bakabar.com, JAKARTA – KH Hasyim Wahid atau Gus Im, kini telah tiada.
Adik bungsu dari Presiden Indonesia ke-3, KH Abdurrahman Wahid itu, wafat, Sabtu (1/8) subuh.
Gus Im wafat setelah mengalami gangguan ginjal. Ia sempat dirawat di Rumah Sakit (RS) Mayapada, Jakarta.
“Ada gangguan pada ginjal. Sudah dua minggu lebih di RS,” ucap keponakan Gus Im, Irfan Asy’ari Sudirman Wahid (Ipang Wahid) dikutip dari detik.com.
Di matanya, Gus Im adalah tokoh panutan di Nahdlatul Ulama (NU).
Gus Im dikenal dekat, bahkan menjadi mentor para aktivis, terutama dari kalangan NU.
Gus Im juga tercatat pernah menjadi anggota dan pengurus PDI Perjuangan serta menjadi pejabat di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
“Gus Im ini sosok panutan untuk anak-anak muda, baik NU maupun bukan, terutama dalam membaca masalah-masalah Kebangsaan. Tokoh pergerakan anak-anak muda NU,” ujar Irfan.
Gus Im merupakan anak dari Wahid Hasyim. Pernah berkuliah di ITB.
Jenazah putra dari pejuangan kemerdekaan KH Wahid Hasyim dan Hj Sholehah ini akan di Makamkan di Kompleks Makam K H Bisyri Syansuri Denanyar, Jombang.
Semasa hidup, Gus Im punya selera musik bagus. Perbincangannya dengan sang kakak Gus Dur soal itu, sewaktu masih hidup terekam di nu.or.id
Berikut kisahnya:
Sambil berlagak ngantuk, Ketua Umum PBNU 1984-1999 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menanyakan Friday Night in San Fransisco: Live Concert KH Hasyim Wahid (Gus Im).
Lalu, ujung-ujungnya Gus Dur secara langsung mengemukakan maksudnya.
"Boleh saya pinjam beberapa bulan?" tanya Gus Dur kepada adik kandungnya itu.
Gus Im memperbolehkannya. Namun ia mengantisipasi jika CD itu tidak dikembalikan, ia tetap bisa menikmatinya.
Bagi Gus Im, antisipasi itu adalah bagian pokok dari upaya bertahan hidup (survival).
Karena itulah ia mengkloning CD musik, yang menurutnya, monumental itu.
Sambil berlagak lebih mengantuk lagi, Gus Dur berkata lirih. "Wah, Im, saya kecopetan lagi."
Gus Im, tahu maksud Gus Dur. Kecopetan bagi Gus Dur adalah kehilangan dua mahakarya musik klasik kegemarannya, Simfoni No. 9 Beethoven dan Simfoni No. 40 Mozart.
Ia selalu marah besar jika dua koleksi kesayangnnya itu tidak ada.
Sementara Gus Dur tahu persis bahwa di lingkungan pergaulan terdekatnya, cuma Gus Im yang paling senang dengan Simfoni No. 9 karya Beethoven dan Eine Kleine Nactmusik karya Mozart.
Serta Gus Im pula yang cukup tega mencopet keduanya.
Gus Dur sepertinya ingin membalas dendam atas kehilangan dua koleksinya itu dengan meminta langsung Friday Night in San Fransisco: Live Concert.
Maka apa boleh buat, Gus Im harus ikhlas berpisah dengan CD konser gitar akuistik itu. Cukuplah dengan kloningnya.
Bagi Gus Im, Gus Dur meminjam tanpa niat mengembalikan CD tersebut. Itu adalah serangan balasan (retaliasi) atas prilakunya mencopet dua keping CD musik klasik miliknya. "Dan atas nama Ketua Umum PBNU, CD Friday Night in San Fransisco: Live Concert, hasil titipan kepada AS Hikam tersebut, pun disita Gus Dur," ungkap Gus Im.
CD Friday Night in San Fransisco: Live Concert itu Gus Im dapatkan melalui AS Hikam, Nahdliyin asal Tuban yang menyelesaikan studi doktor di bidang ilmu politik di Universitas Hawaii, Honolulu.
Gus Im bertemu dengannya saat Gus Dur mengajak mendiskusikan disertasi Hikam.
Saat ketiganya bertemu, yang dibahas bukan disertasi, tapi justru musik, di antaranya Friday Night in San Fransisco: Live Concert itu.
AS Hikam menjadi saksi kakak dan adik putra KH Wahid Hasyim bin Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari itu, mengaitkan musik dengan politik.
"Yang main tiga maestro gitar yaitu Paco de Lucia, Al di Meola, dan John MacLaughlin," ungkap Gus Im pada pertemuan itu.
"Paco de Lucia itu kan gitaris flamenco kontemporer? Tekniknya nyaris tak bercacat dan dia mampu menangkap gelora musik flemenco. Yang dua orang lagi siapa?" tanya Gus Dur.
"Al Di Meola, maestro gitar jazz. Dia mampu main dengan gemuruh jiwa musik jazz maupun dengan kebeningan suara hati. John McLaughlin, awalnya maestro gitar rock, kemudian mengembara ke dunia jazz dan musik spirirtual India, sehingga bentuk musiknya jadi lebih kaya," jelas Gus Im.
"Musik fusion seperti itu bisa membantu memahami praksis politik Indonesia yang juga berupa fusion. Bedanya politik Indonesia adalah fusion aliran, partai politik oposisi seolah-olah, dan macam-macam teori pembangunan yang wujud akhirnya jadi aneh dan sulit dimengerti, apalagi dinikmati," komentar Gus Dur.(nu)
Editor: Ahmad Zainal Muttaqin