta baik, tidak ada penyakit atau hama,” ungkap salah satu Balian, Karah saat berbincang kepada bakabar.com
Rangkaian acara berlangsung dalam semalam, namun sejak jauh-jauh hari warga mulai bergotong royong untuk mempersiapkan gelaran pesta rakyat ini.
Mulai dari menghias balai adat dengan ornamen khas Dayak, hingga sajian untuk dimakan bersama serta sebagai pelengkap pada ritual upacara.
Beberapa makanan khas terhidang seperti lamang, dodol, wajik, kue beras, bubur dan lainnya.
“Ini bukan sebagai sesembahan, tetapi sebagai ucapan terima kasih kepada leluhur kami yang membimbing, memberi dan tidak melupakan kami,” lanjut dia
Kala itu waktu menunjukkan pukul 11 malam. Warga desa telah berkumpul di balai untuk memulai prosesi aruh. Kepala adat mengawal upacara ini dengan menyampaikan amanat sebagai pembuka acara.
Ritual Aruh dipimpin oleh 12 orang Balian dengan menghaturkan senandung doa dan pujian berbahasa Dayak, masing-masing memiliki peran yang berbeda.
Prosesi ini dilakukan menghadap satu bubungan tinggi yang terletak di tengah Balai Adat. Terdapat pula susungkulan, papan tilarah, tungku langit hingga tiang kambang.
“Sama halnya dengan agama lain yang meminta (memanjat) doa. Permintaan kami selamat manusianya hingga rezekinya,” ujar Kepala Adat Dayak Pitap, Aliudar menambahkan.
Meski ada beberapa ritual yang terbilang sakral, masyarakat umum masih dapat menyaksikan rangkaian acara aruh sampai selesai.
Prosesi berikutnya adalah Basambur Pidara. Ritual ini untuk pengobatan tradisional dan warisan dari para pendahulu. Balian merapalkan doa untuk anak yang tengah sakit.
“Apabila ada anak yang sakit, ada ritual Batatung atau dipidarai supaya tidak sakit lagi. Untuk menghalang penyakit, maka kami minta keselamatan,” ungkapnya
Ada pula ritual lainnya seperti membenam dupa, mendewata hingga diakhiri pemutiran.
“Harusnya beberapa hari. Ada yang disakralkan dan tidak bisa disampaikan karena pamali,” ujarnya
Ritual kemudian diakhiri dengan menyebar sajian ritual di beberapa tempat seperti hutan dan sungai. Sajian yang diletakkan dalam sebuah nampan besar tersebut berisi dengan aneka ragam benda seperti sepotong ayam bakar, lamang, aneka kue, buah-buahan, batang kayu hingga lilin mainan.
Uniknya, setelah diarak beramai-ramai, sajian tersebut kemudian dimakan bersama-sama oleh warga yang mengantar dalam kondisi tanpa penerangan.
Rangkaian Aruh diakhiri dengan makan bersama di balai. Para warga saling berbaur bahkan hingga pagi menjelang.
Aliudar menyampaikan ritual ini bukan sebagai tanda warga Dayak menyembah suatu benda. Melainkan, menjadikannya sebagai perantara untuk komunikasi kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Kalau orang tidak mengerti menganggapnya menyembah kayu. Kami sudah mempelajari lebih dalam, cuma diyakinkan ini adalah gaduhan (perantara),” tutupnya
Editor: Fariz Fadhillah